Aku pergi meninggalkan rumah, dengan amarah yang membara di dada. Aku tak pernah paham mengapa Umak semurka itu. Tak tahukah ia bahwa perhiasan ini adalah segala mimpi dan cita-citaku? Tempat aku menaruh harap dan pencapaian hidup? Aku tak pernah memaksanya untuk membelikanku cincin, meski tak bisa kuterima perkataan dan larangannya untuk memakai perhiasan. Aku bekerja, aku berjuang. Dengan keringatku sendiri, juga lelah yang tak bisa kupungkiri. Tetapi manakala mimpiku telah terwujud, anganku menjadi nyata, mengapa Umak tak ikut bersuka cita merayakan? Mengapa ia tak ikut tersenyum sebagaimana merekahnya milikku? Mengapa Umak tak ikut bahagia atas kebahagiaanku? Tak sayangkah Umak padaku?
Langit sudah gelap. Tak akan ada yang menyeberang. Tetapi aku tak ingin berada di desa ini lagi, di tempat kecil yang hanya mengubur mimpi-mimpi besarku. Aku ingin pergi yang jauh. Aku ingin merayakan diriku sebagai perempuan; yang bebas, lagi memiliki harap. Aku tidak ingin seperti Umak, yang tak memiliki asa, juga cita-cita.
Tok Hussein menjadi tujuanku. Aku tahu ia akan mengantarkanku ke seberang. Sepanjang hidupku, aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki bapak. Meski seisi desa turut membesarkanku, memberikan keramahan dan cinta dalam proses hidupku, namun rasanya tetap saja, aku ingin merasakan kasih sayang seorang bapak. Semua kutemukan pada Tok Hussein dan Tok Halim. Mereka seumpama kakek yang menyayangiku, yang selalu ada di hidupku. Maka kupastikan, Tok Hussein takkan menolak permintaanku.
Aku tergopoh-gopoh berjalan menuju rumah Tok Hussein. Tanganku menghapus air mata dengan kasar. Dadaku berdetak kencang. Aku benci menangisi hari ini, hari di mana mimpiku terwujud, bahagiaku utuh. Mengapa harus ada tangis di hari yang kutunggu-tunggu ini? Semua ini karena Umak. Umaklah yang menghancurkan mimpiku.
“Safiah…” ucap Tok Hussein setelah aku menggedor rumahnya.
Entah apa yang dipikirkannya saat melihat wajahku yang seperti ini. Mungkin tampak berantakan, berair mata dan beringus. Bahkan mungkin menebarkan kemarahan dalam tatapanku. “Tok, sudi kiranya Atok mengantar saya ke seberang?”
“Sekarang? Apa hal ni?” Ia terheran.
Aku tak mampu membendung kesedihan yang kurasa. Semua seolah sudah membuncah di dada. Tak pernah kukira aku akan meninggalkan Umak, satu-satunya orang yang kupunya di dunia ini. Mengapa Umak tak pernah cakap padaku? Ia tak pernah menjelaskan apapun padaku. Mengapa aku harus mencoba mengertinya? Bukankah aku yang seorang anak? Aku yang baru belajar meniti kehidupan, mengapa tak ia jelaskan perihal yang tak aku mengerti?
Perasaan-perasaan itu mendorongku menghambur ke pelukan Tok Hussein. Aku menangis tersedu-sedu di sana. Namun kurasakan kemarahanku masihlah berkobar.
Barangkali ia merasa kasihan padaku, nyatanya Tok Hussein segera menutup pintu dan mengajakku ke pelabuhan.
Dadaku sesak. Napasku tersengal. Di kepalaku, terputar segala kenangan yang kulewati beberapa tahun belakangan. Hari-hari ketika untuk pertama kalinya aku merayakan ulang tahun Umak bersama Mak Long. Hari-hari ketika aku melihat Umak tersenyum. Juga hari-hari ketika aku pergi ke kota bersama Umak. Biarlah. Biar semuanya tertinggal di sini saja. Aku sudah tidak tahan. Akupun seorang anak. Aku tak bisa terus mengerti sesuatu yang bahkan tidak kuketahui.
Di antara riak air dan hembusan angin, kudengar Tok Hussein berucap, “Hati tu kerajaan di dalam tubuh, Safiah. Jikalau lalim, segala anggota pun rubuh.”
Aku tak menyahuti.
“Biar Atok temani kau di seberang, sampai hatimu kembali damai.” Ia terus mengarahkan kemudi. “Anak muda macam kau ni, wajar marah. Takpe. Asal kau tak lupa dzikir, insyaa Allah hatimu terjaga.”
Tok Hussein tak mengucapkan apapun lagi. Kami mengarungi lautan dalam keadaan diam. Akupun tak tahu harus ke mana setelah ini. Di kepalaku hanya memikirkan satu hal; Batam. Aku tahu Butet berada di sana. Aku tahu ia akan menyambutku dengan hangat—jauh lebih hangat dari yang dilakukan Umak.
***
Sampai adzan Subuh berkumandang, Tok Hussein memang menemaniku, namun badai di dalam dadaku tak kunjung mereda. Aku juga enggan pulang. Aku tak ingin meminta maaf pada Umak. Aku tidak bersalah, aku hanya ingin memakai perhiasan sebagaimana perempuan kebanyakan.
“Safiah, Atok nak pulang. Kau cemana?” Tok Hussein menepuk pundakku, membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum. “Saya di sini saja, Tok. Macam-macamnya, saya nak berjumpa kawan.”
Kulihat mulut Tok Hussein menganga, seperti hendak mengucapkan sesuatu. Namun ia segera menutup mulutnya kembali, seolah enggan menyampaikan apa yang dipikirkannya. Entah apa yang sedang dipikirkan Tok Hussein, tetapi aku percaya, ia seorang yang bijak. Ia pasti mengerti kemarahan yang terpancar di kedua mataku.
Ia tersenyum. “Baik-baiklah, Safiah. Atok hanya bisa mendoakan, semoga Allah selalu merahmatimu. Semoga di sepanjang hidupmu, senyummu seperti kemarin.” Tok Hussein mengusap kepalaku. Dalam matanya, sebersit cahaya berkilau. Mengapa ia seolah menyimpan kesedihan? Apa ia merasa bersalah telah mengantarku ke seberang?
“Tok, makasih ya. Atok selama ini selalu jaga Safiah, dari kecil sampai sekarang sebesar ini.” Hatiku rasanya bergetar mengucapkan terima kasih pada Tok Hussein. Aku seolah sedang mengucapkan selamat tinggal padanya, dan tak akan ada perjumpaan lagi di antara kami. Aku tahu ia orang baik, di akhirat nanti aku akan bersaksi, bahwa dialah orang yang berusaha meredam badai di dalam dadaku—meski usahanya tidak membuahkan hasil.
Tok Hussein hanya tersenyum. Ia kemudian meninggalkanku sendiri di masjid ini.
Aku tidak akan pulang ke rumah. Aku ingin Umak tahu, bahwa akupun bisa marah. Aku berhak atas segala perasaan yang melingkupi hatiku. Dan aku tidak akan menutupi lagi segala rasa yang bergejolak di dadaku.
***
Butet segera menerimaku ketika aku mengabarinya akan pindah ke Batam. Tentu dia menaruh curiga, dan segera kuceritakan kepadanya apa-apa yang telah terjadi di hidupku dalam semalam bersebab perhiasan yang kubeli menggunakan gaji pertamaku.
“Jadi kau mau kerja di sini?” tanya Butet setelah aku menamatkan ceritaku.
Aku mengangguk.
Gadis Batak itu kembali mendesah, sedikit kasar. “Umak kau cemana?”
“Biar Umak mengerti kenapa saya pergi. Sudah cukup selama ini saya yang berusaha mengerti Umak.”
“Di pabrik tempat aku kerja, lagi cari orang. Besok kau bisa ikut aku. Sekarang kau tidur dulu”
“Tet, makasih, ya.”
Meski kutahu ada risau yang ditutupinya, entah apa yang dipikirkan oleh Butet, namun ia tetap saja mengangguk dan menyemangatiku.
“Kalau dunia ini jungkir balik, aku tetap jadi kawanmu. Semangat, Safiah. Kau sudah menggapai cita-citamu.” Ia memutar cincin yang melingkar di jariku yang cacat. Butet tersenyum melihat cincin dengan permata yang berkilau di sana. Permata itu berkilauan terkena cahaya lampu, melahirkan spektrum warna yang indah.
Besok aku akan memulai semuanya dari awal. Aku akan memulai kehidupanku di sini. Aku akan menjadi pribadi yang baru, yang akan menggapai segala cita dan asaku. Tidak peduli apa yang akan terjadi, aku akan menghabiskan gajiku dengan membeli perhiasan yang banyak. Akan kupakai dua, tiga, atau empat cincin di jariku. Kukenakan kalung dengan bandul terberat dan termewah. Di pergelangan tanganku, akan menggantung gelang tiga buah. Yang jika kugerakkan tanganku, ia akan bergemerincing saling beradu. Aku tidak peduli orang akan menuduhku ria, atau tukang pamer. Akan kurayakan segala hal tentangku; juga mimpi-mimpiku.