Hari ketika aku melahirkan anakku, suamiku tidak berada di sisiku. Ia sibuk menghabiskan uangku di meja judi. Perhiasanku telah habis digadai, tabunganku tak bersisa dijadikan jaminan.
Entah perasaan apa yang kutahankan saat ini, hingga aku masih betah menjalani rumah tangga yang jauh dari kata sakinah. Tiada mawaddah dalam hubungan aku dan Aziz. Semuanya hanya terjadi dalam satu arah, hanya aku yang berusaha mencintai dan memperbaiki apa yang telah rusak.
Usia anakku genap tiga tahun. Setiap waktu ia selalu bertanya ke mana bapaknya? Kenapa bapak tak pernah ikut pergi bersama kami? Aku selalu tabah menjawab pertanyaannya, menanamkan pengertian di dalam hatinya, perihal mengapa perangai bapaknya tak seperti nilai yang kuajarkan padanya. Tetapi, manakala ia bertanya apakah bapaknya tidak menyayanginya? Sehingga tak pernah sekalipun mengajaknya bermain. Hatiku rasanya hancur. Aku kehilangan pegangan. Aku tidak tahu untuk apa aku bertahan dalam pernikahan ini, jika anakku pun mempertanyakan kasih sayang bapaknya.
Padahal telah kutabahkan hatiku menerima perlakuan kasar Aziz. Kusabarkan diriku meski aku tak disayang lagi. Namun, pemahaman apalagi yang harus kuberikan kepada diriku, ketika anak yang kujadikan alasan mempertahankan rumah tangga ini, juga tiada merasakan kasih sayang dari bapaknya?
Suara pintu terbuka. Kuyakin Aziz pulang.
Aku mendatanginya, menyalami tangannya dan menawarkan makan untuknya.
Lelaki itu berwajah kusut. Mulutnya berbau alkohol, rambutnya berantakan tak keruan.
“Abang nak mandi air hangat ke? Saya dah masakkan tadi,” kataku berusaha menunaikan kewajibanku sebagai istri.
Aziz tak menjawab. Tangannya lantas menarik tangan kananku dengan kasar. Dipandangnya cincin yang melingkar di jariku yang cacat. Seringai senyumnya menampakkan kengerian.
Lekas-lekas kutarik tanganku. “Abang nak apa?”
Lelaki itu menarik tanganku lagi, dan berusaha melepaskan cincin yang melingkar di sana.
“Jangan, Abang! Tinggal ini satu-satunya harta saya.”
“Perempuan bodoh!” Lelaki itu mendorong tubuhku hingga tersungkur. “Dah kubilang, aku pinjam cincinmu! Nanti kalau menang pasti kuganti! Perempuan itu harusnya nurut sama suami! Inilah akibat didikan Umakmu yang macam laki-laki itu!” Ia mendengkus, lalu menyeringai. “Jari cacat macam tu, sok-sokan pakai perhiasan!”
Lelaki itu meninggalkan rumah usai menumpahkan sumpah-serapah. Ia puas memukulku, juga menendangku.
Kalimat demi kalimat yang dia ucap, menyisakan rasa sakit yang menyesakkan dada. Lihatlah ia menyumpah-nyumpah padaku, mengatai Umakku yang bahkan belum pernah ditemuinya. Sepanjang aku hidup, sebenci apapun aku pada Umakku dulu, sebesar apapun kemarahan yang berkelindan di hatiku, aku tetap tidak pernah mengata-ngatai Umakku seperti Aziz menghinakannya.
Dari balik tembok, anak lelakiku muncul dengan wajah dipenuhi ketakutan. Kesakitan di hatiku kian bertambah melihat wajahnya.
Aku melambaikan tangan, memintanya mendekat.
Tepat di hadapanku, bocah lelaki itu mengusap air mata yang menetes di pipiku. “Umak sakit, ya?”
Aku menggigit bibir, berusaha menahan gejolak di dalam hati. Aku menggeleng, tak sanggup menyahuti. Kupeluk erat ia, aku mengucap maaf berkali-kali.
“Umak, maaf, ya. Zulham tak bisa jaga Umak.”
Tangisku pecah. Air mataku menganak sungai. Aku tak tahan lagi. Mengapa harus anakku yang meminta maaf, sedang yang menorehkan luka adalah bapaknya? Rasa bersalahku bertambah, manakala kuingat betapa tidak berdayanya Zulham. Ia tak punya kuasa memilih siapa umak dan bapaknya. Sepenuhnya ada padaku kesalahan itu. Aku memilihkan lelaki yang salah untuknya, aku memilihkan bapak yang tidak baik untuknya.
Seharusnya, sebelum aku jatuh cinta, aku patutlah berpikir lebih dulu, pantaskah lelaki yang kucintai menjadi bapak bagi anak-anakku nanti?
Aku memandangi jariku yang tak sempurna. Ia kembali polos seperti saat aku bersekolah dulu. Tiada perhiasan yang menyempurnakannya. Aku kembali teringat perkataan Aziz saat ia mengambil cincin itu, merebut paksa dari jariku yang cacat.
Umak benar, seharusnya perempuan tidak memakai perhiasan, agar tak menambah alasan-alasan duka dalam hidupnya. Aku merindukan Umak, aku ingin kembali ke pelukan Umak.
Umak bukan membenciku, bukan pula tidak menyayangiku. Umak tak memberiku perhiasan, sebab Umak ingin memberikan dunia yang aman dan dipenuhi kebahagiaan untukku. Aku yang terlalu muda dan gegabah, tak mampu menangkap maksud baik Umak. Kini yang tertinggal hanyalah penyesalan. Aku menyesal telah pergi meninggalkan rumah.
***
“Safiah, kau udah tengok X?” Butet bertanya saat aku mengunjungi rumahnya.
Aku menggelengkan kepala. “Kenapa?”
Perempuan itu menyerahkan ponselnya kepadaku. Di sana, sebuah judul berita meramaikan trending X, memenuhi lini masa.
Aku membaca ringkasan berita itu. Tertulis di sana bahwa seorang anak perempuan meninggal dunia sebab digorok oleh makciknya. Tiada hal lain yang diincar oleh makciknya selain perhiasan yang dikenakan anak perempuan itu. Ia tega membunuh keponakannya, hanya karena perhiasan yang berkilau.
Hatiku bergetar ngeri seusai membaca berita itu. Kuserahkan ponsel itu kepada Butet.
“Udah kau baca? Sekarang kau paham kenapa Umakmu dulu melarang kau pakai perhiasan?”
Aku mengangguk. Barangkali Umak tidak ingin sesuatu buruk seperti itu menimpaku. Atau barangkali Umak telah tahu, bahwa perhiasan bisa menjadi alasan atas kesedihan dan nestapa dalam hidupku di masa depan—seperti yang kualami sekarang.
Segala keindahan yang dulu menjadi mimpiku, juga harapanku untuk bertahan hidup, nyatanya kini menjadi alasan bagi duka dan nestapa yang kurasakan. Betapa sulitnya terlahir sebagai perempuan. Kekurangan yang sedikit saja tak bisa dimaklumi, keindahan yang diusahakan malah mengundang nestapa lainnya.
***
"Abang! Zulham tu nak main sama bapaknya. Abang tu sibuk sendiri." Aku mencecar suamiku. Zulham telah berkali-kali berucap, bahwa ia ingin memiliki bapak seperti teman-temannya.
Aziz menggeram. "Dah ada kau pun."
"Abang fikir Zulham tu datang dari pohon pisang? Abang tu lah Bapaknya! Takde Abang, tak jadi Zulham tu. Jangan lupa diri, Bang!"
Tangan Aziz melayang, nyaris mendarat di pipiku.
Mataku terpejam sempurna. Namun tak kurasakan tamparan itu mendarat.
"Ceraikan aku, Bang," kataku ketika mataku telah terbuka.
Aziz murka. Ia sempurna marah. Ditendangnya aku berkali-kali. "Perempuan Anjing!" Ia mengakhiri tindakannya dengan menyumpah-nyumpah padaku.
Setelah Aziz meninggalkan rumah, aku mengemas pakaian dan membawa serta Zulham bersamaku. Aku masih punya tempat tujuan. Butet masih selalu di sana, membukakan pintu rumahnya untukku.
Enam tahun lamanya kutahankan hidup dalam neraka. Kusabarkan hatiku bersuamikan lelaki yang tak tahu diuntung, demi mengharapkan pengampunan Allah atas dosa yang telah kulakukan. Kutabahkan diri dipukuli hingga dicaci maki, semata aku tak ingin anakku merasakan apa yang kurasakan sejak dulu; tumbuh besar tanpa mengenal kasih sayang seorang bapak. Namun hari ini aku tersadar, bahwa segala yang dikatakan Butet sejak dulu memang benar adanya; kutahankan seumur hidup pun untuk berumah tangga dengan Aziz, anakku tetap tidak akan mendapatkan kasih sayang seorang bapak. Nyatanya, lelaki itu sendiri tak pernah bermain dengan anaknya, tak pernah mencukupi segala kebutuhannya.