Memasuki kelulusan SMP, aku, Zul dan Butet berjuang agar bisa satu sekolah. Kami belajar bersama, mendaftar sekolah bersama, juga berdoa bersama. Aku dan Zul dengan keyakinan kami, sedang Butet dengan keimannya. Kami sering bercanda, meski tengadah tangan kami tak pernah sama, namun kami melangitkan amin yang serupa. Entah Allah yang akan menyambutnya, atau mengaminkannya, yang jelas, kami sedang menabuh keinginan yang sama di dalam dada.
Amang Butet pindah bekerja ke Batam. Ia tentu sudah ditawari untuk pindah, namun Butet bersikeras bahwa ia ingin melewati masa SMA di sini bersama kami. Sebab itu pula kami berjuang bersama, agar bisa terus bersama.
Semenjak tinggal sendirian, Butet jadi sering menginap di rumahku. Setiap pagi kami pergi bersama ke sekolah. Sebelum pukul tujuh, kami akan berjalan menuju pelabuhan. Zul sudah menunggu di sana, atau kami yang tiba duluan. Yang jelas, kami selalu pergi bersama, menaiki pompong yang sama.
Seperti biasa, pagi-pagi sekali, pelabuhan sudah dipadati orang-orang. Anak-anak yang pergi bersekolah, orang-orang yang pergi bekerja. Semua ingin menyeberang ke Tanjungpinang. Anak-anak di Desa Penyengat ramai yang bersekolah di Tanjungpinang. Sebab di sini tidak ada sekolah SMA.
Kami bergurau dan bercanda. Pagi hari selalu menjadi hari yang menyenangkan bagiku, juga Zul dan Butet.
“Kau tengoklah ikan tu,” ucap seorang anak lelaki seusiaku. Seragamnya berbeda dariku, namun aku mengenalnya sejak aku kecil.
Zul menimpali. “Ikan apa pula yang kau cakap tu? Kau pasti nak jahilin orang, kan?”
Aku dan Butet tertawa.
Seorang anak lelaki lainnya, melongokkan kepala, mengintip ke dalam air. Ia tampak sedang melihat ikan-ikan kecil yang berenang di sana.
“WAYOO!”
Butet mengejutkannya. Anak lelaki itu lekas terjatuh ke laut.
Seragam sekolahnya basah, begitu pula dengan buku-bukunya. Dari dalam laut, anak lelaki itu menyipratkan air ke arah Butet. Ia ingin membalas dendam.
“Kau ni! Aku jadi basah ni ha! Abislah aku dimarahin Mamakku nanti.” Anak lelaki itu menggerutu. Ia menyiramkan air ke Butet terus-menerus.
Butet berusaha menghindari.
Saat pompong menepi, Butet lekas sekali melompat ke dalamnya. Namun anak lelaki yang tadi dijatuhkan olehnya merasa tak terima. Ia segera menarik Butet hingga gadis itu tercebur ke laut.
“Safiah, tengok tu si Butet,” kata Zul.
Aku menoleh dan mendapati Butet sudah menyumpah-nyumpah di dalam air. Ia berenang mengejar anak lelaki yang tadi dijatuhkannya, lantas memukul dan menaiki tubuh anak itu hingga ia tenggelam.
Puas membalas dendam dengan anak lelaki itu, Butet berenang ke arah aku dan Zul yang sedang berdiri di pelabuhan, bersiap menaiki pompong. Tanpa ragu ia naik dan memeluk aku, hingga bajuku ikut basah.
“Butet! Oi, kau ni lah! Saya jadi basah!” Semakin aku mengomel, semakin semangat ia membuatku basah.
Butet lantas menubruk tubuh Zul hingga mereka terjatuh ke laut.
“Oi, budak-budak ini, alahai! Tak ingat nak berangkat sekolah, malah main air. Siap-siaplah kau dihajar mamak kau di rumah.” Mak Idah mengomel dari atas pompong.
Aku, Zul, Butet dan beberapa anak lelaki yang terlanjur sudah basah, hanya membalas omelan Mak Idah dengan tawa. Setelah pompong penuh, orang-orang segera meninggalkan pelabuhan menuju Tanjungpinang.
“Oi, Safiah. Sini turun!” Zul melambaikan tangan ke arahku.
Aku menggeleng. “Tak nak. Saya nak ke tempat Mak Long. Kalian nanti menyusul, ya!”
Aku sudah bersiap meninggalkan pelabuhan saat Butet dan Zul menaiki tanggal ke dermaga. Mereka sigap sekali menarikku. Zul mengangkat tubuhku. Aku berteriak seraya memukul-mukul pundaknya. Butet hanya terkekeh melihat aku yang marah-marah tak terima.
“Satu…”
“Dua…”
“Tiga! Melompat, Zul!”
Butet dan Zul saling menghitung bergantian. Mereka melompat, membawa serta aku yang masih berada dalam dekapan Zul.
“Ih, saya bilang ke Umak nanti, kalian tak sekolah. Membolos!” Kataku dengan wajah tidak terima.
“Kau juga membolos!” sahut Butet tak mau kalah.
Kami bertiga saling pandang beberapa jenak, lalu tertawa bersama. Di masa depan nanti, aku akan merindukan hari-hari seperti ini. Hari di mana aku, Zul dan Butet masih bersama, berbagi kehidupan bersama, cerita yang sama. Hari ketika kami mendewasa nanti, kami akan merindukan hari ini, ketika hidup kami hanya dipenuhi angan dan cita-cita, juga harapan-harapan yang masihlah berisikan kami saja.
Hampir sejam lamanya kami berenang dan bermain di laut. Saat naik ke atas, kami segera mengambil barang-barang kami. Zul menyampirkan tasnya, begitupun dengan aku dan Butet. Kami menenteng sepatu yang telah basah.