Bulir-bulir jeruk bertaburan di meja makan. Makan jeruk tapi hanya bulirnya aja mungkin kebiasaan langka dan dialami sedikit orang di dunia. Sayangnya yang sedikit orang itu termasuk ibu Preti. Setiap kali makan jeruk, lebih banyak yang terbuang ketimbang yang dimakan.
Udara memang sangat panas. Sensasi segar jeruk apalagi diperah sempurna dengan tambahan es serut adalah kenikmatan hakiki yang tak terdusta. Atau mungkin versi Indonesia, ditambah gula biar makin menyegarkan meskipun khasiat dan kandungan buahnya berkurang.
“Yang penting puas!” kata ibu Preti sebelum putrinya nongol, ceramah Preti akan panjang lebar.
Preti menguliti jeruk yang warna kulitnya lebih hijau. Sengaja, ia memang suka yang sedikit asam. Ia tak menanggapi ibunya yang tetap saja melakukan hal yang sama meskipun dirinya sedari dulu sudah mencak-mencak berteriak sampai urat menegang. Biar aja berserak! Batinnya melihat malas bulir-bulir yang berserak di meja.
“Jangan terlalu banyak makan yang asam, hidup ini udah terlalu banyak yang gak manisnya.” Canda perempuan tua itu, mencoba memulai percakapan yang sudah seharusnya tabu semenjak edisi putrinya nangis sesunggukan semalaman. “Kau sudah mulai membaik?”
“Apanya?”
“Katanya, kalau kita sehat, luka sembuh diobati waktu. Kalau sakit, luka sembuh oleh sendu. Kau yang mana, Nak?”
Preti menggeleng, “Masalahnya aku gak sehat, Mak! Juga gak sakit!”
“Kutahu, Nak. Gak mungkin kau terkurung terus sama masa lalu asmaramu yang setengahnya pun mamak gak tahu. Kau gak cerita, mamak gak bisa bantu nyari atau ngasih obat!”
Preti memasukkan satu persatu satu jeruk itu ke dalam mulutnya. Mengangguk-angguk setuju sambil memikirkan memulai cerita dari mana. Memutuskan memberitahu ibunya tentang rahasia publik yang masih tersimpan “Mama kenal Ben?”
“Laki-laki yang sering kalian ceritakan itu kan?”
Preti mengangguk. “Dia itu Liau! Tapi Syena gak tahu, dan Liau juga gak cerita apa-apa pada Syena. Entah mereka berdua juga sudah saling memberitahu dibelakangku, gak tau juga.”
“Mamak ngerti satu hal tentang wajah uring-uringanmu selama ini. Nah kalau tentang kau nangis beberapa tahun yang lalu karena dia!”
“Itu gak bisa kuceritakan.”
“Makanya itu, mamak juga gak bisa bantu. Dan kau juga gak bisa membantu dirimu sendiri. Kau terjebak dengan pengaruh masa lalu, Padahal gak salah diperbaiki kalau bisa menerima keadaan. Jangan gak mau kalah, Nak. Kau salah medikte masa lalu, sementara waktu tak pernah mundur atau maju.”
Preti melemaskan badannya di kursi rotan peninggalan ayahnya. Mengangkat kaki kanannya sementara kaki yang lain menginjak lantai, mengayun kursi. “Dulu kami pernah pacaran. Sebentar.” Nadanya merendah.
“Berapa bulan?”
“Seminggu. Kalau mamak dengar cerita Syena, pasti sudah tertebak dia kayak apa. Sempurnalah kalau versi Indonesia. Awalnya aku ragu. Ya, kupikir dia kasihan aja samaku. Tau kau, Mak, gempar seluruh isi kampus perkara dipacarinya aku.” Ekpresinya serius, setengah membungkuk maju setelah kaki kanannya menghentikan goyangan kursi. “Mulut setengah kampus mencibir, bilang aku gak waraslah – sok kepedean cantiklah dan sisanya banyak diam dan jelekin di medsos.”
“Di situ udah kawannya kau sama si Syena?”
Preti menggeleng tak yakin. Sambil diingat-ingatkan kapan pertama kali jumpa dengan Syena. Siapa pertama kali yang dikenalnya, Liau atau Syena.
“Udah, lanjutlah dulu ceritanya.” Ibu Preti menangkap ekspresi putrinya yang bisa saja tak jadi melanjutkan cerita perkara pertanyaannya barusan.
“Nah, trus kan. Aku gak kasih tau mamak, sengaja memang. Ya namanya juga baru pacaran dan ragu. Di hari dia ngajak ketemuan dengan Mamanya disitulah rencanaku bawa dia ke rumah. Tapi.” Dihembusnya nafas pendek sambil mengayun kursi rotan tadi. “Hasilnya lebih menyakitkan ketimbang cibiran anak-anak kampus.”
“Dimaki mamaknya kau? Miskin, gak cocok dengan anakku, gitu katanya?” dengan ekspresi najis mempraktekkan ibu Liau di dalam bayangannya.
Preti tak menjawab. Melanjutkan ceritanya. “Jangan bayangkan versi sinetron, Mak. Bayangkan versi orang Batak mencibir. Ya persis kayak mamak lah, mencibir anak-anak tetangga.” kembali ke posisi awal, santai bergoyang di kursi rotan. “Kejadiannya, pas satu minggu setelah pacarannya, Mak. Kulihatlah dia menggandeng perempuan lain.”
“Kau tanya langsung siapa perempuan itu?”
Preti menutup matanya, “Gimana mau nanyak kalau mereka lagi… Ah gitulah.”
“Setelah itu, Liau gak jumpain kau lagi?”
Preti menggeleng. “Dia tiba-tiba berangkat ke luar negeri. Brengsek kan?"
“Nggak ngasih kabar?” tanya Ibu Preti memastikan ingatan putrinya.