Kerja keras di musim kemarau tiba-tiba dihadiahkan hujan. Alangkah sejuknya hati Preti saat turun dari pesawat. Perjalanan dinasnya yang pertama dalam sejarah menginap di hotel, dapat uang jalan, uang sponsor, uang tralala trilili, hari libur tambahan dan gaji bulanan yang mendadak dikasih cash dua hari lebih cepat.
“Patut dicurigai. Nanti kau mau dipecat?”
“Ya enggaklah.” Nada Syena menyombong. Belum puas menyombongkan diri, telepon masuk menghilangkan semua. Hanya lima menit bicara ditelepon, ekspresinya berubah total. “Sialan. Kau kasih libur sehari doang, tapi kerjaan kau tumpuk tiga kali lipat. Limbong buncit!” Mulutnya masih lanjut mengeluarkan sumpah serapah tanpa suara.
“Betul ‘kan? Pasti ada yang gak beres! Dikira bos-bos keparat itunya kita ini robot!”
“Entah! Nggak tahu dia kemampuan tangan yang sepasang ini gak secepat mesih fotocopi yang bisa menyalin tanpa batas!”
“Mereka terlalu asik menguras tenaga kita!”
“Jadi, kau masih mau tetap jadi kontraktor dengan sepatu boot itu?”
“Kenapa bawa-bawa sepatu boot? Sebenci itu sama boot ketimbang sama bos?”
“Gak juga. Anggap saja, sepatu boot itu penghambat rokkap jodoh.”
Preti menggeleng tak percaya, “Kenapalah percakapan kesialan berujung kesitu. Muaranya ini semua adalah Bos.”
“Bukannya kau yang memilih bekerja mati-matian? Waktu istirahatku masih bisa dihitung enam jam. Nah, kau?”
Preti menatap Syena. Ingin dibalasnya, tapi mulutnya sudah terlalu lelah memperdebatkan hal yang sama.
“Kenapa diam? Otakmu macet?”
Preti tidak merespon.
“Bernostalgialah sebentar dengan ambisimu yang sudah terkubur lama. Mungkin besok kau punya jawaban untuk masalah hidupmu yang susah itu!”
Syena sadar bahwa Preti sedang membangkitkan memori tentang keinginannya yang tak terealisasi menjadi seorang dokter. Kemampuan otak dalam menghapal lebih dasyat, ketimbang analisa dan hitung menghitung. Hanya dirinya yang tahu, peringkat kelima terbaik diantara beratus ribu calon mahasiswa kedokteran yang mendaftar. Semua heran ketika ia tidak mendaftar ulang. Hingga di hari terakhir pendaftaran ulang, seseorang dari fakultas kedokteran universitas terbaik itu menelepon ibunya, memastikan bahwa mereka memang memutuskan tidak mendaftar ulang. Dan yang didapatnya bukan pujian, tapi omelan yang berujung dekapan. Saat ibu Syena memegang tangannya dengan kata maaf, saat itulah ia mengubur niat, bakat, dan semangatnya menjadi seorang dokter. Ibunya benar-benar tidak sanggup membayar biaya kuliah jurusan bergengsi itu.
Syena akhirnya memilih plesetan kerinduannya menjadi seorang dokter bangunan. Itu selalu menjadi penyesalan saat semangatnya hilang. Hilang karena lelah yang berkepanjangan tapi hutang-hutang masih belum terlunaskan. Lelah saat ibunya sakit kepala karena tekanan penagih hutang yang lebih mirip dengan lintah darat.
“Andai aku dulu benar-benar jadi dokter, pasti di umur segini tak susah lagi. Atau mungkin aku sudah punya suami yang kaya!”
“Kaya. Catet ya Saly, harus kaya!” Syena bicara pada ponselnya yang baru saja dinamai Saly.
Preti menatap Syena lurus, “Aku serius.”
“Tenagamu hanya habis untuk memikirkan sesuatu yang gak ada jawaban kalau nggak bertindak.”
“Maksudmu?”
“Ya nikahin saja si Saly atau si Sam. Kuingat jelas mereka masih mempunyai saham di perusahaan properti bapaknya. Mereka orang kaya!”
“Hasrat gak sampai membuatku serendah itu!”
“Kaya. Mereka Kaya. Kau juga ingin kaya. Semua berkesinambungan, kan? Sally cinta Preti, Preti Cinta uang, Kalau digabungkan, Preti Cinta Uang Sally! Gampangkan!.
“Gilak!”
“Kalau nggak mau yang usahanya ditingkatkan lagi dong! Atau nggak minjam uang ke bagian peminjaman yang bunganya lebih rendah untuk menutup utang ke lintah darat itu!”
“Kau mau membunuhku ya? Otakmu sepertinya kurang dicas. Percuma..”
“Loh.. kaunya aja yang goblok! Prinsipku yang bekerja di keuangan hampir lima tahun ini adalah, menggunakan jasa peminjaman dengan bunga seminimal mungkin. Nah kalau misalkan utang dan bunga-bunga dari lintah darat itu lima puluh juta, ya pinjam aja ke bagian x yang bunganya lebih rendah. Nah lebih ringan kan kau bayarnya ke x! bunganya juga rendah.. meskipun pada dasarnya tetap saja mengutang! Tapi secara emosional, tekanan serta pikiran sumpek karena teror bisa berkurang.”
Preti mengangguk-angguk.
“Ngerti nggak? Mengangguk-angguk aja belum tentu mengerti!”
“Ya ampun, kok sok kali sih! mau kenak tendang sepayu boot ya?”
Syena terdiam.
Preti menarik nafas panjang dan bersandar di pundak Syena. “Aku mau bersandar dulu sebentar, melupakan pondasi, melupakan tender gagal dan kontrak yang diputus!”
“Itu aja?”
“Juga melupakan utang yang berserakan.”
“Bagus! isirahat memang penting. Asal kau nggak melupakan tujuan utamamu.”
“Apa itu?”