Kata Umak, Perempuan Tak Boleh Guna Perhiasan

Goebahan R
Chapter #3

Bab 2 - Apabila Terpelihara Mata, Sedikitlah Cita-Cita

Aku terlahir tanpa bapak, tanpa abang dan kakak. Satu-satunya kerabat yang kupunya hanya Umak. Umaklah yang melahirkanku, juga membesarkanku. Sehari-hari, Umak saja yang kulihat. Mulai aku membuka mata di pagi hari, hingga terlelap di malam hari.

Tubuh Umak besar dan kekar, barangkali karena Umak pekerja kasar. Kulitnya legam, setiap hari terbakar panas. Rambutnya pendek, sekilas tampak seperti lelaki. Meski tampilan Umak menyeramkan, nyatanya Umak berhati lembut. Umak jarang sekali berkata-kata yang menyakiti orang lain. Bila terjebak dalam suatu perdebatan, Umak lekas sekali tersenyum dan menganggukkan kepala—semata ingin mengakhiri perdebatan. Kata Umak, tak payahlah membuang waktu untuk berdebat panjang, benar-salah itu tergantung sudut pandang.

Bagiku, Umak terlampau pasrah pada hidup. Lebih tampak seperti tak punya harapan. Jangankan ditanya cita-cita, ditanya tentang hari esok saja sudah bingung. Tiada hal yang membuat Umak marah, kecuali satu; jika kuminta perhiasan padanya.

Aku iri betul melihat teman-temanku mengenakan cincin, kalung dan gelang. Belum lagi jika ada permata yang berkilau di atasnya. Duhai, ingin sekali aku memilikinya. Namun Umak bersikeras pada satu hal; perempuan tak boleh guna perhiasan.

Tak tahu pula apa sebab salah pada perhiasan. Entah ada dendam apa Umak kepada perhiasan yang berkilauan. Aku tak pernah tahu cerita, sebab Umak jarang berkata-kata. Jika tidak penting, Umak akan diam. Dia lebih banyak mendengarkan, sebagaimana perangai itu menurun padaku dengan sempurna.

Padahal, jika kutanya pada umak teman-temanku, tak pula mereka berayat bahwa perhiasan tak boleh dikenakan perempuan. Bahkan, umak teman-temanku cakap, memang untuk perempuanlah perhiasan itu dicipta. Agar elok dan rupawan.

Umakku memang tampak berbeda, tetapi perihal satu ini, aku masih sulit terima.

***

Jari manisku cacat sejak lahir, tidak sempurna. Ia menyatu dengan jari tengah, seolah tak sempurna terbelah. Jika orang lain memiliki lima jari, aku hanya memiliki empat saja di tangan kananku. Bersebab itu pula aku sangat ingin memakai cincin. Perhiasan indah macam itu pasti membuat jariku tampak elok. Namun, sekeras apapun aku menginginkannya, sekeras itu pula Umak menolak keinginan itu.

“Kau bacalah Gurindam Dua Belas, Safiah. Apabila terpelihara mata, sedikitlah cita-cita. Kau ni banyak sangat tengok punya orang, jadi berhasrat untuk punya juga.” Umak berucap seraya tangannya terus merajang sayuran.

Aku menelan ludah. Kalimat itu bukan kali pertama kudengar, sudah sejak dulu telingaku mendengarnya. Kepalaku sampai hapal.

“Ye-lah, dah hapal pun saya sama bait tu. Hari-hari Umak cakapkan itu.” Aku protes.

Umak tersenyum padaku. Ia memegang pipiku. “Kau mintakan yang lain, Safiah. Umak kasih dunia ini untuk kau. Umak sayang sama kau, Safiah.”

Umak bukanlah orang yang bisa bermanis-manis kata. Jika ia mengucap sayang, atau mengungkap perasaan, tentulah itu berasal dari hati terdalamnya.

Umak jarang mengucapkan kata sayang ke aku. Mendengar ini tentulah menghangatkan hatiku. Umak satu-satunya yang kupunya di bumi ini, meski seringkali aku sulit memahami pikiran Umak.

***

Aku suka duduk di dermaga, memandangi pompong yang datang dan pergi, menatap wajah orang-orang yang turun dan yang naik. Seringkali anak-anak di sini juga bermain di tepi laut. Dan aku suka memandangi mereka bermain.

“Safiah, woi, Safiah. Sini, ikut berenang.”

Zul melempar batu kecil padaku, agar aku melihat ke arahnya. Dia anak Babah, ketua RT di desa ini.

Senyumku merekah. Dari semua orang yang ada, Zul dan keluarganya termasuk orang yang menerimaku dengan baik. Tidak peduli kurangku apa, jariku yang tak sempurna, mereka tidak pernah memandang itu.

Aku menggelengkan kepala. “Saya tak bisa berenanglah.”

Zul menggeram. “Sinilah belajar sama kami. Kau ni, anak pulau tak pandai berenang. Tak patut.”

Teman-teman kami yang lain ikut menyoraki, mengamini ucapan Zul. Terkadang aku bingung, dari apa Zul terbuat? Tiap kali dia ada di sekitarku, orang-orang seolah menerimaku dengan baik. Tidak ada ejekan yang kuterima, atau hinaan yang kudengar.

Zul meninggalkan laut. Ia naik ke dermaga dan berjalan ke arahku. Beberapa anak yang lain ikut naik dan membuntuti Zul dari belakang.

Tak butuh waktu lama untuk mereka tiba di tempatku dan mengejutkanku dengan tingkah mereka. Mereka mengangkat tubuhku. Zul memegang tanganku, lainnya mengangkat kakiku. Mereka mengayunkan aku ke udara, bersiap melemparkan aku ke dalam air.

“Kau tu cuma kurang jari satu. Bukan berarti kau tak bisa berenang!” ucap Zul. Ia menatapku dan tersenyum. “Satu… Dua… Tiga…”

Lihat selengkapnya