Kata Umak, Perempuan Tak Boleh Guna Perhiasan

Goebahan R
Chapter #9

Bab 8 - Pekerjaan Marah Jangan Dibela, Nanti Hilang Akal Di Kepala

Hari-hari yang aku lewati bersama Zul dan Butet di sekolah kian berwarna. Kami bersemangat mengejar cita-cita dan keinginan setelah tamat sekolah. Aku ingin bekerja, untuk meraih cita-citaku sejak dulu; membeli perhiasan dan memakainya sebanyak mungkin. Aku juga ingin melanjutkan kuliah jika waktunya tepat nanti.

Zul ingin tetap di desa ini. Ia akan bekerja di pemerintahan sebagaimana kebanyakan orang di sini. Mimpinya sederhana saja, keinginannya sangat dekat dengan kenyataan—ia tahu apa yang paling mungkin ia gapai, dan itulah yang dijadikan mimpi dan tujuannya.

Butet ingin merantau ke Pulau Batam dan mencari pekerjaan di sana. Ia ingin masuk ke perusahaan tempat amangnya bekerja. Aku pun ingin merantau seperti Butet. Rasanya menyenangkan sekali membayangkan masa mudaku akan kuhabiskan untuk menyusuri bumi ini, mencari kepingan cerita di tempat lain, bekerja dari tempat A sampai Z, mengumpulkan pengalaman sebanyak mungkin. Membayangkan ini saja, hatiku sudah berdebar, seolah seisi tubuhku dipompa semangat yang kian membara. Aku tidak sabar menunggu hari itu tiba.

Di antara kami bertiga, mimpi aku dan Butetlah yang tampak paling muluk, paling banyak mau. Mungkin keinginanku dengan sederhana bisa kukatakan, bahwa aku hanya menginginkan perhiasan. Namun, jalan untuk mendapatkan perhiasan itu, sejatinya sangat panjang dan terdengar muluk-muluk.

Hari ketika aku, Zul dan Butet disibukkan dengan belajar untuk ujian kelulusan, orang-orang di desaku—dan di sekitar pulau sini—disibukkan dengan mengurus administrasi. Tepat ketika aku menjadi siswi SMA pertama kali, kami dibentuk sebagai provinsi baru—Kepulauan Riau. Kami resmi berpisah dari Riau dan tumbuh menjadi daerah pemekaran. Pusat-pusat pemerintahan mulai dipindahkan ke Pulau Dompak, meski sebagian besar masih tersebar di Bintan dan Batam. Tanjungpinang menjadi sebuah Ibukota, bukan lagi kecamatan seperti dulu.

Ada banyak hal yang berubah, kecuali kehidupan kami sebagai orang pulau. Segalanya masih tampak berjalan dengan normal. Orang-orang se-Indonesia disibukkan dengan pemilihan umum pertama, sedang kami masih berbenah diri menjadi provinsi yang baru. Aku bahkan terkadang masih sering salah menuliskan alamat.

Di masa-masa remaja ini, sebagian besar temanku mulai merasakan apa yang dinamakan cinta. Aku sendiri mulai tertarik dengan lawan jenis, meski perasaan tertarik itu hanya kusimpan di hati. Bahkan saat Zul menanyakan perihal adakah lelaki yang kusukai, aku hanya tersenyum seraya menggelengkan kepala. Padahal, ada sebuah nama yang tersimpan di hatiku.

Takde yang menarik hatimu, Dah?” tanya Zul kemudian.

Aku dan Zul menghabiskan Sabtu sore di dermaga. Kami bercerita banyak hal, hingga akhirnya ia menyinggung perihal perasaan. “Ada, sih. Tapi cuma gitu je-lah. Tak serius. Eh, kau nak nembak perempuan ke?”

“Iya.”

“Siapa?”

“Kau-lah. Siapa lagi?”

Senyap. Aku berusaha meyakinkan diri apa yang baru saja kudengar.

“Dari kecik, aku cuma tahu kau je perempuan di hidupku, setelah Mamak. Sampai kita SMA juga waktuku cuma main sama kau dan Butet. Perempuan manalagi yang harus kucintai kalau bukan kau?”

“Butet?”

“Susah. Nanti aku baca bismillah, dia baca puji Tuhan.”

Aku tertawa pelan mendengar ucapan Zul. Kupikir selama ini, kedekatan kami bertiga hanya sebatas sahabat. Aku tidak pernah menyangka ia akan memiliki perasaan itu. Memang, berada di dekat Zul rasanya sangat aman dan nyaman. Tetapi aku tidak pernah membayangkan hubungan kami lebih dari sekadar teman. Ditambah lagi, aku punya mimpi yang besar, sedang miliknya terlalu sederhana. Aku masih ingin berkelana, sedang ia telah menemukan segalanya. Bagaimana mungkin aku menyamakan perbedaan-perbedaan ini?

“Sejak kapan?” tanyaku kemudian, setelah tawa kami sama-sama mereda.

Zul menghela napas. “Tak tahu. Rasanya dah lama sangat. Mungkin sejak aku mengajari kau berenang?”

Senyumku terbit begitu saja ketika mendengar ucapan Zul. Ia masih mengingat kenangan itu. Zul seumpama ketenangan dan kesederhanaan yang selama ini kutemukan di desa. Bersamanya memberikanku keamanan dan kenyamanan. Tetapi, aku bukan mencari jenis perasaan yang seperti ini. Aku ingin bersama lelaki yang membuatku tersipu malu, atau jantungku berdebar kencang. Aku terlalu terbiasa bersama Zul sejak lama, aku tidak perlu merasa malu atas hal apapun. Ia memahami dan mengenalku dengan baik.

“Kau tu anak baik, Zul. Tapi…”

“Tapi aku terlalu baik untuk kau? Kau nak pakai alasan itu macam kawan-kawan SMA kita?” Pemuda itu menatapku lekat, dengan tatapan menggoda.

Aku tertawa, kali ini lebih keras.

Zul ikut tertawa bersamaku. Setelah tawa kami mereda, ia berkata, “Aku sedih kalau kau tak terima aku.”

“Zul…”

“Aku tahu, kau nak tolak aku, kan?”

Napasku terasa berat. Aku bingung bagaimana cara menjelaskannya. “Kau dah jumpa segala macam yang kau cari di sini, Zul, sedang aku masih nak berkelana. Cemana cara biar tujuan kita sama?”

“Semua orang butuh rumah untuk pulang. Kau pergilah yang jauh selagi muda, biar aku tunggu kau di sini.”

Zul mengucapkan kalimat sederhana, namun hatiku telah digetarkannya. Berat betul ucapannya. Bagaimana mungkin ia menunggui sesuatu yang masih ingin berlayar ke sana-sini?

“Jangan cakap macam tu, Zul. Menunggu itu perkara sulit.”

“Maka cepatlah kau pulang, biar kesulitanku lekas hilang.”

Senyumku mengembang. Sulit sekali mengimbangi Zul berbicara. Ia berkemauan besar, hatinya teguh memegang pendirian.

Tiba-tiba, pemuda itu tertawa keras. Tentu aku terheran.

“Kau mestilah tengok wajah kau tadi. Dalam hati pasti kau bingung nak jelaskan perkara hatimu ke aku.” Ia masih tertawa, aku mendengarkan. “Jangan terlalu takut. Kau harus belajar bilang ‘tak mau’ ke orang lain.”

Aku semakin bingung. “Kau cuma bercanda?”

“Bagian menyuruh kau lekas pulang, iya. Bagian aku mencintai kau sejak lama, tak.”

Aku menelan ludah. Tak tahu harus berkata apa.

Zul menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga. “Pergilah ke mana kau nak pergi, Safiah. Aku tunggu kau di sini. Tapi, jangan pula perkara ini memberatkan hatimu. Aku memegang janji pada diriku sendiri, bukan untuk mengikat langkahmu.” Ia mengusap kepalaku, mengulas sebuah senyum. “Kalau Allah meridai, aku masih berdoa, agar kau menjadi jodohku. Tapi jika nanti kau berjodoh dengan orang lain, tak apa. Paling aku sedih berbulan-bulan, tapi pastilah aku bangkit kemudian.”

“Zul…” Aku hanya bisa menggumamkan namanya, yang segera diderukan angin sore.

Matahari tenggelam di hadapan kami. Air laut sejingga perasaan di hatiku.

Lihat selengkapnya