Hari-hari setelah pengiriman surat terasa seperti perjalanan tanpa henti, penuh dengan ketidakpastian dan rasa cemas yang menyesakkan bagi Rosi. Rosi berusaha bersikap normal dan biasa saja di sekolah, melakukan apa yang biasa ia lakukan, tetapi setiap kali dia melihat wulan, jantungnya berdegup kencang, dan perasaannya terombang-ambing. Ia melihat Wulan tertawa bersama teman-temannya, dan rasa cemburu kembali menyergap dirinya, membuatnya merasa terasing di sekolah yang seharusnya hangat.
Beberapa hari berlalu tanpa adanya kabar dari Wulan. Rosi mulai berpikir mungkin dia lelah. Mungkin Wulan tidak peduli atau bahkan sama sekali tidak membaca suratnya. Rasa malu menggelayuti pikiran Rosi. Jika saja ia tidak menyelipkan surat itu, mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Namun, hidup harus terus berjalan. Saat pelajaran berlangsung, mereka mendapatkan tugas untuk membuat kelompok untuk proyek seni. Raka, yang biasa bekerja sendiri, kini terpaksa bergabung dengan teman-teman sekelasnya.
Suatu sore, ketika mereka sedang mengerjakan proyek di rumah Wulan, suasana terasa canggung. Rosi merasakan ketegangan yang sangat dalam, seolah ada hal yang belum terungkapkan. Ketika suasana semakin mendekat, Rosi akhirnya memberanikan diri. “Wulan,” panggilnya, suaranya yang jelas. “Tentang surat yang kemarin itu… aku hanya ingin bilang bahwa…”
Wulan menatapnya penuh perhatian, tetapi ekspresinya tampak ragu. “Surat? Maksudmu surat yang kamu selipkan di buku aku?” tanyanya, pandangannya tidak bisa Rosi baca.
“Iya, itu…” Rosi berusaha berfikir dan menata kata. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tetapi aku… aku menyukaimu, Wulan. Lebih dari sekadar teman.”