Tak pahamkah ia, betapa sulitnya menjaga perhiasan perempuan? Tubuhnya yang indah itu, kelak akan melebar setelah kehamilan. Rambutnya yang panjang tergerai, kelak akan rontok dan habis selepas melahirkan. Segala hal dalam diri perempuan adalah perhiasan. Jika menjaga yang sudah dianugerahkan saja sulit, mengapa ia menambahi dengan perhiasan yang dibelinya sendiri?
“Umak kejam!” ucap anakku dengan tatapan nanar.
Mengapa aku yang dikata kejam? Aku sedang melindunginya dari kekejaman dunia. Tidak sadarkah ia, tidak ada tempat aman di dunia ini bagi perempuan seperti kami?
“Kau tu harus faham, Safiah! Kau jaga perhiasan berupa keperawanan saja susah! Kau tambah pula perhiasan lain untuk menambah hidupmu susah!” Hatiku rasanya panas. Anak yang selama ini kujaga, kubesarkan dengan penuh cinta, bahkan karenanya aku dicoret dari daftar keluarga, kini melawanku hanya sebab perhiasan.
Anak yang selama ini memberiku tujuan baru untuk tetap hidup, yang kujaga hatinya agar tidak dikecewakan kenyataan, yang bersebab ia pulalah kuhidupkan pengharapannya, kubesarkan mimpinya, juga kuamankan dunianya. Kini ia bersikap seolah tidak pernah ada hal baik di antara kami. Padahal telah belasan tahun lamanya, kami saling membutuhkan dan mengharapkan. Sebegitu mudahkah untuk melupakan segala kemurah hatian dan hal-hal baik yang kami miliki selama sembilan belas tahun ini?
"Umak! Bertahun-tahun kita hidup bersama. Saya berkali-kali berusaha memahami Umak. Tapi macam mana saya mau mengerti, Umak tak pernah cakapkan apapun kepada saya.” Di sepasang mata Safiah, menganak sungai air mata. Suaranya bergetar, entah menahan amarah, atau berusaha meredam kesedihannya. “Macam mana anak berumur lima tahun memahami Umaknya yang tak pernah cakap apapun? Tapi saya sejak dulu dah cakap ke Umak, tentang mimpi dan keinginan saya. Perhiasan ini saja yang saya inginkan, Umak. Umak pun telah tahu sejak lama.”
Bahunya kian berguncang hebat. Kata-katanya laksana anak panah yang melesat ke hatiku, menancapkan kesedihan dan kehampaan. Duhai, anakku telah tumbuh besar. Ia telah menjelma menjadi remaja tanggung, dan aku lupa akan hal itu. Selama ini, ia pun berusaha memahamiku. Bukan dia yang salah, tetapi aku. Aku yang sejak lama memendam segala kegundahan dan keresahanku. Aku yang membuat anakku bertanya-tanya mengenai umaknya sendiri. Padahal ia terlahir dari rahimku, namun kubiarkan ia tak mengenalku.
“Tega betul Umak mematahkan mimpi yang selama ini menjadi semangat saya untuk hidup. Sampai hati Umak kecewakan hati yang mengharap perlindungan kepada Umak. Saya cuma menginginkan perhiasan, Umak. Cincin ini saja, agar sempurna jari saya yang cacat.” Safiah tergugu.
Aku ingin memeluknya, meminta maaf dan memohon ampun kepadanya. Aku terlalu sibuk membangunkan dunia yang aman untuknya, sampai aku lupa menanyakan keinginannya. Aku teramat sibuk menjaga perasaannya, dengan menahan segala perasaanku sendiri, mengunci bibir agar tak membebaninya dengan dukaku, sampai aku lupa, bahwa ‘memahami’ hanya bisa dilakukan dengan saling berbicara, bukan saling menutupi dan berdiam diri.
Anakku marah. Di sepasang matanya, berkobar bara api peperangan. Ia mengembuskan napas kekesalan. Suaranya berat, dipenuhi kebencian. “Umak tu yang harusnya sadar, Umak hamil di luar nikah. Makanya saya tak punya bapak! Harusnya dulu Umak tak usah lahirkan saya, biar tak susah hidup saya!”
Kalimatnya tidak mengandung makian, nada bicaranya tidak lebih tinggi dari milikku, namun aku merasakan kebencian yang teramat dalam di kalimatnya. Aku merasakan penyesalan dalam ucapannya, sebab ia telah dilahirkan. Mengapa aku telah merasa berjasa membiarkannya hidup? Padahal aku tidak pernah tahu, apakah ia ingin dilahirkan ke bumi atau tidak. Tetapi selama ini kepalaku penuh memikirkan bahwa aku telah mengalah, tabah terhadap keadaan. Kuputuskan untuk melahirkannya agar bisa kubuktikan pada dunia, bahwa aku tidak bersalah. Padahal, ia juga telah mengalah padaku, dipatrinya ketabahan dalam dirinya. Dan aku tidak menyadari semua itu.
Safiah pergi meninggalkanku. Langkahnya membelah malam. Amarahnya menabuh genderang, memecah kesunyian.
Tungkaiku lunglai. Aku hanya bisa terduduk lemas. Dada kiriku rasanya begitu sakit. Tak tahukah dia mengapa ia tak memiliki bapak? Tak ingatkah ia saat kuceritakan mengapa ia tak punya sanak saudara?
Aku diperkosa, dan tidak ada yang mempercayainya. Ketika aku hamil, keluargaku mengusir dan menghinakan aku. Aku tidak memberikan perhiasan kepada anakku, sebab aku takut, perhiasannya akan menjadi alasan dukanya di masa mendatang. Tetapi, mengapa tidak ada yang mengerti maksudku? Salahkah aku yang ingin melindungi anakku dari kejamnya dunia? Melindunginya dari dunia yang tidak pernah ramah terhadap perempuan seperti kami?
Menatap punggung anakku menjauh, membuat jantungku rasanya berhenti. Aku seolah paham yang dirasakan Mamak dulu, ketika aku pergi meninggalkan rumah.
***
Pagiku terasa sunyi, bahkan terkesan hampa. Aku tidak menemukan anakku di kamarnya. Bahkan tidak tercium lagi harum tubuhnya.
Sepanjang malam, sisa pertengkaran, aku hanya menghabiskan waktu dengan meringkuk di kamar, berurai air mata dan memeluk diri sendiri. Aku yang hampir sembuh, seketika luka lama kembali menganga dan berdarah. Kutahu Safiah tak bisa meninggalkan desa ini di malam hari kecuali ia mendatangi Pakcik Hussein dan meminta lelaki itu menyeberangkannya. Namun, aku lebih yakin anak perempuanku akan tidur di masjid, seraya menyumpah-nyumpah padaku. Barangkali ia merasa menyesal memiliki umak sepertiku.
Permintaannya sederhana, lagi lumrah. Ia hanya menginginkan perhiasan. Aku memang tidak pernah memakaikannya anting, juga cincin. Tak pernah selingkar kalung pun menggantung di lehernya, juga sebuah giwang melingkar di tangannya. Di masa kejayaan tanah melayu ini, tidak ada orangtua yang tidak bisa membelikan perhiasan untuk anaknya. Begitu pula denganku. Sebenarnya aku bisa membelikan sebuah cincin, juga anting untuk anak perempuanku. Tetapi aku takut, perhiasan itu kelak menjadi alasan duka lainnya muncul di kehidupannya. Sejak kemalangan yang menimpaku dahulu, aku selalu yakin, tiada tempat aman bagi perempuan di bumi Allah ini.
Aku terlalu takut menghadapi kemurkaan anakku. Perasaan tidak diinginkan ini kian menyiksaku. Bagaimana mungkin aku sanggup menghadapi apa yang tidak ingin melihatku? Tetapi, dengan sisa kekuatan, aku melangkah menuju masjid. Aku ingin mengatakan kepada anak perempuanku, bahwa aku masih mengharapkannya. Aku akan membentangkan tangan dan menyambut pelukannya, agar dia tahu bahwa dia masihlah diinginkan—hal yang tidak pernah kurasakan belasan tahun lalu.
Sayangnya, aku tidak menemukan siapapun di masjid. Orang-orang yang berdatangan untuk salat Subuh ke masjid, kutanyai perihal Safiah; apakah mereka ada melihatnya? Tak satupun mengangguk, mereka hanya mengangkat bahu, atau menggelengkan kepala.
Tengku Halim yang baru datang, menghampiri aku yang tampak kelimpungan. “Awak ngape? Ada apa?”
Air mataku berderai, dadaku menyesak. “Safiah takde, Tengku.”