Sejak malam itu, rasanya Butet telah menaruh kesal padaku. Aku merasa berdosa atas perasaanku sendiri, namun tak kuasa menghilangkannya dari hati. Berkali-kali temanku itu berucap, jangan pernah memberi ruang pada kesalahan, jangan pernah membenarkan sebuah kesalahan, hanya karena kesalahan itu yang menunjukkan kebenaran kepada kita. Namun, aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa Susanto. Ia telah menjelma radar dalam hidupku, tempat segala arah dan tujuanku berlabuh.
Dalam banyak hal, aku bahkan tidak mampu mengambil keputusan. Kepada dialah berlabuh segala ragu dan ketidaktahuanku, yang disambutnya dengan hangat dan penuh cinta. Aku tahu, ia pun merasakan apa yang kurasakan. Ia mampu meyakinkan aku yang ragu, juga mampu membuka cakrawala pengetahuanku atas apa yang tidak kuketahui.
Di tiap pencapaian yang berhasil kuraih, Susanto akan menjadi yang pertama mengacungi jempol, juga berucap betapa aku membanggakan. Semangatku kian membara tiap kali dia memujiku. Semua hal ingin kulakukan, semata aku ingin melihatnya bangga terhadapku. Jika aku ingin membuktikan kepada dunia, bahwa perempuan sebatang kara yang tidak memiliki bapak juga abang ini mampu bertahan dan berjuang, semua itu karena Susanto—karena nasihatnya yang selalu kuaminkan.
Setahun lamanya aku melalui hari bersama Susanto. Dalam setiap jatuh dan bangun aku menjalani perkuliahan, juga pekerjaan, ia selalu ada di sana. Seolah tangannya selalu siap terulur saat aku terjatuh, juga siap mengudara saat aku bangun. Dia lelaki terbaik yang pernah kutemui, meski kami bertemu di waktu yang tidak tepat.
Bukan sekali dua kali aku berpikir untuk pergi, juga mengikhlaskannya. Namun tiap kali aku berjalan menjauhinya, hilang arah dan tujuanku di bumi ini. Aku telah bergantung padanya, sejak aku pergi dari hidup Umak.
Hingga hari itu, seorang perempuan datang ke pabrik membuat keributan. Ia mencari-cari aku. Tentu orang-orang segera mengabariku, dan aku dengan berani menemui perempuan yang bahkan tidak kutahu dan kukenal. Ketika aku berhadapan dengannya, di sepasang mata perempuan itu, mengobarkan kemarahan dan api cemburu. Itu adalah api yang sama, manakala aku menyaksikan Susanto sedang bergurau dengan perempuan lain. Wajah perempuan itu cantik, meski usianya barangkali lebih tua dariku.
“Dasar perempuan murahan!” Ia menjambak rambutku. Membuatku tersungkur dan mengaduh sakit.
Apakah dia istri Susanto? Bukankah istrinya berada di Pulau Jawa?
“Kau masih muda, tapi bisa-bisanya gendakan sama suami orang! Gatal kali rupanya kelamin kau itu, ha?! Sampai-sampai mau aja dijadikan selingkuhan?!” Ia menendangku, menarik tubuhku, lantas kembali menjambak rambutku.
Aku merasakan sakit di sekujur tubuhku, namun terlepas itu, aku sebenarnya malu. Tak pernah kusangka istri Susanto akan datang ke sini.
Orang-orang tentu berkumpul, mengerubungi aku dan istri Susanto. Mereka mulai berbisik dan menatapku seolah sedang menelanjangiku. Aku merasa menjadi orang paling hina di bumi ini. Aku benar-benar malu, sampai ingin menghilang dari bumi ini.
“Apa yang udah dikasih suamiku ke kau? HA?! APA?!” Istri Susanto kembali menjambak rambutku dari belakang, hingga kepalaku mendongak.
Di depanku, berdiri Butet yang sedang memandangiku dengan tatapan kebencian dan kemarahan. Namun di sebersit matanya, ada kelebat rasa sayang dan kepedulian yang dia tunjukkan. Aku ingin memohon pengampunan padanya, meminta pertolongan darinya. Namun aku tahu, ia pun telah lelah mengingatkanku sejak dulu. Dan aku tidak pernah mengindahkannya.
Butet menundukkan kepalanya, ia memalingkan wajahnya, lantas meninggalkan aku dan perempuan itu. Barangkali, ia pun merasa malu telah mengenalku.
Tak lama, Susanto muncul dari balik kerumunan. Ia membelah lautan orang-orang yang sedang menyaksikan keributan aku dan istrinya. Ia segera memeluk istrinya, dan menenangkan istrinya. Aku sakit hati, namun aku sadar posisi.
Air mataku tak terbendung lagi. Rasa malu dan bersalah ini telah menyelimuti hatiku, juga hidupku. Hanya untuk menegur salah seorang temanku yang sedang berdiri di sana saja, aku tidak kuasa. Aku malu setengah mati.
“Sabar, Dek. Sabar.” Susanto berusaha menenangkan. “Kamu ke kontrakkan dulu, ya. Nanti Mas susul ke sana.”
“Mas mau belain pelacur ini?!” Perempuan itu masih berteriak. Ia sepenuhnya marah. Barangkali dalam hatinya, rasa sakit dan pilu sama besarnya seperti milikku.
Aku ingin marah dengan semua tuduhan yang diberikan istri Susanto padaku. Aku bersumpah bahwa aku masihlah suci, tidak seperti yang dituduhkan orang-orang. Susanto lelaki baik, ia tidak pernah melakukan hal yang salah terhadapku. Ia menjagaku dengan baik, sebab itulah aku menyayanginya. Perangainya baik. Ia hanya salah menaruh perasaan, sebab waktu yang dimiliki sudah tidak memungkinkan.
“Apa yang udah Mas dapatin dari dia? APA?!” Murkanya mengarah kepada Susanto. Dalam tatapannya berkobar api kebencian.
Susanto yang telah terdesak, wajahnya masih tampak tenang. Aku masih mampu menemukan keteduhan di tatapannya. “Kita ngomong di rumah, ya. Tunggu Mas nanti sore. Kita pulang ke Jawa bareng-bareng, ya.” Ia memegang wajah istrinya. Berusaha diyakinkannya perempuan itu, bahwa tidak akan terjadi apa-apa dalam rumah tangga mereka. Yang artinya, aku hanya tinggal menunggu waktu untuk melepaskan Susanto—meski sejak awal aku telah menyiapkan hati untuk hari seperti ini datang, nyatanya kini, semuanya tetap terasa menyakitkan.
Perempuan itu meninggalkan keramaian, ia memutuskan pergi tepat ketika satpam pabrik datang. Dibantu satpam, Susanto membubarkan kerumunan, sedang aku masih terduduk di tempatku, tidak berani bergerak. Aku tidak siap menghadapi reaksi orang-orang, aku ingin pulang dan menangisi apa yang terjadi barusan.
Aku dan Susanto tentu dipanggil oleh SDM, karena kami telah menyebabkan keributan di area pabrik. Tidak ada kata lain yang bisa kami ucapkan selain permintaan maaf, lalu kami disilakan meninggalkan ruangan. Aku berpisah dengan Susanto di depan pintu, tanpa berani menatap sedikitpun ke arahnya. Aku takut, aku menemukan kenyamanan yang sama dalam tatapnya, hingga aku enggan pergi dan betah berlama-lama dengannya. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan, aku ingin berubah. Aku ingin melanjutkan hidup dengan kedua kakiku. Aku ingin tetap hidup karena memang itulah keinginanku. Aku ingin lulus kuliah dengan nilai sempurna. Aku ingin melakukan semua itu karena keinginanku, bukan lantaran cintaku kepada Susanto, atau perasaan ingin selalu membanggakannya agar menuai pujian darinya.
Sepulang kerja, aku berjalan dengan kepala tertunduk. Aku tak berani menyapa siapapun, bahkan menyapa Butet. Di depan pagar, Susanto berdiri di sana, seolah sedang menungguku.