“Kau ni macam lelaki,” komentar Mak Long saat melihat aku yang berambut pendek.
Aku tak menyahut, sebab yang dikatakan memang betul. Kehamilan yang menimpaku, petaka yang menghanyutkanku, hati yang hampir mati, melahirkan aku yang seperti ini; Hamidah yang berwajah dingin, berpenampilan lelaki.
Mak Long lantas menambahkan, “tapi wajah kau tu tetaplah sendu.” Ia memegang pundakku, mengamati wajahku. Entah apa yang sedang dibacanya di sana. “Aku tak tahu apa yang menimpamu. Tetapi rumahku ini, kubuka untukmu.”
Mendengar kalimatnya, hatiku menghangat. Setelah Bapakku sendiri menutup pintu untukku, menghinakan aku, hari ini, ada orang asing yang membukakan pintunya untukku, menampung aku dan segala kemalanganku. Hadirku tentu membuahkan tanya di hati orang-orang. Kemunculanku di Warung Kopi milik Mak Long tentu mengundang keganjilan. Ditambah, aku tak mampu menutupi kehamilan yang kubawa. Cepat atau lambat, perut ini akan membesar. Janin diperutku akan menunjukkan keberadaannya kepada orang-orang.
“Saya nak bekerja di pasar, Mak. Saya tak enak hati menumpang terlalu lama di sini. Orang-orang mulai membicarakan saya.” Aku memilin baju. Takut menyinggung perasaan Mak Long.
Perempuan paruh baya itu menghela napas. “Aku tak pernah cakap menganggapmu menumpang di rumah ini.”
“Tapi saya merasa begitu.”
“Selepas anakmu lahir, pergilah bekerja di pasar. Biar aku yang menjaga anakmu.”
Tatapanku lekas menyergap Mak Long. Apa maksud kalimat terakhirnya?
“Aku memang tak pernah punya anak, tapi fahamlah mengurus budak kecik. Aku dah jalankan Warung Kopi puluhan tahun. Seramai-ramainya warkop tu, tetap je sepi.” Mak Long seolah paham membaca apa yang tersirat di kepalaku. “Maksudku, warkop tu tak seramai warkop di Tanjungpinang. Kalau cuma mengasuh budak kecik, aku masih bisa.”
“Biarkan saya menggaji Mak Long.”
“Aih, tak kesahlah. Kau ni kerjalah untuk anakmu. Kalau duit je, akupun punya.”
Aku tak menanggapi, hanya menatap Mak Long dengan tajam. Kutahu, ia paham maksud tatapanku.
“Ye-lah, ye-lah. Terserah kau je-lah. Keras betul kepala kau ni.”
“Makasih, Mak.”
Mak Long menatapku beberapa jenak. Aku tak tahu harus mengartikan tatapan itu seperti apa. Namun untuk sejenak, aku seolah tahu, bahwa Mak Long pun menyimpan ceritanya sendiri—cerita yang tak kalah pedih dari milikku.
Dua minggu aku mengikut Mak Long, aku hanya tahu ia cukup disegani para tetangga. Ia bukan termasuk orang yang tidak peduli terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Ia tetap mendengarkan rumor, namun ia mengamati. Ia tak pernah menambahi rumor yang sedang berpindah dari satu mulut ke satu telinga lainnya. Barangkali, itulah yang membuat Mak Long berbeda. Ia menyimpan banyak hal dalam benaknya sendiri.
***
Bapak barangkali telah menghapus namaku dari Kartu Keluarga. Tetapi Mak Long dengan ringan menambahkanku ke dalam Kartu Keluarganya. Semula, Kartu Keluarga itu hanya berisikan nama Mak Long saja. Kata Mak Long, namanya terlalu lama kesepian, sendirian di sana tanpa memiliki teman. Aku yang tidak punya tujuan, juga hilang arah, hanya mengiyakan saja. Sebab, aku tidak pernah memikirkan akan terdampar di suatu desa yang begitu jauh dari rumahku sendiri. Meski kini, ajaibnya, desa inilah yang rasanya seperti rumah.
Entah bersebab dendam, atau luka yang mustahil tersembuhkan, aku sama sekali tidak ingin kembali ke rumah. Dan aku tidak ingin memaafkan siapapun—tidak Uwan, Angah, bahkan Bapak. Jika guru mengajiku pernah berkata, segala perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, maka aku akan menagih mereka di akhirat nanti. Pun, jika benar akhirat itu ada.
Dari sekian banyak duka yang kualami sejak meninggalkan rumah berbulan-bulan lalu, ada satu hal yang selalu membuatku merasa sembuh untuk beberapa jenak. Aku paling suka ketika Mak Long mengajariku memasak makanan yang dijual di Warung Kopi Siang Malam. Butuh tujuh bulan hingga Mak Long mengizinkanku memasak Serikaya Ketulang kesukaanku.
Aku menyiapkan santan, sari daun pandan, gula, garam, dan ubi jalar.
“Kau potong keledek tu panjang-panjang, macam korek api.”
Tanganku memotong ubi jalar seperti arahan Mak Long. “Sudah, Mak Long.”
“Kau campurkanlah santan empat ratus mili, sari daun pandan dua sendok makan, gula dua sendok makan, telur dua butir, garam sejumput. Kacaukan sampai sebati[1].”
Aku mengikuti instruksi, tanpa berani menjeda. Mak Long tidak suka dijeda ketika mengajarkan sesuatu.
“Sudah ke?”
Aku mengangguk.
“Kau tatalah keledek tu di wadah, kukus selama tiga menit. Lepas tu, tuangkan adonan santan telurnya. Kukuslah sampai matang. Kurang lebih lima belas menit.” Perintah Mak Long.
Aku memindahkan wadah-wadah kecil yang telah terisi adonan ke dalam kukusan. Aku menunggui kukusan dengan perut keroncongan.
Mataku berkali-kali menatap jam dinding, takut terlalu lama memasak adonan. Harum santan dan pandan menguar dari sela-sela kukusan. Aku tahu, sebentar lagi Serikaya Ketulang ini matang.
Tepat di menit kelima belas, aku mematikan tungku dan membuka penutup. “Mak, dah matang.”
Mak Long menghampiri tungku. Ia membaui aroma yang menguar dari panci kukusan. “Ah, sedap betul. Matang sempurna. Dah pandai kau ni. Mulai besok, kau yang masak Serikaye Ketulang sama Deram-Deram.”
Aku mengangguk, tersenyum tipis. Di dapur, membantu Mak Long, membuatku kembali terkenang hari-hari ketika bersama Mamak. Dulu, Mamak juga suka mengajakku memasak, memintaku membantu satu-dua hal. Dulu, aku melakukan semua hal di dapur hanya karena aku senang berada di dekat Mamak. Hari ini, aku turun ke dapur demi membayar rasa sungkanku kepada Mak Long, yang telah menolong aku yang hampir mati berbulan-bulan lalu. Juga, sebagai bentuk terima kasihku, atas harapan hidup yang ia tanamkan padaku.