Aku terlahir ketika Umakku berusia tujuh belas tahun. Aku memiliki anak ketika usiaku tiga puluh, namun anak itu pun hadir dari kesalahanku sendiri. Usiaku belum terlalu tua, begitu pula Umak. Kami memanglah pernah melakukan kesalahan ketika umur kami masihlah muda. Kehidupan ini pun tidak terlalu ramah terhadap kami yang perempuan ini. Namun, aku ingin memperbaiki kesalahan yang terlanjur terjadi.
Mulai hari ini hingga nanti, pelukku akan selalu terbuka untuk mengobati kesedihan Umak. Sebagaimana aku yang akan mencari pelukannya saat hidupku tidak baik-baik saja. Kami berdua akan menghadapi badai kehidupan bersama. Jika nanti saatnya telah tiba, entah aku atau Umak yang akan berpulang, saban hari, setiap malam, akan kukirimkan doa agar di akhirat kelak tiada sepi yang mendera kami.
Zul bercerita banyak sepanjang perjalanan. Perihal Umak yang diperkosa, hingga diusir dari rumah. Ia juga mengatakan kepadaku bahwa Mak Long telah menyiapkan gelang emas untukku sejak lama, namun tidak berani memberikannya padaku sebab ia takut hal itu akan menyakiti Umakku. Untuk banyak hal, ternyata aku hanya perlu bertanya dan sedikit lebih tabah, sedang Umak harus belajar berterus terang, agar tiada rasa penasaran di dadaku. Aku ingin menceritakan banyak hal, juga menanyakan beberapa hal.
Perjalanan panjang ini, sepanjang aku pergi dari rumah dan tak kembali, nampaknya telah menyadarkan aku dan Umak banyak hal. Umak pernah salah dalam membesarkanku, semata ia tak tahu bagaimana mengurusi seorang anak yang benar. Ia diusir ketika mengandungku. Mati-matian ia melalui hidup ini untuk melahirkanku, saat ia punya pilihan untuk menggugurkanku. Nyawaku nyala, sebab Umak yang mengambil peran. Bagaimana mungkin kutimpakan semua kesalahan kepada orang yang sedang belajar dalam hidupnya? Sebab aku pun melakukan kesalahan dalam proses belajarku memahami kehidupan.
Aku, Zulham, Butet dan Zul menaiki pompong. Ada perasaan yang memenuhi dadaku, yang membuat sepasang mataku terasa hangat dan basah. Dulu, terakhir kali aku menaiki pompong bersama Tok Hussein. Kini, lelaki itu telah tiada. Entah berapa banyak hal yang berubah sejak aku pergi, nyatanya aku memang telah melewatkan banyak hal.
Lima belas menit berlalu hingga aku tiba di Pelabuhan Penyengat. Orang-orang ramai berlalu-lalang. Musik-musik melayu diputar. Suara akordion dan seruling menggugah Butet menari pelan, berusaha menggoda Zul.
“Aih, kalian nggak ingat dulu kita joget-joget di sini?” Butet mulai meracau.
Disambut tawa Zul dan Zulham.
Aku berjalan pelan di sepanjang dermaga. Jantungku berdebar tak keruan. Di sudut kanan, masih kudapati Warung Kopi Siang Malam. Pastilah Mak Long dan Umak sedang berada di sana.
Perhatianku tertuju pada seorang lelaki yang telah menua. Aku tahu lelaki itu. Dialah yang sering dijuluki anak hantu laut, atau anak yang selamat dari cengkeraman hantu laut. Ogut memandangiku. Seketika aku menghentikan langkah dan menatapnya. Kuikuti arah tatapannya. Tampak jelas Ogut sedang melihat anak lelakiku. Ia lantas menatapku kemudian dan melemparkan sebuah senyuman. Selepas itu, ia berjalan entah ke mana, berbaur dalam keramaian yang ada.