Kata Mamak

elesia maria tamba
Chapter #8

Birthday

Musim kemarau masih saja dihadiahi hujan. Meski semalaman basah kuyup mandi hujan dan minum alkohol sendirian, tetap saja tak berhasil mengurangi beban pikiran dan perasaan yang semakin lama semakin beranak cucu. Sisa efek alkohol yang diminumnya semalam membuatnya malas bangkit dari tempat tidur meskipun ibunya berkali-kali berteriak agar bangun dan berangkat ke Gereja.

“Aku tidak ibadah pagi ini, Mak. Nanti sore aja,” balasnya pelan tak bertenaga saat ibunya benar-benar sudah berdiri di pintu kamarnya.

“Bukannya besok kau ulang tahun ke du-a pu-luh de-la-pan? Pergi sana ibadah, berdoa sama Tuhan biar dikasih petunjuk untuk semua masalahmu! Ibadah enggak tapi pinginnya hidup tenang!” logat khas ibu Preti malah memancing amarah. Ibu Preti kemudian berbalik dan menyeduh tehnya di dapur, diikuti oleh putrinya.

“Terserahlah, Mak.” Preti tak mau memperpanjang, ia tahu emosinya lagi tidak stabil untuk menangani permintaan Mamaknya yang terus datang bagikan hujan Es di siang bolong. Menusuk-nusuk.

“Kalau masih hidup bapakmu, pasti dia juga bingung nengok anak semata wayang-nya ini. Udah mau perawan tua, pekerjaan yang belum jelas, tapi malasnya gak tanggung!”

Preti terpancing. Ia membanting kaleng susu ke meja.

“Apanya masalah sebenarnya, Mak? Karena pekerjaanku yang belum menghasilkan banyak uang-nya? Jodoh-nya? atau cucu?” Preti berusaha mempertahankan intonasi nada bicara. “Terlalu tinggi kali ekspektasi mamak samaku. Itunya yang jadi masalahnya. Mamak berkhayal tinggi tentang semua yang ingin mamak dapatkan melalui aku!”

Ibu Preti diam sambil mengernyitkan dahi, menunggu Putrinya menghabiskan kalimatnya.

“Putriku harus kuliahlah. Setelah masuk kuliah, putriku harus punya IPK sempurnalah. Setelah punya IPK sempurna dan lulus dengan cepat, harus cepat-cepat dapat kerjalah. Nah sudah dapat kerja malah mamak berkomentar tentang pekerjaanku yang tak menghasilkan gaji yang sesuai harapan mamak. Mamak pikir semua orang yang baru tamat, beruntung punya pekerjaan yang gajinya langsung tinggi? Sebenarnya apanya mau mamak? Sudah kulakukan semua yang mama bilang, mamak inginkan. Bahkan kupikir karena rasa sayang mamak yang berlebihan itu, aku jadi kayak boneka hidup yang sampai kapanpun gak kan bisa memuaskan keinginan mamak.”

“Yang kenapanya kau, Preti. Aku kan hanya ingin yang terbaik untuk masa depanmu!”

“Sekarang masalah jodoh pun banyak kali komentar mamak. Mamak bilang ingin yang terbaik? Aku bingung terbaik untuk siapanya ini sekarang, untukku atau untuk mamak? Pastinya bukan untuk bapak kan!” Akhirnya Preti mengungkapkan setengah dari kegelisahan yang tak pernah sempat keluar. Bahkan ia menggunakan dialek Batak kental sanking menahan emosi.

“Kenapa jadi gitu ngomongmu samaku. Makin gak ada hormatmu dikitpun!”

“Banyak hormatku samamu, Mak!”

“Baru lagi begini yang kau alami, hidup dan perjuangan mamak dulu lebih ngeri.”

“Sudah tahu aku mamak pasti bilang begini. Masalahnya kalau kudiamkan, lama lama bisa penyakitan aku, Mak. Kalau aku penyakitan tetap aja nanti aku yang mamak salahkan karena gak menjaga kesehatan kan? Kalau kubilang pelan-pelan supaya jangan terlalu sering membahas itu, tapi mamak pasti jawab seperti biasa; ah, macam betul kali kutengok kau!” Preti menunduk, mengatur nafasnya kemudian bicara lagi. “Gini ya mak, kalau mamak menyamakan yang mamak alami dulu di jaman dulu, dengan yang kualami sekarang di masa sekarang, itu sama aja membandingkan langit dan bumi. Zamannya sudah berbeda, kecuali diambil sebagai contoh tapi bukan untuk DICONTOH dan DISAMAKAN.”

“Jadi apanya maumu sekarang? Perkara jodoh, jadi banyak kali ceritamu kutengok!” Nada Ibu Preti meninggi.

“Sudahlah, Mak. Berhenti memaksaku melakukan apa yang mamak ingingkan, apa yang mamak harapkan, melakukan semua cita-cita atau hal yang gak sempat mamak lakukan waktu muda dulu. Jangan paksa aku memuaskan semua keinginan mamak, baik mengenai masa depan sekalipun dengan jodoh!”

“Menyesal nanti kau kalau sudah tua gak mendengar mamak!”

“Sekarang sudah menyesal aku, Mak. Gak jadi dokter, itu penyesalan terberat.”

Suasana menghening. Ibu Preti tak menyerang balik. Kalimat itu mengakhiri perang sengit dan menambah pikiran Preti. Membuat emosinya menyakiti perasaan ibunya, itu lebih menyakitkan. Ia seakan mau gila. “Seharusnya Mamak teman curhatku! Yang seharusnya tempatku berbagi, tapi sekarang malah jadi orang yang menuntutku banyak hal. Mungkin berbeda kalau ada bapak disini.” Preti keluar rumah sebelum air matanya benar-benar jatuh.

Preti pergi ke tempat Ayahnya dimakamkan. Berdiam diri disana tanpa suara. Hingga akhirnya ia melakukan rutinitasnya seperti biasa. Bercerita. “Aku merindukanmu!” sambil menaruh kamboja bercampur bunga lily yang diputiknya di gerbang depan pintu masuk pemakaman di batu nisan Ayahnya. Kemudian bercerita tentang semua kegelisahan hatinya. Meskipun tahu ia tak akan mendapat solusi, tapi ia bisa merasakan sedikit keringanan. Preti selalu melakukan itu disetiap masalah yang bertumpuk bersamaan dengan ibunya yang mengamuk.

Preti adalah anak semata wayang dari pasangan suami istri yang menikah tua di umur 32 tahun (ayahnya) dan 30 tahun (ibunya). Ayahnya yang beragama islam dan ibunya yang beragama katolik hidup dengan penuh cinta kasih meski perbedaan kepercayaan tapi satu suku yaitu suku batak. Pribadi Preti terbentuk dengan sangat baik semenjak ayahnya masih hidup. Setelah kepergian ayahnya yang adalah tulang punggung keluarga di usianya masih 17 tahun, Preti lebih banyak menanggung beban emosional. Tidak dapat masuk ke perguruan tinggi yang diidamkannya, dan tak dapat menikmati masa-masa kuliahnya seperti anak kuliah kebanyakan. Ia harus bekerja paruh waktu untuk menambah penghasilan. Karena ibunya yang dari gadis telah menderita penyakit kanker payudara, jadi ibunya tidak diperbolehkan dokter bekerja terlalu keras dan berpikir yang aneh-aneh. Sehingga ia dan ayahnya sering merahasiakan hal-hal yang tak perlu diketahui ibunya. Terkecuali gosip pilihan ibunya sendiri.

Semenjak ayahnya pergi, Pretilah yang siap sedia harus menggantikan ayahnya. Mencari nafkah dan sebagai tolak punggung keluarga. Meskipun Ibunya selalu mencoba membuat kue-kue kering sepulang dari menjaga bayi-bayi tetangga, juga tak sanggup menutupi kebutuhan bulanan yang makin hari makin bertambah. Sekalipun begitu, hati Preti tetap merasa sedih jika sepulang kerja mendapati ibunya terbaring di sofa tua dengan celemek yang masih menempel. Ia selalu mengingatkan ibunya untuk lebih banyak beristirahat, disamping itu bagus untuk ibunya dan ia juga tak repot jika penyakit ibunya kambuh lagi. Repot mengurus ibunya sambil mencari uang tambahan.

Lihat selengkapnya