Kata Umak, Perempuan Tak Boleh Guna Perhiasan

Goebahan R
Chapter #5

Bab 4 - Cahari Olehmu Akan Kawan, Pilih Segala Orang Yang Setiawan

Kupikir, meninggalkan desa dan bersekolah di seberang—meski tidak terlalu jauh, bisa membebaskanku dari ejekan yang selama ini kudengar. Barangkali Umak berkata benar, keinginanku akan perhiasan muncul sebab olok-olokan orang. Mereka berhasil membuatku merasa tidak berharga, juga tidak berguna. Padahal jariku hanya kurang satu, bukan perangai dan tutur bahasa yang baik yang tanggal dari tubuhku. Namun orang-orang tidak peduli, seolah kurangku menjadi celah besar bagi mereka untuk mengata-ngatai. Tanpa peduli, pada kekurangan diri sendiri yang tersembunyi di hati. Patutlah peribahasa itu seringkali ditempelkan pada kami yang melayu ini. Bodoh tak terajar, pintar tak terikuti. Padahal mereka sering berkata, menjunjung tinggi tutur bahasa, laku perangai.

Umak berbesar hati menyekolahkanku di Tanjungpinang, meski di desaku sendiri, masih ada bangunan SMP. Aku tak ingin bersekolah di situ, semata aku ingin terbebas dari teman-teman yang lama.

Di sekolah baru, sebagian besar temanku memang baru, tetapi tak berarti yang lama telah tiada. Dan tentu saja, jariku yang kurang satu segera disadari orang-orang. Aku lagi-lagi merasa tak berharga. Zul sajalah yang menemaniku sehari-hari. Entah angin apa, ia ikut bersekolah di Tanjungpinang. Tentu hatiku senang, meski aku sebenarnya curiga.

Pun begitu, aku tetap harus berterima kasih. Keputusan Zul untuk bersekolah di Tanjungpinang membuat Umak luluh dan mengizinkanku bersekolah di sana. Umak juga berpesan agar aku selalu berangkat bersama Tok Hussein jika ia tidak turun ke pasar. Aku mengiyakan saja, yang penting urusan cepat selesai dan Umak menuruti inginku.

Sejak hari pertama sekolah, tidak ada hal yang terlalu berbeda. Semuanya sama saja, kecuali perjalanan menuju sekolah yang harus menaiki pompong. Sampai hari ini, sekolah kami kedatangan murid pindahan. Katanya dari Sumatera Utara.

Rambutnya pendek. Rahangnya tegas, tatapannya tajam. Dari wajahnya, ia tak tampak seperti orang Melayu.

“Namaku Butet Sagala,” katanya. “Dulu aku di Siantar, terus ikut pindah ke sini sama Amangku.” Ia mengenalkan diri.

Cara bicaranya berbeda. Suaranya juga besar. Dari orang-orang, aku jadi tahu kalau ia bersuku Batak.

Bu Jelantik menyilakan Butet duduk di sebelahku, sebab kursi di sebelahku memang kosong. “Ha, Butet, kau duduklah di sebelah Safiah. Selamat datang di sekolah ini, Ibu harap kau betah di sini.”

Butet mengangguk. Ia berjalan ke arahku, namun berhenti cukup lama di depan kursi kosong di sebelahku. Matanya menatap aku dan kursi itu bergantian.

Awak tak nak duduk sama saya ke?” Hatiku menciut. Apa dia sudah melihat jariku yang cacat?

Gadis itu memiringkan kepalanya. “Kenapa pulak aku nggak mau duduk sama kau?” Ia mengulurkan tangannya. “Kenalan dululah, aku Butet.”

Ragu sekali aku mengulurkan tangan, sebab tangan kananku-lah yang cacat. Ia akan segera menyadari kekuranganku. Aku hanya perlu menunggu waktu hingga ia mengejekku seperti yang lain.

Zul membalikkan badan sejak tadi, ia menghadap ke belakang. Menatap aku yang masih ragu dan takut. Aku menatapnya, berusaha mendapatkan jawaban atas pertanyaan di hatiku. Dan seolah mengerti apa yang kutakutkan, pemuda itu menganggukkan kepalanya, meyakinkanku bahwa tidak mengapa jika aku menjabat tangan anak baru di hadapanku ini.

Aku menjabat tangannya. “Safiah.” Kugoyang-goyangkan tanganku, sebagaimana aku diajarkan menjabat tangan seseorang.

Butet melakukan hal yang sama. Tak lama, ia membalikkan tangannya, menatap jari-jariku yang berada dalam genggamannya.

“Butet, kenapa kau masih berdiri kat situ? Duduklah. Ibuk nak jelaskan pelajaran.” Bu Jelantik menegur gadis itu.

Ia sontak terkaget dan buru-buru duduk di sebelahku.

Aku tak berani menanyakan apapun yang ia pikirkan saat melihat tanganku. Ketika Bu Jelantik menjelaskan pelajaran, aku disibukkan menyimak apa yang diucapkan Bu Jelantik.

Gadis di sebelahku menarik bajuku pelan.

Aku menoleh. Menatapnya penuh tanya.

“Tangan kau unik,” katanya.

Aku menaikkan alis, kembali mengisyaratkan tanya. Kenapa?

Butet tersenyum. Senyumnya benar-benar lebar, menampakkan gigi-giginya yang besar seperti kelinci, namun berjajar rapi. “Tangan kau itu unik. Bawa keberuntungan.” Ia kembali berucap dengan berbisik.

Aku masih tidak mengerti dengan maksudnya. “Maksud kau cacat?”

“Memang nggak kayak tangan aku dan tangan orang-orang. Tapi kata siapa cacat? Kalau nggak sempurna, kan, bukan berarti cacat.” Gadis itu menyengir.

“Kata orang-orang aku cacat. Tanganku macam kepiting.”

“Kata Amangku, hal-hal yang nggak biasa macam tangan kau ini, bawa berkah. Jangan kau pikir kata orang.”

“Butet. Baca paragraf ketiga.” Bu Jelantik memberi perintah.

Gadis itu terkesiap. Ia berdiri sembari mencari-cari bacaan yang dimaksud Bu Jelantik. Sebelum mulai membaca, ia menatapku dan berbisik, “Ingat! Nggak sempurna bukan berarti cacat.” Ia mengacungkan jempolnya, lalu membaca bagian yang disuruh Bu Jelantik.

Ia mengulang frasa itu dua kali, seolah ia sedang mengatakan kepadaku bahwa tanganku bukanlah sebuah kecacatan. Butet orang baru di hidupku, namun pemikirannya luar biasa. Ia berbeda dari teman-temanku yang lain.

***

Setahun sudah sejak Butet datang ke sekolahku, juga hidupku. Ia telah mengubah banyak hal, menambahkan warna baru di hidupku. Gadis itu selalu memiliki ide yang cemerlang. Ke mana-mana kami selalu bertiga; aku, Zul dan Butet.

Orang-orang tidak ada lagi yang mengejekku, sebab Butet tidak ragu adu otot hanya untuk membelaku. Awalnya mungkin mereka takut, ada gadis itu yang melindungiku.

Ke mana aku melangkah, Butet selalu di sampingku. Teman-temanku yang lain menatapku dengan tatapan ngeri dan takut. Diam-diam mereka melirik ke arah kami. Saat punggung kami menjauh, mereka mulai berbisik.

Melihat mataku yang tertunduk malu, sebab bisikan-bisikan yang kutahu mengikuti di belakangku, membuat Butet mumtab.

“Heh, Safiah, kau angkat kepala kau itu. Kau tengok itu kawan-kawan kau. Senyum, anggukkan kepala. Kau ini nundukkan kepala macam abis buat salah.” Butet berkata dengan tegas.

Aku mengangguk, mengiyakan.

“Yang satu cacat, yang satu kasar. Cocok.”

Seseorang berbisik. Aku dan Butet mendengarnya dengan jelas.

Butet mendatangi sumber suara. Beberapa teman perempuan kami sedang berkumpul seraya terkikik pelan. Gadis itu tentu murka. “Apa kau bilang tadi?”

“Eh, takde kami cakap apa-apa.” Kata anak perempuan yang berkumpul itu.

Lihat selengkapnya