Acara perpisahan yang semakin dekat terasa seperti beban semakin berat bagi Rosi. Setiap hari di sekolah, ia berusaha bersikap tenang, tetapi hatinya seolah melawan. Rasa sakit dari penolakan Wulan masih menancap dalam, dan ia tahu bahwa meski perpisahan adalah waktu untuk merayakan, bagi dirinya itu adalah pengingat pahit dari sesuatu yang hilang.
Hari demi hari, Rosi melatih dirinya untuk berpura-pura. Ia tersenyum saat berada di sekitar teman-teman, berusaha tidak menunjukkan bahwa hatinya hancur. Dia mulai mengalihkan fokusnya pada hal lain, seperti menggambar dan menulis, tetapi segala sesuatu itu terasa hampa tanpa kehadiran Wulan. Dalam setiap lukisan dan tiap kata yang ia tulis, namanya tak bisa lepas dari pikiran.
Malam sebelum acara perpisahan, Rosi duduk di mejanya, mengamati lukisan yang ia buat selama seminggu terakhir. Sebuah lukisan yang menunjukkan langit senja dengan pemandangan laut, menggambarkan keindahan dan ketenangan yang ia inginkan. Namun, di dalam hatinya, lukisan itu hanya mencerminkan kesedihan yang tumbuh semakin dalam. Dalam beberapa hari terakhir, ia mulai berlatih menghadapi Wulan, berusaha untuk tidak menunjukkan tampangnya yang terluka.