Bila ada seribu maaf untuk kesalahan anak lelaki, mengapa tidak bisa membukakan satu maaf saja untuk kesalahan anak perempuan?
Sejak kejadian kemarin, aku diliputi cemas dan takut. Ke mana kakiku berjalan, di sana ada tatap mata yang menghakimiku. Aku hanya bisa menunduk, terlalu takut menghadapi isi kepala orang-orang. Namun, bilamana kuingat kejadian sebulan lalu, hatiku rasanya pedih dan ngilu. Apa yang selama ini kujaga, rusak begitu saja direnggutkan secara paksa. Aku harus menuntut, aku harus memperjuangkan diriku yang kadung terluka.
Kutemui Kepala Sekolah di ruangannya. Kuceritakan apa yang kualami sebulan lalu. Tetapi, ucapannya seolah ingin membunuhku.
“Awak[1] ada buktinya ke[2]?”
Aku menggeleng.
“Ada saksinya?”
Lagi-lagi, aku menggeleng.
“Macam mana awak nak[3] buktikan Pak Bas pelakunya?”
Aku diam. Mengapa sekarang aku yang dipaksa berpikir? Jika memang ada saksi seperti yang ditanyakannya, tentulah kejadian itu tak akan terjadi. Pak Bas pasti mengurungkan niatnya, andai ada orang yang tahu kejadian itu. “Tapi, Pak, memang macam tu adanya. Bapak itu yang perkosa saya.”
“Ngape awak baru cakap sekarang? Kejadian dah sebulan lewat?” Kepala Sekolah menggelengkan kepala. Entah apa yang dipikirkannya. “Karena awak dah hamil ke? Betul ke cerita kawan-kawan awak tu? Awak mual-mual?”
Aku menunduk. Memilin baju yang tak kusut.
“Hamidah.. Hamidah.. Awak, kan, tahu, Pak Bas tu dikenal sebagai guru yang baik. Apa mungkin…”
“MUNGKIN, PAK!” Kugebrak meja, aku bangkit dari dudukku. Wajahku barangkali telah memerah, mataku memanas. Mengapa orang-orang menutup mata dari kesalahan orang yang telah memperkosaku? Hanya karena dia dikenal baik selama ini? Lalu bagaimana dengan aku yang tak pernah membolos, tak pernah mendapat nilai jelek, tak pernah melawan guru? Bukankah aku juga murid teladan? Lantas mengapa tak seorangpun membelaku? “Bapak! Jangan Bapak patahkan hati seorang anak yang mengharap perlindungan dari Bapak. Ke mana lagi saya nak cari perlindungan kalau tak ke Bapak?”
Wajah Kepala Sekolah jelas kecut. Barangkali ia tak menyangka aku akan semumtab itu. “Saya tak tahu awak hamil sama siape. Tapi, lekaslah gugurkan kandungan tu kalau awak tak nak makin runyam.”
“GURU BAPAKLAH YANG MENGHAMILI SAYA! Dah saya cakap, Pak!” Suaraku bergetar, tanganku gemetar. Aku tak kuasa menahankan amarahku sendiri.
Aku berbalik arah, membelakangi kekecewaan dan putus asa. Kubuka pintu dengan pandangan mengabur. Kulihat beberapa guru mengintip dari balik jendela; entah penasaran, entah siap menghujat.
Tatapan mereka mengiringi langkahku keluar dari sana. Lagi-lagi perasaan mual itu muncul. Rasanya perutku seperti diaduk-aduk. Aku ingin mengeluarkan seluruh isi perutku—termasuk janin yang sekarang menumpang hidup di sana.
***
“Dasar anak jadah!! Tak tahu diri!” Bapak menyumpah, melayangkan tendangannya ke perutku. Aku tersungkur, merasakan sakit melingkupiku.
Berita itu telah mengetuk rumah ini, melahirkan murka bagi Bapak dan abang-abangku. Lihatlah, mereka lupa, bahwa akupun tengah marah dengan keadaan ini. Mereka tidak ingat aku telah menyumpah-nyumpah kepada Allah perihal ini. Tetapi mereka dengan ringan melempari berangnya kepadaku.
Mamak telah menangis sejak tadi, mengikuti ke mana arahku terjatuh. Tetapi, duhai, tiada yang bisa melindungiku, bahkan kasih sayang Mamakku.
“Kau tu dah aku sekolahkan tinggi-tinggi, kuberi martabat juga maruah, kau tu patutlah berpikir!”
Bapak, yang tadi menarik bajuku, kembali melayangkan tamparannya ke wajahku, hingga kurasakan dengingan-dengingan sisa tamparan itu menuju telingaku, membuatnya pekak sekaligus ngilu. Dari sanalah muasal sakit dan dendam yang kemudian terpupuk di hatiku. Darah yang meleleh dari sudut bibirku tak lagi kuhiraukan, ia menjadi saksi atas kejamnya kelaku Bapak terhadap anak perempuannya sendiri. Anak yang sejak minggu lalu memperjuangkan dirinya agar tidak mati, kini di tangannya sendiri, seolah nyawa ini ingin dicerabut olehnya.
“Sudahlah, Bang! Sudah!” Mamak memeluk tungkai Bapak, bersujud dan memohonkan pengampunan atasku. Aku benci menyaksikan Mamak meratap seperti itu. Aku benci melihat Mamak mengemiskan maaf untukku. Aku tidak bersalah, mengapa aku yang harus memohonkan pengampunan?
Uteh—abangku yang ketiga, memasang badan di hadapanku. Tak beda dari Mamak, iapun berusaha mendapatkan maaf untukku. “Bapak, udah! Tak malu ke awak ni? Awak ni laki-laki, bermartabat lagi bermaruah. Malu sikit tangan-kaki awak tu menyiksa perempuan. Ha, Abang? Tak malu ke awak?” Uteh menatap Uwan dengan tajam.
Uwan tidak peduli, ia kembali menendang tubuhku, hingga lagi-lagi aku tersungkur. “Tak nak aku punya adik macam kau ni. Dah berzina, hamil pula!”