“Nama lengkapmu Preti Tiur Tamba. Sudah kulalui ilalang di kampung demi menangkap anak kerbau yang disembelih untuk membuat namamu yang cantik. Nama ‘Preti’ dari Oppungmu, artinya cantik. Nama Tiur dari Mamakmu ini, yang dalam bahasa Batak artinya terang. Tamba itu marga Bapakmu. Paham sekarang kenapa berat kali hidupmu yang menjunjung nama itu? Preti Tiur Tamba, berarti bertambah teranglah kecantikanmu. Jadi sekarang bukan laki-laki lagi yang jadi artisnya, harusnya kau! Kau yang harus dikelilingi laki-laki, bukan kau yang nyari laki-laki. Berprinsip dikit!”
“Arghhhh….” Preti berteriak sambil merobek-robek tisu ditangannya ketika kalimat Mamaknya itu terlintas. Ia menatap Syena yang sedang kebingungan, terus kembali berteriak lagi, “arghh!!” kali ini sambil memukul-mukul dadanya.
“Preti please, jangan transfer kegilaanmu sekarang, aku juga sedang menghidupkan infra merah untuk menyerap energi positif dari orang-orang di taman ini.”
“Gila aku, Sye, beneran gilak aku menghadapi Mamakku ini!” Preti menyambar air mineral di genggaman Syena, dan meneguknya tiga kali. “Semalam katanya pancarkan pesonamu, pakai lipstik, bla…bla...bla. Sekarang lain lagi.” Dia berdiri sambil berkacak pinggang, menunjuk temannya, “Bukan kau yang nyari laki-laki. Berprinsip dikit!”
Syena menatapnya aneh dengan anggukan kepala.
“Stres aku, Sye, mamak ini gak terlawan. Masalahnya gak pernah cakapnya sama, lain besok lain sekarang. Apalagi lusa.”
“Ayo berenang.” Ia mengenal Preti dengan baik. Persis seperti dirinya, perempuan sawo matang itu juga tak membutuhkan solusi jitu untuk masalahnya. Syena lebih suka menjawab semua persoalan jodoh dengan berenang. Kalau kata Preti, “Serumit-rumitnya cari jodoh, lebih rumit memahami mamak!”
Hanya butuh satu jam. Sesak di jalanan, terbuang semua setelah melewati pintu kolam renang. Wajah mereka sudah cerah, secerah dan sebiru air kolam yang penuh dengan pria-pria muda atletis telanjang dada hampir di setiap sisi kolam.
Bibir Preti melebar sempurna. Ditepuknya pundak Syena dengan semangat, “Gak salah memang solusi jitumu!”
Baju renang Syena yang hanya menutupi buah dada dan perut ke bawah, akhirnya menjadi bahan perhatian semua orang yang ada di area kolam renang. Dari yang tua, separuh baya, muda, bahkan anak-anak. Mungkin istilahnya, jadi trending lirikan mata.
“Sudah berapa kali ku bilang, nggak cocok pakaian renang itu dipake disini! Yang nggak ngertinya kau? Atau mau pamer body disini?” Preti mengomel sambil melipat handuknya ke dalam kantong plastik kotak yang bergambar hello kity. Menenteng plastik itu di pundak, mirip seperti baru pulang dari sawah.
“Gak ada lagi loh pakaian renangku. Masa aku pake –” melihat Preti dari atas ke bawah, paduan celana shot ketat biru terang dan baju ketat sangat nyentrik di cuaca yang terik. Memang sedikit matching sih, tapi Syena yang sudah tau asal muasal baju itu, sama sekali tak tertarik untuk meniru.
“Eh... eh... matamu itu! lebih bagus pakaianku ini, menjaga aurat, martabat, kodrat.. dan nyaman!”
“Sukamu ajalah, Preti. Kalau masalah nyaman, aku juga nyaman pakai ini!” Sembari Syena mengoleskan sun block ke semua bagian tubuh mulusnya yang terbuka.
“Weleh, weleh, udah macam pantai aja kau buat kolam ini. Ekspektasi yang ketinggian. Kurang liburan?”
byurr...
Preti langsung melompat dan berenang dengan gaya kupu-kupu, gaya andalannya selain gaya batu.
Syena hanya mengeleng-geleng sambil sibuk mengolesi badannya. Ia terlalu protektif terhadap bagian tubuhnya yang terlalu putih pucat. Tampak gelap dan buram adalah obsesinya. Di kantornya saja, dia masih tergolong menengah dalam hal body bagus dan sempurna. Padahal sudah se-keras itu dalam perawatan dan menjaga pola makan. Terkadang dia berpikir untuk membeli mobil saja karena lehernya sering gosong terpapar sinar matahari saat mengendarai sepeda motor.
“Realistis donk! Uang lo dari mana?” kalimat Preti itulah yang sering mematahkan niatnya, sekalipun Syena sudah 80% yakin untuk menghubungi tukang kredit.
Syena kemudian melompat. Mereka menikmati waktu dengan tatapan mata yang tak henti-hentinya melotot ke arah mereka. Apalagi moment saat Syena keluar dari kolam. Semua mata tertuju pada punggung putih mulus dan pahanya yang sewarna. Beda dengan Preti, pahanya memiliki dua warna. Dari paha atas sampai paha bawah berwarna terang, dan dari paha bawah sampai pergelangan kaki berwarna lebih gelap dan dari pergelangan kaki sampai jemarinya berwarna satu tingkat lebih terang dari warna yang diatasnya.
‘Tahu nggak urutan warna kaki lo dari atas ke bawah: terang-gelap-setengah terang. Perawatanlah, percuma wanita! Jangan buat alasan karena kerja dilapangan jadi males-males gitu. Aku yang sudah perawatan gini aja belum ada yang mau, apalagi…’
Kalimat menyakitkan yang sering diterima Preti saat mereka berdua berada di kolam renang.
Preti mengakui ia tidak begitu tertarik soal perawatan penampilan. Tapi sebagai seorang perempuan, kalimat itu memang sangat melukai hatinya meskipun Syena lebih sering mengutarakannya dengan nada bercanda.
Saat hari kerja wajib rok, Preti juga jarang sekali mengenakan rok sejajar lutut. Paling pendek, sejengkal dibawah lutut. Nyatanya karena dia lebih sering bekerja outdoor. Ngantar berkas kesana-sini menggunakan sepeda motor kantor. Secara posisinya belum terlalu kuat untuk menggunakan mobil kantor. Atau, ia tak berani menggunakan taxi kemana-mana, karena takut kantor tak meladeni reimburse nilai argo yang terlalu mahal.
“Sebentar lagi kakimu itu jadi tiga warna!” ledek Syena.
“Jangan sok! Gini-gini badanku lebih bugar dibandingkan kau. Kalau mau kayak kulitmu sekarang mah gampang, suntik vitamin C semua kelar! Apa sih yang nggak bisa di era modern ini. Sekarang bagian dalam yang harus diutamakan!”
“Pembelaan!” Syena menatap perempuan sawo matang itu dalam, “Jangan tersinggung ya, sebenarnya kau itu malas untuk ukuran seorang wanita!”
“Ah, masa? Kau lebih tahu aku pekerja keras. Cantik itu gak harus putih, yang penting tak berdaki!” Jawab Preti asal.
Dijawab dengan gelengan kepala Syena, “Aku serius. Sebenarnya kau cantik loh, Preti.”
“Karna aku memang tak punya daki meskipun kulitku berwarna cokelat gosong.”
“Serius. Aku nggak bohong. Perawatan sedikit aja, pasti kulitmu bagus.”
“Hm..mh” Preti mengangguk-angguk sambil meremas-remas handuknya. “Bohong!”
“Akh, dibilangin nggak percaya.” Syena mengambil handuk dan menutup bagian pinggul. “Aku sudah siap. Kau lanjut aja.”
“Oh ya, kau kan mandinya lama. Rahasia kecantikan juga tuh!” Preti menyebur sebelum disembur Syena.
***