“Namanya Aziz, Tet,” kataku membuka pembicaraan.
Butet menatapku lurus. Ia masih menunggu kelanjutan ceritaku.
“Kami kenal sebab saya kerja di tempat dia.” Senyumku merekah meski tipis, aku teringat akan Susanto. “Dia memang tak macam Mas Susanto. Tapi saya rasa dia orang baik, Tet.”
Perempuan itu menghela napas, lantas memegang tanganku. “Aku bukan nggak suka kau bahagia. Kau tahu, kan, dari dulu aku udah anggap kau macam saudaraku?”
Aku mengangguk.
“Aku cuma nggak mau kau salah jalan macam dulu. Aku nggak suka tengok dia sebetulnya. Tapi karena kau udah cinta, aku cuma bisa berdoa, semoga ini yang terbaik untuk kau.” Butet tersenyum, ia menggenggam tanganku dan menggoyang-goyangkannya. “Aku cuma minta, kau jaga diri kau betul-betul. Jangan pernah mau kalau kau diapa-apain sama dia. Oke?”
Aku tertawa melihat ekspresinya, juga mendengar ucapannya. “Kau ni dah macam Umakku.”
Butet melepaskan genggaman tangannya. Ia bersedekap. “Memanglah! Gara-gara kau bandal pake acara kabur dari rumah, jadi aku sekarang yang harus dewasa sebelum waktunya.” Wajahnya mengeras, ia menggeleng-gelengkan kepalanya seolah sedang menyaksikan seorang anak nakal.
Tidak bisa kutahan tawaku melihat reaksinya yang seperti itu. “Jadi kau menyesal ke?”
“Enggak, lah! Kenapa aku yang menyesal? Kan kau yang meninggalkan Umakmu.”
Tawaku seketika berhenti. “Umak masih ingat saya tak ya?”
“Masihlah! Zul masih menghubungi aku. Berkali-kali nanyain kau. Kau itu bisa lari dari orang lain, tapi kau jangan harap bisa lari dari Zul. Dari dulu kita itu udah bertiga, Safiah. Kami inilah yang jagain kau. Bagus kau hubungi Zul, kau tanya kabar Umakmu.”
Hening beberapa jenak. Sejak aku meninggalkan desa, aku berusaha melupakan segalanya, termasuk Zul. Dia adalah lelaki baik. Sejak kecil, dia yang menerimaku dengan hangat, bahkan ketika aku tidak percaya pada diriku sendiri. Dia yang mengajariku berenang, juga mengajariku bermain dengan orang lain. Dia yang mengajari aku tentang bagaimana menutup telinga dari olok-olokan orang.
Mengingat Zul dan Umak, mengundang nyeri di dada kiriku. Ada perasaan bersalah dan rindu yang berkelindan di hatiku, namun tak kuasa kuhadapi kenyataan untuk kembali pulang. Demi mendengar cerita bahwa Umakku masihlah hidup dan masih mencariku, aku sudah merasa cukup.
“Tok Hussein udah meninggal, Safiah.” Butet melanjutkan ceritanya.
Aku menyeret tatapanku ke arahnya. Menatapnya dengan mulut menganga. “Kau betul sikit, Tet!”
“Sumpah! Zul yang cerita ke aku.”
“Kapan?”
“Sekitar dua tahun lalu. Katanya tenggelam, tergulung ombak.”
“Tak mungkin! Saya tahu Tok Hussein tu dah hapal laut macam dia hapal jam tidurnya.” Aku masih tak percaya. Aku tahu betul bagaimana Tok Hussein dikenal di desa. Sebagian orang bahkan bersumpah, ia sendiri adalah jelmaan laut. Sebab itu ia tampak tenang dalam gelombang kehidupan, ia tampak bijak dalam badai ketidaksempurnaan. Aroma tubuhnya khas sekali asin garam lautan. Tak mungkin ia tak bisa membaca pertanda, atau memperkirakan cuaca. Semua orang desa tahu, dia-lah satu-satunya yang bersahabat dengan laut.
Butet mengangkat bahu. “Namanya udah ajal. Tapi kata Zul, sebelum Tok Hussein pergi hari itu, dia udah titip pesan ke Tok Halim. Kayak ninggalin wasiat, macam udah tahu aja dia itu mau menghadapi maut.”
Aku terdiam beberapa jenak, lantas meyakini satu hal; Tok Hussein bukanlah tak mengenali tanda, atau alpa membaca cuaca. Ia sengaja pergi merelakan takdirnya pada Allah. Barangkali ia merasa bersalah pada Umak, sebab telah mengantarkanku menyeberang pada malam itu. Kabar kepergian Tok Hussein menyisakan kesedihan dan rasa bersalah di hatiku. Mungkinkah rasa bersalah itu mengikis kebijakan yang tertanam dalam dirinya? Hingga ia memutuskan untuk berpasrah pada gelombang laut?
***
“Weekend ini kita jalan, ya.” Aziz menatapku seraya tersenyum.
Kujawab dengan anggukan.
Ia lantar menambahi, “Tapi nginap, ya.”
Sejenak aku terdiam. Pikiranku melanglang buana. Menginap? Apa maksudnya?
“Kita nyebrang, ke Malaysia. Punya passport, kan?”
Lagi-lagi aku mengangguk. “Nginapnya dua kamar, kan?”
Aziz tersenyum. “Ya enggaklah. Satu aja.” Melihat ekspresi yang berubah, ia segera menambahkan, “Tenang aja, aku nggak akan apa-apain kamu.”
Aku takut, tetapi aku tidak tahu bagaimana cara menolak ajakannya. Dia laki-laki baik, kan? Aku berusaha meyakinkan hati.
“Saya sungkan, Bang Aziz. Apa kata orang kalau mereka tahu kita tidur sekamar?”
Aziz berdecak gemas. “Aih, kamu jangan mikirin kata orang. Di Malaysia juga nggak ada yang kenal kita, nggak akan ada yang tahu.”
Tapi Allah pastilah tahu. Aku membatin.
“Kamu kemas-kemas baju mulai sekarang, ya. Sabtu pagi aku jemput.”
Aku tak sempat menyahuti, sepenuhnya takut dan tidak tahu bagaimana cara menolaknya lagi. Aziz lanjut memakan makanan yang ada di piringnya, seolah diamku diartikan sebagai persetujuan.
Lelaki itu melanjutkan makannya dengan lahap, sementara aku kehilangan selera. Aku mungkin tidak memiliki bapak, tapi aku dibesarkan dengan norma yang dijunjung tinggi. Aku bukan keluarga bangsawan, asal-usul Umakku juga tidak jelas. Tetapi Tok Halim menularkan perangai dan kehormatannya sebagai keluarga bangsawan. Tidak kubayangkan berada di bilik yang sama dengan seorang lelaki sampai pagi menjelang.
Dulu aku memang jatuh cinta pada orang yang salah. Aku memang pernah mencintai suami orang. Tetapi sekalipun ia tak pernah menyentuhku, atau mengajakku melakukan hal yang melanggar norma-norma. Kali ini hatiku takut, namun berusaha kuyakini bahwa aku telah mencintai orang yang tepat kali ini. Kupastikan bahwa kakiku tidak lagi berjalan pada jalan yang membawa rugi.
***
Kakiku telah berjalan daripada yang membawa rugi. Aku telah membiarkan diriku sendiri berjalan ke arah kesalahan untuk kedua kalinya. Rasa takut meliputiku saat berdua dengan Aziz di kamar. Aku memanglah mencintainya, tetapi aku tetap takut ketika ia mendekatiku.