Untuk pertama kali, rasa gugup menghiasi setiap kata yang dipandangnya di sepanjang jalan. Menghitung-hitung berapa orang yang dilihatnya memakai lensa, tak juga membantu mengurangi rasa penasaran yang berujung kegaluan.
“Kau mau ke pusat seni bela diri?” Dengan wajah tak percaya, Syena menunjukkan nama SENI BELA DIRI yang tertulis rapi di secarik kertas yang terpotong kecil. Kalau saja ia tahu Preti akan kesana, dia pasti tidak akan memberitahu detil lokasi itu. “Mau belajar apa? Taekwondo, Judo, Aikido atau kendo?”
Preti menggeleng.
“Jadi kau kesana mau ngapain?”
Preti tersenyum.
“Jangan bilang gebetanmu belajar salah satu jenis bela diri itu disana!”
“Dia pelatihnya.”
“Busyettt…” Syena melongo tak percaya. “Kencang juga pencarianmu! Jauh-jauh kesana mau ketemu doang. Rencananya gimana? Mau langsung kau seret paksa kawin?”
Preti menggeleng lagi. “Hanya mau lihat tampangnya aja. Siapa tau kayak kasus-kasus yang nge-hits sekarang, ganteng dunia maya, hancur di dunia nyata!”
Syena ingin tertawa, tapi seperti tertahan. Entah apa. Dia masih bingung. “Niat kali, ya?” Syena masih berharap Preti bercanda. Tapi yang didapatnya, siku tangan Preti mendarat di lengannya. Perempuan itu memang tak bercanda.
Mereka bercakap seraya berjalan sejajar menyusuri jalan setapak menuju bar mini yang lagi hits digandrungi anak muda: Bar Mini Sor. Tempatnya terpencil dan terbilang susah diakses oleh mobil dan orang yang malas jalan kaki. Jaraknya lebih 500 meter dari jalan utama. Dan akan terasa semakin jauh jika berjalan dengan pikiran kosong dan tanpa teman ngobrol. Lebarnya tidak sampai satu meter dan hanya bisa dilalui motor biasa. Seakan pemilik bar mini itu memaksakan para pelanggannya untuk terbiasa hidup sehat dengan berjalan kaki sebelum merusaknya di dalam bar.
Tak ada yang pulang dari bar itu dengan kesadaran penuh. Lebih sering membanting benda disepanjang jalan setapak, dan akan sedikit sadar jika sudah sampai ke ujung jalan tempat kendaraan diparkir.
Pemilik Bar Mini Sor sangat cerdik dalam hal meraup keuntungan. Ia sering mengeluarkan paket 3 in 1 yang dijuluki Paket Cantik yang hanya dikeluarkan di atas jam 8 malam. Harganya memang melejit, tapi pelanggan yang sudah berencana mabuk dari awal pasti dengan yakin memilih paket itu tanpa melihat menu dan menunggu pelayan datang dengan senyuman nakal. Makan 2 porsi + minum sepuasnya + supir antar pulang. Tapi paket itu sifatnya subjektif, tidak untuk pelanggan yang sudah diprediksinya tahan minum sampai 5 botol soju. Ia tau betul jika paket itu salah mendarat pasti akan segera bangkrut dan kembali mengutang.
“Kau yakin?”
“Apanya?”
“Ya kesana jumpain pria idamanmu itu!”
“Emangnya kenapa?”
“Terlalu jauh. Biarkan aja dulu beberapa minggu. Kalau nanti masih ingin pergi ya silahkan. Tapi kalau kau mulai lupa, mungkin perasaanmu sekarang bukan suka tapi ingin menutup luka!”
“Apaan! menutup luka dari apa?”
Syena menggidikkan bahunya, sadar kalau Preti sedang pura-pura terlihat baik-baik saja. Cerita tentang lelaki misterius saat kuliahnya dulu sudah sampai ke telinganya. Bukan karena ibu Preti yang gak tahan jaga rahasia, tapi karena tak sengaja membaca pesan keluar Preti ke salah satu alamat email. Tak semuanya, Syena hanya membuka satu email dan isinya sangat mengejutkan.
“Jangan sembarang bicara!”
“Sorry,” Syena memutuskan menyudahi pembicaraan itu. Ia takut Preti malah tersinggung dan meninggalkannya sendiri, padahal sudah hampir dua minggu dia menantikan kesempatan mabuk setelah melewati hari-hari kerjanya yang penuh derita.
“Oia, kau mau mabuk lagi?”
Syena tidak merespon.
“Ada masalah?”
“Hah… kapan sih nggak ada masalah. Pingin minum aja.” Syena melipat tangannya rapat di dada. “Mabuk adalah obat derita si jomblo pekerja keras!”
“Kau sudah melobi siapa untuk menjemput?”
“Aku gak ‘kan mabuk.”
Preti menggeleng, “Aku tidak percaya.” Ekspresi ragunya beralasan. Karena jelas diingatnya tiga kali terakhir mereka datang, temannya itu sering menulis Paket Cinta di kertas orderan dan menulis ‘nb:saya gak kan mabuk. Gak perlu supir!’ Karena secara logikanya, meskipun dikasih supir, toh mobil tak ada.
“Lihat saja nanti.” Mata Syena berbinar sesaat menangkap lampu Bar Mni Sor yang kelap kelip diikuti dengan lampu sorot di depan Bar, “Ayo.. kita sudah sampai. Aku sampai reservasi untuk datang di hari ini.”
Preti hanya mengikuti Syena tanpa suara. Menikmati nuansa bar yang penuh dengan anak-anak muda. Tak banyak pria yang seumuran mereka dijumpai disana. Ia tahu betul hanya Bar YoungZa yang dipenuhi pria seumurannya. Untuk dirinya yang selalu ingin dapat perlakuan istimewa, Bar YongZa bukan pilihan terbaik karena yang didapatnya hanya bully-an disana. Alasan pertama karena dia tak berani melepas pakaiannya, dan alasan kedua karena kulitnya yang multiwarna. Intinya, Bar YounZa masih cukup berat untuk dirinya.
Di Bar Mini Sor, Syena dan Preti bebas bicara apa saja kecuali agama. Mereka memang dari dulu sepakat untuk tidak menyinggung hal sensitif itu di dalam pertemanan. Berhubung orangtua mereka sama-sama menganut dua agama berbeda.
Syena memiliki ibu yang dulunya beragama budha dan ayahnya beragama Kristen Protestan, tapi ia malah memilih mengikuti agama pamannya yang adalah katolik. Paman dan bibinyalah yang berusaha membesarkan Syena dari umur satu hari hingga tujuh tahun. Dan selama itulah ibu Syena bertahan dan berjuang untuk menang dari penyakit langka yang sempat menggerogoti otaknya. Sementara ayah Syena sibuk mengurus kios yang merupakan satu-satunya sumber penghasilan keluarga. Setelah berumur delapan tahun, Syena kembali ke pelukan kedua orangtuanya. Ibu Syena sudah membaik, meskipun sering kali menggunakan masker saat bicara dengan Syena. Saat umur sepuluh tahun, ayah Syena malah pergi meninggalkan mereka berdua untuk selamanya karena pembuluh darah di otak pecah.
Ayahnya memang tak tanggung-tanggung dalam mengurus kios dan ibu Syena seorang diri. Dia bahkan tahan tidak tidur selama dua malam berturut-turut.
Sementara ibu Syena menyusul lima tahun kemudian. Dan tinggallah Syena sendiri dengan warisan melimpah. Ia anak satu-satunya dan cucu satu-satunya. Sebab paman dan Bibinya belum mendapat keturunan selama hampir 20 tahun usia pernikahan mereka. Yang paling Syena suka dari paman dan bibinya adalah, bertahan dengan cinta besar yang adalah dasar pernikahan. Bukan berdasarkan keturunan yang hanyalah hasil buah cinta atas persetujuan Tuhan.