Suasana kantor mencekam. Cat di tembok seakan ikut luntur karena hawa panas yang dihasilkan dua orang yang berselisih paham tanpa ada wasit di tengah telah berlangsung selama hampir setengah jam. Lirikan-lirikan sepasang mata lain mencoba mengerti situasi, menebak-nebak kalau yang kalah pasti perempuan. Sekat-sekat meja yang bentuknya sama kini dihiasi oleh kepala-kepala yang berusaha menangkap adegan di balik kaca tembus pandang ruangan Pak Limbong.
“Loh, kan bapak yang perintahkan saya ke lapangan. Ya saya langsung berangkat ke lapangan. Ternyata tidak ada kendala disana! Kok malah saya yang disalahkan?” Nada bicara Preti masih dipengaruhi alkohol tadi malam.
“Ya, setidaknya kamu lebih bijaksana donk! Kan sebelum kesana kamu bisa cek kondisi dulu dengan menghubungi Koordinator lapangannya. Saya perintahkan kamu berangkat, masa kamu pergi langsung tanpa perencanaan! Gimana kalau disana lagi perang adat, ikut perang juga?”
SHITTT!!!
“Gimana ini?”
“Ya, bapak lah gimana enaknya,” Preti mulai menggunakan kalimat nonformal. Ia selalu menggunakan kalimat itu jika amarahnya sudah diubun-ubun. Masih bagus kalimatku nonformal ketimbang aku sebut namanya!
Pak Limbong geram. Menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ya, kalau biaya transportasi saya tidak ditanggung, ya silahkan! Saya hanya bisa menilai kebijakan perusahan yang sudah mulai berkurang.”
“Kamu sedang berkomentar?”
“Tidak, Pak. Kan tidak salah menilai. Yang penting saya tidak melakukan sesuatu yang merugikan perusahaan. Ada lagi, Pak?” Nada bicara nge-gas ala Preti. Dikumpulkannya laporannya yang berserak di meja.
Pak Limbong termenung. “Tunggu saja kabar, tentang pencairan uang mobilisasi. Kalau nggak ada kabar berarti ya nggak ada.” Nadanya merendah setelah berpikir panjang. Berpikir kalau hanya perkara mobilisasi kehilangan seorang Preti, tak sebanding dengan pekerjaan yang menumpuk untuk segera diselesaikan.
“Saya permisi, Pak.”
Wajah Pak Limbong memerah. Kacamata yang biasa menempel di atas hidungnya kini tergeletak asal di atas tumpukan kertas yang tak diambil Preti. Dipijit perlahan dahi gelapnya yang mulai keriput. Sementara tangannya yang lain menggenggam sandaran tangan kursi kerjanya. Sudah hal biasa baginya beradu mulut dengan Project Manager atau pengawas lapangan terkait kerjaan, tapi kali ini merasa seperti tak bisa berbuat apa-apa. Kalau kalimat lainnya: kalah! Tiba-tiba ia merasa tekanan luar biasa karena menggantungkan diri terhadap kemampuan Preti saja. Sementara selama ini banyak yang ingin menggantikannya. Kesalahanku. Batinnya. Seharusnya aku punya persediaan dua orang Preti. Kalau satu jadi besar kepala, sementara kalau punya dua pasti bersaing menjilat.
Pintu belum tertutup, perempuan sawo matang itu belum melepaskan utuh gagang pintu, “Saya bekerja sesuai prosedur tanpa bantahan dan perhitungan. Jika ternyata perintah dari bapak merugikan saya, kemungkinan, lain kali saya hanya perlu mengevaluasi setiap perintah bapak sebelum bertindak!”
“Kamu sepertinya kurang paham! Dangkal.”
“Saya tahu bapak sangat pro perusahaan. Tapi saya hanya mengerti satu hal, diatas peraturan ada kebijakan. Terlebih dari orang yang bersangkutan...” Preti menunjuk Pak Limbong.
Pak Limbong memainkan tangannya tanpa suara. Secara terang-terangan menyuruh Preti keluar dari ruangannya
‘Shit’ gumam Preti. Ia tak bisa lagi menaikkan nada suara bahkan mengeluarkan suara. Feeling-nya jika itu terjadi, maka mungkin tunjangan kinerjanya yang akan dipotong. Dengan wajah keriput ia kembali ke meja kerjanya. Duduk diam untuk beberapa menit, kemudian mencampakkan map yang dipegangnya tadi ke tong sampah sambil berteriak, “sontoloyo! emang dunia harus berputar untukmu?” Amarahnya benar-benar tak bisa di bendung lagi. Ruangan yang awalnya hening pun, ribut dengan nada terkejut karyawan-karyawan lain. Seperti biasa tak ada yang berani menenangkan perempuan itu.
Preti mengambil ponselnya, memutuskan menelepon Syena yang dia tahu bakalan menolak telponnya di jam kerja genting di hari senin. Emosi yang membara membuatnya tak ragu memutuskan cabut dari kantor dengan membawa uang secukupnya dan ponsel di saku blezer. Preti ingin melepaskan emosinya yang makin bertambah waktu makin memuncak. ‘Kalau kulihat lagi si buncit itu, mungkin bisa kucampakkan mejaku ke mukanya!’ Emosinya sudah hampir keluar dari ubun-ubun. Nekat pulang kantor lebih cepat, ia menyusul ke kantor Syena, yang mau gak mau pasti meladeninya.
***
“Memang cocok dia dipanggil dengan Penjilat!” Preti menyudahi semua cerita yang dengan rinci dilontarkannya dari awal sampai akhir.
“Maksud menceritakan kisah sedihmu itu apa? Bukan mau minjam uang kan?”
Preti menatap Syena dengan mata kilat, “Pantang seorang Preti meminjam duit orang lain!”
“Waduh, jangan kecepatan ngomong! Nanti pamali loh!”
“Kalau pun aku kekurangan duit, lebih baik kubobol meja si buncit itu ketimbang minjam duit. Sama aja kan malunya!”