Kata Mamak

elesia maria tamba
Chapter #13

Cermin Dunia Percintaan

Sebulan penuh berlalu dengan cepat. Pertemuan singkat antara Syena, Preti dan Liau semakin sering terjadi – secara tidak sengaja. Meskipun Preti tahu itu, tapi hatinya enggan untuk menolak bahkan beranjak dari pertemuan. Perasaannya perlahan kembali normal, melihat Liau seperti melihat pria lain. Ekspresi dingin perlahan mulai mencair menjadi air, dan mengalir begitu saja. Tertawa, dan bercanda sudah sering dilakukannya asal percakapan itu tak menginggung masa lalu. Pun begitu Liau, perlahan merasa Preti mulai menerimanya kembali. Sementara Syena masih dipengaruhi angan-angan untuk mendapatkan Liau yang memang terkenal tajir di kalangannya.

“Kolegaku kenal Ben. Wuisss, mobilnya keren dan gak cuman satu lo! Rumah besar berlapis perak. Mamak punya toko berlian, Bapaknya dokter, kakaknya ahli hukum.” Syena membuka satu persatu foto di instagram toko berlian milik ibu Ben. “Hahai, Gak salah target, say.”

Preti mengangguk sebentar kemudian membanting tasnya ke atas meja. “Haha, hihi, hoho.” Nadanya kuat. “Seharusnya kau kabari dulu sebelum kulakukan! Nah kalau sudah gini, penyesalannya jadi dua kali lipat ‘kan!”

Syena tunduk terdiam setelah sekilas melihat kertas kwitansi pembayaran diatas meja.

“Sudah kutegaskan, lebih bagus dipanjar saja dulu. Kalau nggak jadi kan ya gak rugi-rugi amat. Nah ini...” menunjukkan tulisan LUNAS dengan huruf besar dan kapital di ujung bawah kanan kwitansi, “mau diapain lagi ini?”

“Ya terpaksa diambil saja dulu. Nanti kan bisa dipikirkan mau dialokasikan kemana.”

“Yaudah, kau ambil sendiri baru mau dialokasikan kemana. Jangan suruh kesana ngambil itu lagi!” Preti memberikan kwitansi yang seharga satu juta lima ratus ribu rupiah itu ke tangan Syena.

“Jangan marah gitu dong!” kok sensitif banget ya, yang habis juga bukan uang dia! Syena menggaruk-garuk kepalanya. Bingung memikirkan buku-buku toefl yang harus dibeli sepaket dengan sebuah CD RAW. Dua minggu yang lalu perusahaannya akan mengadakan penerimaan beasiswa pascasarjana untuk para karyawan, gratis dengan syarat mutlak nilai IELTS harus mencapai 6. Syena mengucapkan keinginannya untuk meraih gelar master kepada Preti, dan ia mendapat dukungan penuh meskipin kemampuan bahasa inggrisnya pas-pas-an. Pas untuk menjawab ‘yes..offcourse’ atau ‘oh no!’ atau yang terbaru sering diucapkannya ‘imposible.

Preti menyarankan Syena membeli buku terkait TOEFL dan menyuruhnya belajar selama beberapa bulan, kemudian mengambil ujian IELTS ke Jakarta. Tapi Preti tidak menyarankkannya percaya pada buku atau paket mahal yang dijual di pasaran, yang untuk mempelancar kemampuan bahasa. Sayangnya, Syena yang diselimuti dengan ambisius malah menganggap buku mahal itu sebagai pendukung terbaiknya. Ia tertipu. Dan mengadu pada Preti.

Tak banyak yang dilakukan Syena dengan buku itu, ia memilih menghapal dengan cara kilat dan membaca sebanyak matanya sanggup melotot. Preti tidak menanggapi keluh kesah Preti terkait buku itu saat akhirnya mau diajak Syena nongkrong di mini bar. Syena hampir putus asa dengan kemampuannya menguasai bahasa inggris.

“Seharusnya kau ajari aku, bahasa inggrismu kan bisa dibilang oke!”

“Malas.”

“Nanti kalau aku berhasil kuliah di luar negeri, kuserahkan kiosku samamu.”

Preti menggeleng.

“Kok gak mau? Biasanya langsung cepat!”

“Apa yang kau bicarakan semua hanya ilusi. Soju itu pasti sudah membuatmu mabuk. Hah. Merepotkan!”

Syena mengangguk, “Semuanya ini hanya masalah timing” ucapnya dengan mulut penuh dengan potongan daging berbalut selada. “Hahh…” ia meniru Preti mendesah panjang. “Hari ini aku gagal lagi! Aku hanya dapat score 4”

“Gak apa-apa, coba lagi!”      

“Aku sudah coba 7 kali!”

“Wah, kau hebat! Mencoba sampai tujuh kali berarti kau percaya penuh pada kemampuan, bukan pada keberuntungan?”

Syena yang menggeleng, “Aku percaya dua-duanya.”

“Yah.. anggap saja timing nya belum pas!” Preti mengulang perkataan temannya itu. “Coba lagi bulan depan. Selagi masih ada yang mengadakan ujian untuk itu, peluang masih ada sejauh duit masih tersedia.”

“Kau pikir gampang! Pulang balik ibu kota emangnya gak pakai tiket? Beli tiket emangnya gak pake duit?”

“Nah, Loh!” Preti melongo. Bingung mau mengatakan apa. Menyuruhnya menyerah, salah. Menyuruhnya tetap mencoba, kenak marah. “Ya sudah kalau kau merasa tak perlu melakukannya lagi, ya berhenti aja.”

Syena spontan menendang kaki meja, hingga terdengar suara gaduh. “Huaaaaaa……” ia berteriak. “Kenapa kau tidak menghiburku disaat seperti ini!” dengan gaya khas orang mabuk ia berbicara “tolong jangan terlalu keras padaku, hari ini saja.”

Melipat kedua tangannya sambil mendengus panjang, Pretitak tahu harus bilang apa lagi karena tahu semua pasti akan sia-sia. Menghadapi orang mabuk dengan kewarasan penuh akan membuat yang waras semakin gila dan yang mabuk semakin tertawa.

Lihat selengkapnya