Enam bulan lamanya aku mencari Safiah. Setiap hari kupupuk harapan itu agar tetap hidup. Namun setiap hari pula harapanku pupus, hingga rasanya mati menjadi pilihan terbaik untukku saat ini. Tetapi aku pun takut, suatu hari jika anak perempuanku pulang, tak ada lagi aku yang menyambut kepulangannya. Meski, entah kapan berarti.
Zul telah banyak meluangkan waktunya, juga tenaganya, semata untuk mencari anak perempuanku. Ia barangkali tidak pernah mengucapkan, namun aku menangkap cinta yang begitu besar di matanya. Yang saban hari ia pupuk, ia usahakan agar tidak padam. Aku belum pernah merasakan cinta sebesar itu dari seorang lelaki, sebab Bapakku pun tak mampu menumbuhkan perasaan itu di hatiku.
Jikalau suatu hari nanti anak perempuanku berjodoh dengan Zul, maka aku bisa meninggalkan dunia ini dengan hati tenang dan damai. Sebab kutahu, Safiah bersuamikan lelaki yang baik—lelaki yang tidak pernah kutemui di kehidupanku dua puluh tahun lalu. Pun kalau Zul beristrikan orang lain, aku akan tetap bahagia, sebab kutahu, akan ada perempuan yang terjamin hatinya oleh seorang lelaki yang baik. Apapun itu, aku selalu mendoakan hal-hal baik untuk orang-orang baik.
Aku telah mengikhlaskan jika Safiah tak lagi pulang ke rumah ini. Jika ia tak ingin menemuiku lagi, biarlah kuhabiskan hidupku dalam penantian. Aku hanya bisa berdoa, semoga Allah menjaga anak perempuanku, di manapun dia berada.
Aku dan Mak Long kurang beruntung di masa lalu. Kami terlahir di antara lelaki yang kurang elok sikapnya, kurang sedap perangainya. Namun, melihat Zul, Tengku Halim, juga Pakcik Hussein, tentu membuat kami tak bisa mendustai, bahwa masih ada lelaki baik di bumi ini. Kami hanya perempuan-perempuan yang kurang beruntung di masa lalu.
Ruang hampa di dada kiriku yang kian melompong, mengantarkanku pada keputusan untuk pulang menjumpai Mamak dan Uteh. Jika kekosongan di hatiku tak mampu terisi lagi, maka biarlah aku mengisi kehampaan di hati Mamak. Mungkin mamak tiada punya kesempatan, juga tak punya waktu luang untuk sekadar mencariku. Biarlah aku yang berlapang dada mengunjunginya, juga membasuh dukanya. Barangkali dengan begitu, dukaku puluhan tahun lalu juga terobati.
Mak Long mengantarkanku hingga Pelabuhan Sri Bintan Pura. Orang-orang ramai menyesaki pelabuhan. Ada banyak loket tiket dengan tujuan yang lebih beragam. Aku menukarkan uang seratus tiga puluh ribuan dengan selembar tiket Dumai Express rute Tanjung Balai Karimun. Kali terakhir aku membeli tiket, hanya seharga tiga puluh ribu. Kini aku harus menambahkan seratus ribu untuk menempuh rute yang sama. Krisis moneter benar-benar terasa, lengsernya Pak Harto seketika terasa dalam hidupku. Padahal, saat krisis terjadi, aku dan warga pulau lainnya nyaris tak merasakan apapun. Kini, setelah beberapa tahun berlalu, kesenjangan itu malah kurasa dari selembar tiket menuju pelukan mamak.
“Mak Long, jikalau Safiah pulang, sudi kiranya mengabarkan kepada saya. Agar lekas saya kembali ke sini.”
Mak Long mengangguk. “Hati-hati, Dah. Obati dahulu dukamu, maafkan dirimu. Semoga Allah merahmati perjalananmu.”
Aku mencium tangan Mak Long, sebelum memasuki ruang tunggu pelabuhan. Bersama puluhan orang lainnya, aku keluar menuju kapal. Betapa megah kapal yang kunaiki sekarang. Warnanya biru-putih, tampak seperti baru. Ruangannya dingin, lagi bersih. Di beberapa titik, dilengkapi TV. Sungguh maju peradaban di bumi Allah ini.
Ramai penumpang menaiki kapal. Sebagian memiliki tujuan sama sepertiku, sisanya akan turun di Pelabuhan Tanjung Buton Dumai. Sebagian dari mereka menempuh jalan menuju rumah, sebagian lagi menempuh jarak beramah-tamah. Apapun alasannya, setiap orang memiliki alasan untuk menempuh perjalanan ini.
Tiga setengah jam kemudian aku tiba di Pelabuhan Tanjung Balai Karimun, yang digadang-gadang sebagai bumi berazam. Hatiku bergetar manakala langkahku menyentuh dermaga. Gemetar tanganku menenteng tas berisi baju. Duhai, adakah Mamak merasakan kehadiranku?
Setelah meninggalkan dermaga, tepat di depan jalan keluar, banyak bapak-bapak yang menawarkan jasa becak mereka. Supir Bas Kayu juga sudah menunggu penumpang tak jauh dari sana. Ada perasaan yang menggetarkan hatiku, seperti sedang menziarahi kenangan di masa lalu. Ada banyak hal yang berubah, namun beberapa lainnya terasa sama.
Aku menaiki salah satu becak. Sebenarnya aku terlampau takut bertemu Bapak, Uwan dan Angah. Aku hanya ingin menemui Mamak, bukan mereka yang telah menorehkan luka.
Becak mengantarkanku ke tempat galangan kapal, di mana Uteh bekerja. Aku hanya bisa merapal doa agar Uteh masih bekerja di sana dan aku bisa menemuinya. Sesampainya di sana, kusampaikan kepada satpam bahwa aku mencari Uteh. Tak butuh waktu lama hingga orang yang kumaksud keluar dari sana.
“Midah?” ucap Uteh.
Aku menolehkan kepala.
Wajah Uteh nyaris tak percaya. Ia serupa melihat mayat yang bangkit dari kubur. “Hamidah? Ya Allah Hamidah.” Ia berlari ke arahku, lantas memeluk dan menciumi kepalaku.
Tanpa bisa kutahan, aku menangis sesenggukan. Puluhan tahun lamanya aku terasing. Kini aku bertemu keluarga yang bertalian darah denganku. Barangkali Uteh bukanlah orang yang menorehkan luka di hatiku saat kututup pintu rumah dan kutinggalkan Tanjung Balai Karimun, tetapi ia tetaplah menyisakan kecewa lantaran janjinya yang tak pernah ia jemput; untuk mendatangiku di Desa Penyengat.
Uteh mengajakku duduk di seberang jalan. Kami berdiam beberapa jenak, sebelum ia mengucapkan kalimat yang membuat duniaku runtuh.
“Mamak udah meninggal, Dah.”
Pintu yang sejak lama kurindukan untuk kuketuk, peluk yang sejak dulu ingin kudatangi, harum tubuh yang telah lama kucari-cari, kini telah tiada, menjadi tanah. Duniaku seketika berhenti berputar. Nyawaku serasa lepas. Aku tercerabut dari kefanaan dunia. Mengapa kemalangan tak sudah-sudah menimpaku? Kurang tabahkah aku? Kurangkah salat dan puasaku?
Rasa sakit yang menjalari hatiku, bersamaan dengan kalimat Uteh yang terus terulang serupa mantra di kepalaku, membuat mataku panas, juga pedas. Aku menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Bahuku berguncang. Air mataku menganak sungai.
Uteh merangkulku. Berdua, kami menangisi apa-apa yang telah lalu.
Tiada maaf yang bisa kutuai, tiada peluk yang bisa kurengkuh, tiada wajah Mamak yang bisa kupandang. Pintu yang dulu kututup di tengah ratapan Mamak melepas kepergianku, tak bisa lagi kuketuk demi mengobati kesedihannya. Perempuan yang telah melahirkanku, pergi dengan perasaan kosong dan hampa seperti yang kurasakan sekarang.
“Mamak sedih bukan main, Dah. Selepas kau pergi, setiap hari Mamak menangis. Mamak jatuh sakit. Tapi tak pernah sekalipun berhenti menyebut namamu, Dah.” Uteh mengecup kepalaku. Aku sempurna bersandar di kepalanya. “Abang salah, Dah. Abang tak jemput kau sebagaimana janji Abang. Tak kuasa Abang nak tinggalkan Mamak yang sakit-sakitan. Bapak murka, Dah. Siapa yang membela kau, tak lagi dipedulikan Bapak, termasuk Mamak kita.”
Bapak. Laki-laki itu tetap saja kejam, jika tak boleh kukata biadab.