Biar aku dikata bodoh, tak tahu diri dan tak punya prinsip. Aku tidak peduli. Biarlah kami para perempuan ini yang saling menguatkan atas duka-duka kami. Sebab di kehidupanku, laki-laki merasa bermartabat tinggi, enggan menunduk bahkan memperbaiki diri. Biar mereka mati dalam gengsi. Aku hanya ingin menyambut anakku yang telah bersimbah luka, bersama cucuku yang tak tahu apa-apa.
Akan kurawat luka mereka, kubasuh duka keduanya. Biar dikata aku tak punya harga diri, setelah ditinggal dan dimaki, kini menerima apa yang kembali. Barangkali beginilah yang dirasakan Mamak dulu; ia ingin menerimaku, namun terhalang para lelaki yang tak tahu diuntung. Aku akan membayar kebaikan hati Mamakku, yang tak pernah dimiliki laki-laki semacam Bapak dan abang-abangku.
Kutimang bocah kecil itu. Ia tertawa dan bergelayut manja. Apa yang hilang telah kembali, yang direnggut telah dilepas lagi. Perhiasanku telah pulang, maka kusambut dengan lapang dada. Kutahu Allah sedang mengampuniku, lewat kepulangan anakku.
Penyengat sedang merayakan festival, menyambut kedatangan tamu, juga mendulang rupiah dari semua ini. Aku merayakan kepulangan Safiah dengan senyum dan pelukan hangat.
“Umak, saya minta maaf.”
Cepat kupeluk Safiah. “Umak yang minta maaf, Safiah. Umak lupa sedang membesarkan anak perempuan. Umak sibuk mengobati luka di hati Umak, lupa kalau kau butuh diajak bercakap-cakap. Manalah bisa kau mengerti duka Umak, Safiah, kalau Umak sendiri tak pernah cakap.”
Mataku hangat, pun dengan Safiah. Kurasakan bajuku basah dengan cairan hangat. Kami berpelukan erat. Hari ini sampai seterusnya, kami akan saling berpegangan tangan, menghadapi badai kehidupan.
Tengku Halim sedang duduk di mejanya yang biasa. Sejak Mak Long jatuh sakit sebab umurnya yang kian menua, Kedai Kopi Siang Malam diwariskan kepadaku. Aku menjalaninya dengan doa yang tak pernah putus, bahwa suatu hari nanti, aku akan melihat anakku berjalan di dermaga menuju kedai kopi ini. Doa itu terjawab hari ini, setelah dua puluh tahun kurapalkan.
“Tok Halim masih kayak dulu, Mak?” tanya Safiah. Perhatiannya tentu tertuju pada lelaki tua yang sibuk berorasi dan menghujat pemerintah.
Aku tertawa. “Kata siapa? Makin ke sini, makin bertambah kebenciannya sama pemerintah. Kau dengarlah cakap dia tu.”
Di tempatnya, Tengku Halim berkata, “Orang-orang ni tak peduli tanah ulayat. Semua nak dipakai demi uang. Dulu, sebelum dia jadi gubernur, rajin betul datang ke sini. Sampai lecet tanganku ni disalam. Sekarang sejak naik, halah, dijumpain aja pun susahnya bukan main. Padahal tak-nya kuminta duit dia.” Ia mengisap rokoknya, lalu mengebulkan asap ke udara. “Takde harganya lagi kesultanan ini. Macam sampah dibikin pemerintah ni. Tengoklah Lembaga Adat Melayu tu, apa kerjanya? Takde! Orang tu nak ganti semua warna jadi kuning dan hijau. Padahal warna melayu tu bukan itu. Bisa kalian tengok foto, warna kita tu warna putih. Ini semua makam raja diganti pula jadi warna kuning-hijau. Warna kuning tu dipakai kalau ada acara adat, atau acara penting. Bukan warna sehari-hari.”
“Ha, kenapa makam Raja Ja’far ni tak kuning? Kami tahan, kami tak kasih diganti.”
Orang-orang pendatang yang kebetulan datang untuk makan dan minum kopi di warung kopi ini, mendengarkan penjelasan Tengku Halim. Mereka menyambut dan menimpali dengan hangat. Tentu membakar semangat lelaki itu untuk menceritakan sejarah kesultanan.
“Aku dah cakap, balikkan Lembaga Adat Melayu ke Kesultanan Riau-Lingga. Tak didengar. Di Batam tu, kalau baca spanduk ‘Tanah Ulayat’, tu aku yang pasang, sama kawan-kawanku. Banyak betul yang udah dipakai sama pemko, tak izin pula ke kami. Alahai, sekarang ni takde harga dirinya kesultanan ini. Hasil laut diambil, tapi takde yang dikasih ke kami sedikitpun. Dulu pas jaman Belanja, waktu dikelola sama Belanda, tiap bulan tu tiga puluh persen mereka kasih untuk upeti, untuk jadi kas kesultanan. Di luar upah pekerja itu. Sekarang sama negara sendiri, habis dikeruk hasil laut, yang kaya asing. Rakyat ni kebagian sampahnya je.” Tengku Halim seolah tak lelah-lelah mengulang bagian ini. Ia seolah sedang berkata, bahwa kejayaan melayu ini masih terasa ketika Indonesia belum merdeka.