Hari telah terang ketika kapal berlabuh. Aku menuruni kapal dengan limbung. Pelabuhan ramai. Orang-orang yang baru datang, orang-orang yang bersiap pergi, porter-porter yang mengangkat barang, ABK kapal yang bertukar tempat. Segala hal di sekitarku tampak berjalan sesuai porosnya, padahal duniaku telah runtuh berantakan.
Tujuh belas tahun hidupku, sekalipun aku tidak pernah mengunjungi Tanjungpinang. Tiada sanak saudara yang tinggal di sini, tiada pula kenalan yang bertempat di sini. Tetapi mulai hari ini, di sinilah aku akan menggantungkan hidup. Mengharap belas kasihan dari sekian banyaknya kekejaman yang kuterima dari Allah. Katanya, Allah memberi ujian sesuai kemampuan hambanya. Namun, gadis tujuh belas tahun mana yang sanggup menanggung kehamilan dan diusir keluarga? Sesungguhnya aku tidak sanggup, tetapi Allah menimpakan semua musibah ini padaku.
Dari hasil bertanya ke sana-sini, aku tahu di mana Desa Penyengat berada. Orang-orang mengarahkanku untuk menumpang pompong[1] tujuan Penyengat. Aku hanya mengikuti saran, sembari memupuk harapan yang nyaris padam.
“Hati-hati, Buk!” Tanganku sigap menarik perempuan paruh baya yang hampir tersungkur ke laut. Ia membawa barang-barang begitu banyaknya, hingga tubuhnya limbung dan nyaris jatuh dari pelantar[2].
Perempuan itu mengucapkan terima kasih, kubalas dengan anggukan. “Nak ke mane?” Katanya kemudian.
Aku melemparkan sebuah senyum tipis lantas menjawab, “ke Penyengat, Buk.”
“Eh, nak ke rumah siape?”
Suara perempuan itu berat, terkesan tegas. Tubuhnya tinggi, perawakannya besar. Ia mengenakan songkok di kepalanya. Wajahnya tidak bisa kuingat, aku terlalu takut untuk menatap wajah orang-orang. Hatiku mengecil, tak berani menghadapi siapapun. Masih bercokol perasaan takut akan hinaan dan cacian dari orang-orang. Bersalah atau tidak, nyatanya orang-orang lebih mudah mengataiku sebagai pezina dan pendosa.
Aku tak tahu harus menjawab apa. Beruntung pompong tiba beberapa saat kemudian. Kami dipersilakan masuk. Aku memberikan sepuluh rupiah kepada pemilik pompong. Tangannya lihai mengayuh dayung. Sekitar lima belas menit saja, kami telah bersandar di dermaga seberang.
Hatiku bergetar saat menyadari betapa aku telah sampai di tujuanku, namun segera menjadi gentar, kala kuingat ketidaktahuanku perihal hidup ke depan. Di ujung jalan, kulihat masjid besar bertuliskan Masjid Raya Sultan Riau. Betapapun besarnya marahku kepada Allah, betapapun bencinya aku pada hidup, nyatanya rumah Allah-lah satu-satunya yang bisa kutuju.
Gontai langkahku menuju rumah-Nya. Aku berwudhu, memanjatkan doa—alih-alih berisikan protes dan keberatan, atas kejadian yang telah ditimpakan Allah kepadaku.
Jauh dari rumah, tak punya siapa-siapa, membuatku hanya bisa memilih untuk kembali kepada Sang Pencipta. Sekecewa apapun hatiku saat ini.
***
Seminggu lamanya aku hidup dalam kematian. Manakala para lelaki membaca ayat suci Al-Quran, aku terbangun dengan perasaan hampa. Setelah adzan dikumandangkan, tubuhku hanya berjalan menuju keran dan berwudhu; aku menegakkan salat setaat dendam dan amarah yang masih terpupuk subur di hatiku.
Jika matahari mulai tinggi, aku berjalan ke dermaga dan membeli makanan yang paling sederhana, lagi murah. Aku makan dengan perasaan berang. Keinginan untuk mati, sama kuatnya dengan tekad untuk hidup. Aku mendoakan bayi di perutku agar tumbuh sehat, namun tanganku seringkali memukul perut berharap ia gugur menjadi gumpalan darah. Segala hal di hidupku menciptakan hal-hal yang saling bertentangan, dan itu sangat membingungkan.
Saat tenggorokanku terasa kering, perutku terasa sakit, aku hanya tergeletak di lantai masjid. Air mataku meleleh tanpa henti, namun aku bahkan tidak tahu apa yang kutangisi. Aku merindukan Mamak dan Uteh. Aku rindu memakan lendot buatan Mamak, juga mendengar kelakar Uteh perihal dermaga dan kapal-kapal. Aku merasa hampir mati, tetapi ruhku enggan pergi.
“Alahai, kenapa kau ni? Mari, ke rumahku.” Seorang perempuan berbicara padaku. Aku tidak menyahuti, namun kurasakan ia membopongku berdiri.
Tubuhnya tinggi besar, setidaknya aku merasakan ketimpangan di antara tinggi kami ketika berdiri bersisian. Aku tidak ingat apapun lagi setelahnya, setelah pandanganku menggelap dan napasku sesak.
Saat aku terbangun, aku sudah terbaring di sebuah tempat tidur. Ruangan di sekitarku tidak terlalu lebar, namun aku bisa menyium aroma harum makanan. Tidak ada yang kulakukan. Aku tetap rebah di dipan, menatap langit-langit sembari berpikir; siapa yang telah mengulurkan tangan kepada perempuan yang ditimpakan kemalangan ini?
Aku teramat sungkan untuk berani memenuhi rasa penasaran. Alih-alih meninggalkan ruangan ini dan mencari tahu siapa empunya rumah ini, aku malah tetap berbaring di sini; berterima kasih telah diselamatkan, sekaligus mengaduh sakit membayangkan hidup ke depannya.
“Eh, awak dah bangun ke?”
Aku sontak terduduk, lantas mengangguk. Namun, kurasakan perutku menegang, menyisakan perasaan tidak nyaman.
“Kau tu jangan bangun tiba-tiba. Sakit, kan, perut kau tu?” Perempuan itu mendekati dan meletakkan mangkuk berisi makanan di meja kecil di sebelah dipan. “Ha, makanlah dulu. Aku tadi masak Serikaye Ketulang.”
Patah-patah kepalaku mengangguk, tergagap pula mulutku hendak berucap. Barangkali aku serupa anak kecil yang hilang arah—tak tahu asal, bingung tujuan.