Burung mencicit di balik tembok. Suara ayam jago juga berkokok sementara betina berkotek bising. Panas pagi yang masuk dari celah tirai terasa hangat menyinari ruangan nuansa abu rokok. Ditambah bisik-bisik para pelayan yang berdiri membelakangi kasur, berhasil membuka matanya yang masih sembab.
“Siapa kalian?” tanyanya penuh kejut persis seperti adegan di televisi yang tak sadar tidur di kamar asing dengan pakaian sudah terganti. “Kalian apakan aku?” peluknya selimut wangi berbulu gundury itu dengan erat.
Pembantu yang ditugaskan mengawasi Preti segera memencet HT mini yang dikeluarkan dari saku celananya. “Gaes, dia udah bangun.” Bicaranya membuat Preti melongo. Bahasa inggris yang dilafalkan dengan logat batak.
Tak butuh beberapa menit, ibu Saly masuk dan membawa beberapa potong buah strawberry dan rasberry dengan teh hangat. “Kau sudah bangun?” elusnya rambut Preti dengan lembut. “Gantilah pakaianmu dan makan sarapanmu. Kami semua ada di bawah. Kalau perlu sesuatu, tekan bel itu.” menunjuk tiga bel di dinding sandaran dipan kasur. Satu berwarna biru berlogo pembantu, satu berwarna merah bertuliskan SOS, dan satu lagi tombol kuning bertuliskan family.
Preti melongo menatap ibu Saly sampai punggungnya menghilang dibalik pintu. “Ini zaman apa?” tanyanya pada diri sendiri. Kamar ini bahkan sebesar ruang tamu sampai dapur mamak ku. Lagi dia bergidik, “Maksudnya kami semua siapa? Jangan-jangan mereka semua menunggu aku turun?”
Tak menyentuh sarapan ala orang kaya yang tertata rapi di atas nampas berwarna keemasan, Preti segera keluar dari kamar. Menapaki tangga yang berwarna kuning dengan garis-garis emas di setiap sisi keramik itu dengan waswas. Alangkah leganya dia saat melihat yang ada dibawah ternyata keluarga inti Saly. Ia lebih khawatir jika ada Liau disana.
“Hebat, kau bisa mabuk hanya dengan lima teguk wine” Canda Samy yang pertama menangkap badannya yang baru saja turun.
Yang lain serempak menoleh, masing-masing dengan senyuman khas mereka. Preti merasa dekat dengan senyuman-senyuman hangat yang diterimanya meski samar tak terlihat jelas tanpa kacamata.
“Kau mau?” Ayah Saly menyodorkan rokoknya yang masih terbungkus sempurna. Belum dibuka. “Jangan sungkan, kami semua juga perokok!” katanya sambil tertawa terbahak-bahak.
“Jangan gitu, Pah. Dia jadi bingung dibecandain gak mutu kayak gitu. Ayo sini.” Di tepuk ibunya sofa di sampingnya sambil memanggil beberapa pelayan yang bajunya sama hampir di setiap ruangan. “Mana teh madunya?”
Mendengar teh madu kembali sudah ingatannya tadi malam mabuk gak jelas di pertemuan keluarga Saly. Menutup matanya sambil mengingat seorang yang meruntuhkan hatinya. Liau pasti malu.
“Gak apa-apa, semalam semuanya terkendali.” Bantu Sam dengan kedipan mata. “Kau aman tanpa busana.” Tawa masih mengiringi suasana yang seperti panggung lawak murahan.
Saly menyela tawa Samy dan ayahnya. Kemudian mendekati Preti. “Aku sudah telepon bibi, bilang kau dirumah kami. ibu juga bantu bicara, kalau-kalau ibumu curiga. Kami segan mengantarmu mabuk berat dengan baju penuh muntah.”
“Iya.” Sam mendekatinya dengan tatapan jahil, “Syukur Liau tak menerkammu semalam yang ngomel-ngomel gak sadar sambil buka cardigan.”
Plakkkk…
tak tahan lagi dengan lawakan najis Samy, tangan Preti akhirnya mendarat sempurna di pipinya.