“Umak, boleh saya tahu pendapat Umak perihal Zul?” tanyaku saat Umak sedang mengiris-ngiris ubi. Umak akan membuat Serikaye Ketulang untuk dijual nanti. Zulham masih lelap di kamarnya.
Tangan Umak berhenti. Ia meletakkan pisaunya. “Zul tu laki-laki baik, Safiah. Dia memang tak bermimpi besar macam kau, tapi hatinya tentulah mulia.”
Senyumku merekah, manakala mendengar perkataan baik tentang Zul dari mulut Umak. Betapa lalim diriku ini, aku telah melewatkan laki-laki sebaik Zul dalam hidupku.
“Zulham juga nampaknya dekat dengan Zul, kan?” Umak balik bertanya.
Aku mengangguk. “Budak tu bahkan tak sedekat itu sama bapaknya sendiri.”
Hatiku rasanya ngilu. Enam tahun yang kutahankan bersama Aziz tak membuahkan apapun. Aku bisa melihat betapa Zulham merindukan kasih sayang seolah bapak, yang tidak pernah didapatkannya dari bapak kandungnya. Melihat bagaimana anak kecil itu bergelayut manja di lengan Zul, juga bercerita banyak hal pada lelaki itu, membuat hatiku terenyuh. Barangkali inilah yang didambakan Zulham sejak dulu, memiliki sosok bapak yang menyayangi dan memperhatikannya.
“Kau sudah benar, Safiah. Kalau kau bertahan sama laki-laki itu, bisa kau bayangkan Zulham akan menirunya?”
Lekas kepalaku menggeleng. Aku tentu tidak ingin anak lelakiku mewarisi sifat bapaknya. Aziz mungkin baik di masa lalu, namun lebih banyak waktu yang kuhabiskan dengannya untuk melihat sisi buruknya.
“Menyandang status janda memang tak mudah, Safiah. Tapi lebih susah lagi kalau nanti anakmu berkelaku macam bapaknya.”
Benar kata Umak, setelah ini aku akan menyandang status janda. Mungkin aku akan dipandang sebelah mata, tetapi tak mengapa. Biar orang berkata buruk tentangku di belakangku, selama anakku tumbuh menjadi anak yang baik, aku akan menempuh segala jalan yang harus kutempuh.
“Kau nak ke sama Zul?”
Aku tertunduk. Senyumku berusaha kutahan. Namun barangkali rona di pipiku sudah menjelaskan jawabannya. Mungkin aku terlambat, bahkan hampir melewatkan. Tetapi kali ini aku ingin memperbaiki segala yang telah kulewatkan, agar tiada penyesalan di sepanjang sisa hidupku.
“Saya malu, Mak. Saya ni dah janda. Dua puluh tahun sejak saya pergi dari Umak, hidup saya berantakan. Rasanya Zul patutlah beristrikan perempuan yang lebih baik dari saya.”
“Betul. Umak pun setuju. Tapi kalau dia nak dengan kau, berarti bagi dia kau tu perempuan baik yang dia cari, kan?”
Sebaris kalimat yang diucapkan Umak membuat hatiku menghangat, hingga kedua mataku membasah. Ternyata masih banyak sekali hal yang tidak kuketahui perihal hidup ini, dan Umak selalu sedia menjadi jawaban atas segala tanyaku. Rasa percaya diri yang tidak pernah kumiliki, perlahan hilang bersebab kalimat Umak. Aku memang tidak cukup percaya diri untuk mengajukan diri menjadi istri Zul. Tetapi jika nanti ia kembali bertanya padaku, apakah aku mau diperistri olehnya, aku akan berani mengucapkan ‘ya, saya bersedia menjadi istrimu’.
Aku tidak mau lagi menjadi perempuan yang hanya diam dan menyerahkan keputusan pada orang lain. Diamku seringkali diartikan salah. Rasa sungkanku seringkali melahirkan keputusan yang tidak sesuai dengan keinginan hati.