Kata Umak, Perempuan Tak Boleh Guna Perhiasan

Goebahan R
Chapter #18

Bab 17 - Yang Marah, Hanyalah Jiwa Terluka

Aku mengabari Inang perihal rencanaku. Meski ia tinggal di Tanjungpinang, namun orang-orang Desa Penyengat telah menjadi keluarganya juga. Ia akrab dengan orang-orang yang juga akrab padaku. Sejak mendengar kabar kepergian Pakcik Hussein, ia segera datang dan selalu ikut bertakziah.

Aku dan Inang meninggalkan Tanjungpinang menuju Tanjung Balai Karimun. Dalam banyak kesempatan, kami hanya menghabiskan waktu dalam diam. Sampai tiba-tiba, Inang berucap,

“Rambut kau udah panjang, Dah.”

Mataku menatap rambut yang tergerai. Aku menyelipkannya ke belakang telinga.

“Dulu, pertama kali jumpa, kau persis laki-laki. Mukamu dingin, rambutmu pendek. Nggak ada harapan yang kutengok di mukamu itu.” Inang tersenyum. “Nggak kubilang aku bersyukur sama cobaan yang datang ke kau, tapi aku senang nengok kau sekarang. Rambutmu sudah panjang, kau menangis. Sekarang kau nampak bingung. Kau lebih hidup, Dah.”

Aku menelan ludah. Tetap saja, kesulitan demi kesulitan yang datang, tidak bisa membuatku memaklumi yang ada sekarang. Tetapi aku mulai paham, bahwa segala yang terjadi di hidupku, pastilah sudah direncanakan Allah. Ada yang Dia ingin kuketahui, meski melalui jalan yang sulit. Cukuplah pemikiran itu menjadikan hatiku lebih tabah, lebih berterima.

Inang menggenggam tanganku. “Makasih, Dah. Karena jumpa sama kau, aku jadi punya alasan untuk melanjutkan hidupku dulu. Aku memang sebatang kara di sini. Kutinggalkan semua keluargaku demi cinta. Kutinggalkan Tuhanku demi manusia. Waktu aku sadar aku terjebak, nggak punya jalan pulang, di situ kau ada. Kujalani apa yang udah kupilih dulu, karena ada kau yang menemani aku.” Mata Inang dipenuhi bulir bening yang siap jatuh. Sekali lagi dia berkata, “Makasih, Dah.”

Kami berpelukan ketika kapal mulai menerjang ombak. Kapal bergoyang membelah ombak. Di balik kemalangan yang menimpaku dulu, di belakang caci-makiku pada hidup dulu, ternyata aku telah menghidupkan harapan di hidup orang lain. Jika memang kesulitan yang kualami sebab Allah memintaku menghidupkan harapan orang yang kini ada di hidupku, maka aku akan ikhlas menerima. Aku telah menjalani hidup sebaik mungkin, meski dendam di dadaku masih terpatri. Setidaknya, aku tidak hidup dengan sia-sia.

***

Perjalanan tiga jam yang kutempuh bersama Inang, membawaku berada di hadapan Uteh dan mendengar kenyataan yang akan diucapkan Uteh. Apapun yang ia tahu perihal Pakcik Hussein, akan kuterima dengan lapang dada. Apapun dosa di masa lalu mamak, akan kumaafkan.

Uteh menghela napas. “Abang tak tahu siapa Pakcik Hussein. Tapi, dulu Mamak memang pernah pergi, setelah bertengkar hebat sama Bapak. Lama, sampai beberapa minggu. Abang menangis tiap malam sebab Mamak tak pulang-pulang.” Ia tertawa. “Sampai hari terakhir hidup Mamak, Abang tak pernah tahu ke mana Mamak pergi dulu.” Kali ini air mukanya berubah sendu, seolah ia sedang mengenang sesuatu yang pilu. “Yang Abang ingat, Mamak sakit waktu pulang ke rumah. Setiap pagi Mamak muntah-muntah. Bapak patutlah curiga. Entah apa yang terjadi, tapi lepas tu, Abang dikasih tahu, kalau Mamak sedang mengandung bayi di perutnya.”

“Yang buat Abang heran, rumah tu jadi beda. Bapak sama Mamak jadi tak akur. Sampai suatu malam, waktu perut Mamak makin besar, Abang tak sengaja dengar Mamak sama Bapak lagi cakap-cakap di kamar. Mamak waktu tu nangis-nangis, Dah. Mamak mohon-mohon ke Bapak untuk menambahkan anak yang mau lahir ke Kartu Keluarga. Bapak marah-marah. Semua barang dibanting. Tapi lepas tu, kau lahir, Dah.”

Dada kiriku terasa ngilu, membayangkan Mamak memohon-mohon kepada Bapak agar Bapak menerima kehadiranku.

“Bapak menambahkan kau ke Kartu Keluarga. Kau disekolahkan. Tapi dari dulu, Abang merasa Bapak beda. Bapak sayang sama Uwan, sama Angah. Awalnya Abang pikir, sebab Uwan sama Angahlah yang paling mirip Bapak perangainya. Tapi ternyata bukan itu pasalnya.” Uteh menatapku, ia mengusap kepalaku. “Waktu Abang makin besar, Mamak cerita kalau perempuan tu macam burung di dalam sangkar. Tinggal menunggu waktu ke tangan mana dia diberikan. Karena waktu yang lama hidup di dalam sangkar, ketika dilepas ke alam liar, ujung-ujungnya burung tu cuma punya dua pilihan; kembali ke sangkar, atau mati di alam liar. Mamak pilih pulang, balik ke sangkarnya, sebab ada Uwan, Angah dan Abang yang jadi tanggungjawabnya. Dari situ Abang macam-macamnya paham, ke mana Mamak pergi dulu, kenapa Mamak pergi, mengapa Bapak tak bisa seakrab itu sama kau.”

“Mamak mencintai orang lain, Dah. Abang tak tahu kenapa Mamak tak menikah sama orang yang dicintainya. Abang cuma tahu, Mamak menikahi Bapak sebab kewajiban. Mamak melahirkan dan membesarkan kami juga karena kewajiban. Mamak mencuci, memasak, menyapu, sebab tu lah baktinya sebagai istri.”

Lihat selengkapnya