Belasan tahun berlalu sejak aku menutup pintu rumah untuk terakhir kalinya. Sampai hari ini, peristiwa itu masih mengundang ngilu di dada kiri. Masih kuingat dengan jelas tangis mamakku, yang melepaskan kepergianku. Hari itu pula, kutabuh dendam di dadaku, agar kelak dapat kuteriakkan pada mereka, bahwa aku tidak berdosa, sebagaimana yang mereka tuduhkan.
Aku pulang membawa rindu, sekaligus dendam. Kekosongan yang membuat hatiku manganga, mengundang kenangan lama kembali dibuka. Barangkali, beginilah yang dirasakan mamak ketika aku pergi meninggalkan rumah. Kepergian anakku, menyadarkan banyak hal; tentang perasaan-perasaan yang menyesaki dada mamak belasan tahun lalu. Ketiadaan anakku setelah pertengkaran itu, membuatku sadar, tidak ada seorang ibu yang mampu melewati hari tanpa anaknya. Perasaan-perasaan itu pulalah yang menggerakkan langkahku untuk pulang.
Setelah menjadi orangtua, aku barulah paham, bagaimana perasaan mamakku dulu, bagaimana ia menjalani hari tanpa kehadiranku. Hari-hari yang kuhabiskan sebagai seorang ibu, perlahan mengobati lukaku, mengurangi pertanyaan yang sejak dulu menyesaki hatiku. Lukaku tentulah meninggalkan bekas, yang ngilunya masih sering terasa manakala kuingat kejadian-kejadian lama.
Hari ini aku pulang. Aku ingin membasuh luka yang terlanjur kubiarkan menganga. Aku ingin memperbaiki apa yang kutinggal pergi—hati mamakku yang tak bersalah, yang pernah kututup seiring pintu rumah yang kubanting dahulu. Namun, yang kutemui bukanlah pintu yang pernah kututup itu. Batu nisan mamak yang telah berlumut pula yang menyambut kepulanganku. Seharusnya pelukan mamak yang kudapat, bukannya meratap di pekuburan dengan sesal yang menyesaki dada. Aku berharap dapat mengetuk pintu yang dulu pernah kututup, mengiba pada maaf dan belas kasihan mamakku. Tetapi, yang terjadi malah air mataku tertumpah di atas makam mamak, di atas gundukan tanah merah yang telah ditumbuhi rumput liar.
Mak, anakmu pulang. Bukan mengetuk pintu rumahmu, melainkan mengetuk nisan dinginmu.