Sepuluh tahun telah berlalu setelah kepergian Safiah. Aku masih menantikan kepulangannya, masih mendoakan keselamatannya. Sejak kepergiannya, aku berhenti bekerja di pasar, juga pelabuhan. Sesekali aku akan datang ke sana untuk mencari Inang saja. Kali lainnya aku membeli perlengkapan suruhan Mak Long. Telah sejak lama kupasrahkan hidup, begitu pula kini.
Bertahun-tahun lalu, Pakcik Hussein yang menyambutku saat aku kembali dari Tanjung Balai Karimun. Di hatiku masihlah terpatri dendam, juga amarah yang enggan padam. Bapak, Uwan dan Angah menjadi kayu bakar atas semua kemarahanku, kepada mereka pula tertuju segala dendam itu.
Hari itu, wajah Pakcik Hussein tampak sendu. Tak peduli pompongnya masih melompong, ia segera memutar sampannya demi mengantarku pulang ke rumah. Menatap kesenduan di wajah lelaki itu, membuat hatiku bergetar entah bersebab apa. Manakala kupikirkan segala kebaikan dan kata-kata bijak yang selama ini diucapkan olehnya, membuatku merasa, bahwa sebenarnya dialah senyata-nyatanya keluarga. Dia, Mak Long, Tengku Halim, tak lebih dari orang asing yang dikirimkan Allah untuk menolongku puluhan tahun lalu. Yang bersebab kemalanganku, aku menjadi bertemu mereka, menemukan keluarga dan rumah yang membuatku merasa pulang. Jika orang-orang berkata Penyengat itu keramat, maka akan kuaminkan penuh semangat. Sebab entah mengapa, aku merasa benang takdirku terikat pada pulau itu—juga segala nasib baikku sejak datang ke sini.
Bukan sekali-dua kali, beberapa orang bergurau padaku. Pakcik Hussein mestilah menyimpan rasa, barangkali cinta. Pernah aku menjaga jarak dengannya, sebab tak bisa kubayangkan, lelaki yang pantas kupanggil bapak itu, malah mencintaiku. Kebaikan Pakcik Hussein terkadang mengingatkanku pada kejadian pedih itu, kejadian yang menjadi muasal kemalangan di hidupku. Tetapi Mak Long meyakinkanku, bahwa Pakcik Hussein bukan orang yang seperti itu. Berkali-kali aku melangitkan doa, mengharap pada bertuahnya Penyengat, jika benar lelaki itu menyimpan rasa, jauhkan rasa itu dari perasaan cinta.
Yang mengejutkan pagi itu, Pakcik Hussein datang ke Warung Kopi Siang Malam. Ia memesan Kopi O, juga Roti Lampam. Langkahnya segera menuju meja Tengku Halim. Tentu bukan hanya aku, Tengku Halim pun terheran melihat kedatangan lelaki itu.
Aku mengantarkan pesanan Pakcik Hussein ke mejanya. Wajahnya tampak gusar, ia terlihat risau. Entah apa yang dibicarakannya dengan Tengku Halim, aku hanya menduga pastilah perkara yang serius.
Tak lama, ia hanya duduk barang sejam saja. Segala perkara dan urusannya selesai dalam waktu singkat. Pakcik Hussein memang tidak pernah mengucapkan kesia-siaan. Dari dia pula aku belajar menjaga omongan.
Langit gelap. Angin musim telah berembus. Melihat langkah Pakcik Hussein yang beringsut dari warung kopi, membuat hatiku bergetar tak tenang. Perasaan apa ini?
“Pakcik, angin kencang. Tak usahlah menyeberang.”
Lelaki itu menghentikan langkahnya, berbalik menatapku. Entah bagaimana, tapi aku melihat senyum di wajahnya.
Tengku Halim menimpali, “Biarlah, Dah. Dia dah hapal laut, juga pertanda alam. Kalau kau kehabisan garam, keringat dia tu dah seasin garam laut.” Ia bergurau, kutahu.
“Saya pergi, Dah.”
Aku menganggukkan kepala. Pakcik Hussein berlalu. Ia hanya berpamitan pergi, sebagaimana ia turun ke laut setiap pagi, dan kembali pulang kala petang. Namun hari itu, ucapannya seolah mewakili pertanda alam. Angin yang berembus dengan kencang, menggentarkan hatiku. Aku merasa takut, entah pada apa.
***
Jika badai di hatiku hanya menenggelamkan diriku sendiri, berbeda dengan badai di lautan. Angin yang berembus kencang, mendung yang menutupi langit, ombak yang bergelombang, menjadi amukan laut yang tak terhindarkan.
Penyengat mendapatkan kunjungan hari itu. Di setiap Jumat, orang-orang akan ramai melaksanakan salat Jumat ke Masjid Raya Sultan Riau. Warung Kopi Siang Malam juga ramai pengunjung. Aku dan Mak Long sampai kewalahan.
Di antara baju kurung berwarna-warni, kabar duka itu datang seumpama gulungan awan tebal yang siap memburaikan hujan air mata. Beberapa orang, beramai-ramai mengerumuni rombongan yang baru tiba di dermaga. Aku dan Mak Long segera tahu, sebab apapun yang terjadi di dermaga, dapat kami saksikan dari kedai kopi ini.
“Beri jalan, beri jalan,” ucap seorang lelaki, memberi komando.
Aku terperangah, nyaris tak percaya saat melihat siapa yang digotong mereka. Lelaki yang mereka gotong itu, memakai baju yang kuhapal. Itu adalah baju Pakcik Hussein saat terakhir kali kami berjumpa. Saat rombongan melewati kedai kopi, yakinlah aku bahwa orang itu memang Pakcik Hussein.
Lututku lemas. Aku lunglai, terduduk di depan kedai kopi.
“Hussein! Hussein! Ya Allah, Hussein!” Mak Long meratap. Ia sama terkejutnya seperti aku.
Tengku Halim menganga tak percaya. Ia segera bergabung dengan rombongan dan membawa jenazah Pakcik Hussein menuju rumahnya.
Orang-orang telah ramai berjalan menuju rumah Pakcik Hussein, sedang aku dan Mak Long masih terduduk lemas di kedai kopi. Hatiku rasanya sakit, seolah ada sesuatu yang tercerabut seiring kepergian Pakcik Hussein. Aku tak pernah menyangka bahwa itu adalah pertemuan terakhirku dengannya.