Kata Umak, Perempuan Tak Boleh Guna Perhiasan

Goebahan R
Chapter #8

Bab 7 - Rumah Di Bumi Allah

 “Aih, jam segini pun kedai belum buka. Macam mana nak datang rezeki? Pantaslah pulau ni dicaplok NKRI, rakyatnya pun tak peduli.” Tengku Halim mengumpat di depan Warung Kopi Siang Malam. Ia berkali-kali memanggil Mak Long, tetapi kami memang baru datang pukul enam.

Mak Long terkekeh seraya membuka warung kopinya. “Aih, aih, asik nak mengomel je mulut kau tu, Halim! Kau tu abis Subuh, baik bantu isteri kau dekat rumah.”

Alah, isteriku tak nak aku bantu.”

“Ya kau bisa berdzikir ke, mengaji ke, apa ke. Banyak hal bisa kau buat. Memang kau suka cari ribut samaku.”

Tengku Halim segera masuk, lantas menduduki kursi di tempat biasa ia duduk. Seluruh desa ini tahu, bangku mana yang biasa diduduki olehnya. Orang-orang enggan menduduki bangku itu. Banyak yang bilang, bangku itu terlalu berbau Tengku Halim, dipenuhi kebencian; sebab sehari-hari, lelaki itu memang mengobral kebenciannya kepada pemerintah. Baginya, Kesultanan Riau-Lingga dianggap sampah belaka oleh pemerintah, meski Indonesia bergantung pada hasil lautnya. Di dadanya barangkali dendam itu telah mengakar kuat. Bagaimana ia dan anak-cucunya kelak akan dikesampingkan pemerintah, bagaimana adat dan tanah ulayat diperlakukan semena-mena, bagaimana nasib orang melayu di masa depan. Semua itu menyesaki dadanya. Ia sedang mengkhawatirkan adat dan rakyatnya, meski yang keluar dari bibirnya berupa ujaran kebencian.

Anakku telah berusia sepuluh. Semenjak kehadirannya, aku menemukan tujuan baru. Bukan hal yang megah, hanya keinginan sederhana; menghabiskan waktu bersama anakku, memastikan ia akan baik-baik saja. Senyumnya, tawanya, juga tutur bahasanya, seolah menjadi pengobat bagi kehinaan dan kemalangan yang menimpaku bertahun-tahun lalu. Melihat tubuh kecilnya, senyum tulusnya, sorot pengharapan pada matanya, seolah aku sedang menyaksikan diriku sendiri; yang tidak bersalah, juga berdosa. Kami berdua berhak mendapatkan tempat di bumi Allah ini.

Sejak kehadiran gadis kecil ini, aku merasa dibutuhkan. Kehadiranku seperti diharapkan. Manalah sampai hatiku mengecewakan jiwa yang menaruh harap padaku. Tidak mungkin kukecewakan hati yang baru belajar untuk hidup, yang bahkan ia tak pernah meminta untuk dilahirkan ke bumi ini. Tidak mungkin kutinggalkan ia, mana mungkin kutorehkan luka di hatinya.

Meski dendam itu tidak serta-merta menghilang, namun ia perlahan ditidurkan keadaan. Sehari-hari aku sibuk bekerja dan mengurusi anakku. Di kali lain, ketika aku lebih ingin berada di sekitar anakku, aku akan memilih membantu Mak Long di warung kopi, seraya mendengarkan cerita orang-orang yang datang.

Wajah mereka tentu tidak asing, meski sesekali tamu dari luar desa yang berkunjung ke sini. Aku senang mendengarkan cerita-cerita mereka, juga orasi Tengku Halim di tiap kesempatan. Meski aku telah hapal dengan ucapan dan perkataan Tengku Halim, namun tetap saja aku betah mendengarkannya. Seperti sesuatu di dalam dadaku melunak, seiring dengan kalimat-kalimat dan cerita-cerita yang kutangkap.

“Umak pergi dulu, ya,” ucapku kepada anakku.

Ia mengangguk dan memelukku. “Umak janji pulang cepat?”

Aku mengangguk, mengecup kepalanya. “Belajar yang rajin di sekolah, ya.” Anak perempuan itu mengangguk, lantas melambaikan tangan padaku. “Mak, saya berangkat.”

Aku berjalan menuju dermaga. Dalam sepintas tolehan kepala, aku melihat anak perempuanku berjalan mendekati Tengku Halim. Perasaan lega dan haru memenuhi dadaku. Desa ini telah membesarkan aku dan anakku. Mak Long, Tengku Halim dan orang-orang di dalamnya telah mengasuh kami. Tanpa kusadari, mereka menjadi rumah baru bagi kami. Bagi perempuan malang seperti aku ini.

Pakcik Hussein sudah menungguiku. Ia melambaikan tangan dan melempar senyum. “Lambat betul kau hari ini.”

“Maaf, Pakcik. Saya tadi lupa setrika baju sekolah budak di rumah.” Aku menggaruk kepala, merasa sungkan. “Eh, kenapa belum berangkat?”

“Trip pertama dah berangkat tadi, nunggu kau sajalah ni makanya masih di sini.”

Beberapa orang sudah duduk di pompong, menatapku dengan kesal. Barangkali aku menjadi penyebab mereka berangkat lama. “Ngapa tak pergi saja, Pakcik.” Aku berucap, setengah menggumam.

Seseorang mendengar lantas menimpali, “Takkan berangkat si Hussein ni. Tak tenang hatinya kalau anaknya belum pergi.”

“Eh, sape?”

“Kau-lah!” Beberapa orang terkekeh.

Aku menggaruk kepala, lantas menambah beban di kepala. Jika kupikir, sejak kehadiranku di sini, dan keputusanku untuk bekerja di pasar yang mengharuskanku menyeberang tiap pagi dan petang, aku memang selalu pergi bersama Pakcik Hussein. Entah sengaja, atau waktu yang selalu bertepatan, nyatanya ia memang selalu ada di sana. Meski terkadang aku harus berlari di sepanjang pelantar untuk mengejarnya yang hendak berangkat, atau sesekali aku harus menunggu lama hingga pompong penuh, nyatanya aku tetap pergi dan pulang bersama Pakcik Hussein. Pun jika aku tidak bersamanya ketika meninggalkan desa, pastilah karena ia yang sakit atau berhalangan pergi.

Pernah di satu waktu, aku menanyakan mengapa ia menungguiku hingga larut? Padahal, tak biasanya pompong beroperasi hingga malam, kecuali di hari-hari perayaan atau festival besar digelar. Ia hanya menjawab, ‘Kasihan anakmu menunggu di rumah. Kau tahu pompong takde selepas adzan Maghrib’. Kali lain aku bertanya, tidakkah istri dan anaknya menunggu di rumah? Namun di banyak kesempatan, aku mendengar perihal ini; bahwa Pakcik Hussein tidak beristri, tidak pula beranak. Ia hidup sendiri, sebatang kara. Kehadirannya pun tak pernah diketahui orang-orang. Keluarga, sanak-saudara, serta orangtuanya tak pernah tampak. Ia tiba-tiba ada saja di Desa Penyengat, dan menebar manfaat. Orang-orang menyukai Pakcik Hussein, tanpa peduli darimana ia berasal.

Maka tidak heran, ketika aku mendengar seseorang berucap aku ini anaknya. Barangkali begitulah yang dipikirkan orang-orang di desa, sebab aku selalu pergi dan pulang bersamanya. Terkadang, jika didekatnya, aku merasakan hatiku penuh, seolah sedang dilindungi. Aneh sekali, aku merasa aman ketika bersama orang asing yang kebetulan kukenal di pulau ini—di tempat aku mengadukan nasib dan mengharapkan belas kasih.

Lihat selengkapnya