Kepergian Safiah menyisakan ruang kosong di hatiku yang kian melompong seiring ketidakpulangannya. Kami mungkin tinggal di daerah kepulauan, yang tiap pulaunya tidak sebesar daratan Jawa. Namun, berusaha menemukan seseorang di antara banyaknya pulau, juga ramainya Batam, terasa menyulitkan.
Zul telah menghubungi teman-temannya. Namun tiada hasil yang mampu menenangkan hatiku. Kiranya beginilah perasaan Mamak dulu ketika aku pergi dari rumah. Hatinya sekosong ini, jiwanya sesepi ini. Mengapa perasaan-perasaan ini kerap menyambangi perempuan seperti kami? Adakah para lelaki merasakan duka dan kehilangan yang serupa? Atau justru mereka tak kenal pasal ada atau tiadanya kami di hidup mereka?
Sejak ketiadaan Safiah, aku memutuskan tinggal di rumah Mak Long. Tiada kuasaku menghadapi kesepian dan kesunyian rumah tanpa sosok Safiah.
“Dah, pulanglah ke rumahmu. Jumpain Mamakmu.” Mak Long mengembuskan napas, nyaris putus asa melihat keadaanku. “Tak rindukah kau sama Mamakmu?”
Jika boleh jujur, dua puluh tahun aku hampir mati menahankan rindu. Namun sampai sekarang, aku masih bertanya-tanya; adakah Mamak mengharapkan kepulanganku? Aku tidak pernah tahu apakah aku diharapkan atau tidak, aku juga tidak tahu apakah aku masih dianggap hidup atau telah diikhlaskan mati dalam gulungan ombak laut. Uteh yang berjanji akan menyusulku pun, hingga kini tak pernah datang menampakkan batang hidungnya di depanku. Tiada sepucuk surat pun datang untukku, meski dua puluh tahun telah berlalu.
Ketiadaan-ketiadaan itu yang membuatku ragu, apakah benar aku masih dikenang? Atau telah lama dihapus dari ingatan? Jika aku pulang, akankah aku disambut dengan hangat? Atau malah dilempar dengan hinaan?
Tetapi, jauh di dalam hatiku, aku ingin berlari ke pelukan Mamak. Aku ingin mengadukan padanya bahwa aku telah kehilangan perhiasan paling berhargaku; anak perempuanku. Aku ingin ditenangkan oleh perempuan yang melahirkanku.
Sebab itu pulalah, aku masih ingin berjuang mencari Safiah. Aku ingin dia tahu, bahwa aku masih mengharapkannya kembali pulang ke pelukanku. Aku ingin dia tahu bahwa dia masih diingat dan disayangi sebagaimana dahulu. Aku ingin dia tahu, bahwa aku bangga menjadi umaknya.
Aku ingin mempertahankan perasaan-perasaan itu di hati Safiah—perasaan yang tak pernah genap di hatiku.
“Biar aku yang menunggui Safiah di sini. Biar Zul yang melanjutkan mencari Safiah. Kau harus memaafkan dirimu, Dah. Itu yang kau butuhkan sekarang.” Mak Long menambahkan.
Duhai, beginilah perempuan. Ia menyalahkan dirinya sendiri atas banyak hal yang terjadi. Bagaimana mungkin mengharapkan orang lain mau memaafkan dirinya, jika ia sendiripun enggan memaafkan dirinya sendiri? Atas segala kesalahan yang terjadi?
***
Hari telah terang sempurna. Warung Kopi Siang Malam tidak begitu ramai, menambah kekosongan dalam hatiku.
“Puluhan tahun lalu aku diasingkan keluarga, Dah. Sebab badanku paling besar. Bapakku ringan sekali mengucap aku ni macam raksasa buruk rupa.” Mak Long bercerita tiba-tiba.
Aku menoleh, tak tahu harus berkata apa. Selama ini, aku memang tidak tahu cerita Mak Long. Bagaimana ia sampai ke sini? Mengapa ia seorang diri?
“Saudaraku takde yang suka samaku. Mamakku apalagi. Enam orang anaknya perempuan semua, lima terlahir cantik rupawan. Berbadan kecil, berambut lurus. Para lelaki ramai datang nak meminang mereka. Tapi sorang je, sorang je terlahir buruk rupa. Badannya besar, tingginya macam laki-laki, rambutnya bergelombang. Tak elok dipandang, tak sedap di mata. Macam tu lah kata orang-orang.” Mak Long melanjutkan ceritanya. Matanya lurus menatap laut yang terhampar di hadapan warung kopinya. “Tapi, raksasa ini pula yang diincar oleh sanak-saudaranya. Aku dirisak, dilecehkan. Mamakku tiada membela, tiada yang mengasihani. Aku pergi dari rumah, menumpang kapal pancing kepunyaan tetangga.”
Hatiku ngilu mendengar cerita Mak Long. Mengapa tak henti-hentinya kemalangan menimpa perempuan seperti kami? Tiadakah bahagia yang disisakan Allah untuk kami di bumi ini?