Karena kau masih cinta!
Hanya itu yang didapat dari ibunya, setelah mencoba terbuka menceritakan apa yang dirasakannya tentang Liau. Apalagi momen terakhir ia menggendong Syena masuk ke dalam taxi. Suasana benar-benar menolak keberadaannya. Wanita gandengan Liau juga sangat berkarisma. Mereka sepadan. Khayalannya terhenti saat berharap perempuan hamil yang ditengoknya di Seni Bela Diri kemarin adalah sepupu atau adik angkatnya. Karena setahunya Liau adalah anak kedua dari dua bersaudara yang mana abangnya telah meninggal saat masih duduk dibangku SMP.
Preti mengurungkan niat untuk bertemu dengan Syena. Menghindari Liau yang mungkin saja tiba-tiba datang saat mereka bersama. Awalnya dia tahu Syena yang mengajaknya diam-diam, dan hatinya tak menolak. Kecuali ditanyai langsung, ia berpura-pura dengan tegas mengatakan tidak untuk mengundang Liau nongkrong bersama.
“Kok sendiri? Ribut dengan Syena?” tanya Sally yang tiba-tiba sudah duduk di depan Preti tanpa permisi. Wajar memang, karena dia empunya café.
“Hm…” Preti menggelengkan kepala dengan wajah tersenyum sembari tangan meremas tisu di bawah meja. Kenapa aku disini? Tanyanya pada diri sendiri. Kelinglungan membuatnya tak sadar masuk ke toko Sally yang sudah sepakati dengan Syena tak akan menginjaknya sampai ganti owner.
“Hujan. Pakai jaketmu!” tunjuk Sally pada jaket yang digantung asal dan hampir jatuh di bahu kursi. “Dingin.”
“Gak usah. AC nya yang perlu dimatikan.” Nada ketus mengawali percakapan mereka berdua. Satu ketus, satu lagi santai menjawab si ketus.
Sally lebih banyak tertawa menanggapi ke-ketusan Preti. Membuat perempuan itu berpikir kalau yang di hadapannya itu gila. Gila ketawa meskipun tak lucu.
Meskipun hujan sudah merintik, Preti masih enggan beranjak. Malas menyelimuti semua otot-ototnya untuk bergerak. Sementara Sally berpikir lain. Menganggap perempuan itu menikmati pembicaraan mereka yang lebih ke arah diam dan tertawa, tanpa banyak kata.
Awalnya Preti memang mengagumi Sally. Namanya menipu. Postur tubuh tegap, tampan dengan rambut plontos yang memperlihatkan dahi dengan bentuk yang sempurna, serta alis tebal, garis rahang yang tebal dan bibirnya yang hampir mengarang ke merah muda. Namun entah mengapa semuanya hilang setelah melihat kembarannya si Sam yang begitu agresif mengejar Syena. Kembar identik yang membuatnya ngeri jika Sally berperilaku persis seperti kembarannya.
“Kudengar kau kaya.” Tembak Preti, ekspresinya persis seperti perempuan kebanyakan yang materialistis. “Sebutkan pikiran-pikiran orang kaya tentang kehidupan!” Menunjuk dirinya sendiri, “tentang yang seperti kami.”
“Aku tidak merasa kaya, jadi pertanyaan selanjutnya tak bisa kujawab.”
Kepala Preti bergerak mengangguk. Aku paham, kau orang kaya biasa.
Sally tertawa terbahak-bahak. Menutup mulutnya agar tak terdengar ribut oleh pengunjung tokonya yang lain. Menyeka air matanya yang juga tak terhankan. “Kau - lucu.” Ucapnya pelan, berjedah diselingi tarikan nafas. “Terimakasih mengatakanku orang kaya biasa. Jadi kaya luar biasa itu yang gimana?”
Preti menggidikkan bahunya. “Orang kaya luar biasa itu pasti punya sesuatu yang berharga, ego misalnya. Kayaknya kau tak punya itu.”
“Terimakasih. Aku terharu dengan penilaianmu. Yang kutangkap, kau tak suka dengan orang kaya luar biasa.”
Perempuan sawo matang itu menggidikan bahunya tanpa bahasa. Ia menyeruput kopinya yang tak hangat lagi. Pandangannya menembus kaca transparan café, menangkap sesosok yang dikenalnya mengarah ke café. Liau? Jangan kesini, kumohon! Batinnya meronta. Tak tahan melihat pria itu meski mencoba sembuh dari masa lalu. Saking gugup, tak sadar diremasnya garpu kentang goreng.
Sally menangkap ekspresi perempuan itu. Ekspresi yang sering dilihatnya dulu. “Kau masih tak bisa menahan dirimu jika menatapnya.”
“Hah?!”
“Sudah bertahun berlalu, masih juga bertahan dengan cintamu. Jadi kenapa menghindar terus, toh dia sudah kembali.” Rahang Sally mengeras. Sudut bibirnya rata, tak meninggi seperti biasanya. Tak ada tawa, ekspresi seriusnya ditangkap sempurna oleh Preti.