"Ayah ...."
Suara bocah usia delapan tahun menggema di penjuru ruangan. Menghentikan pergerakan sosok paruh baya berkisar usia tiga puluh tahunan. Setengah kesal, sosok pria tersebut berhenti di depan televisi. Segera merebahkan tubuh di sofa juga melepas dasi yang mencekik lehernya. Tanpa beralih pandangan, pria tersebut memejamkan kedua matanya.
"Ayah, Asa habis pulang ngaji. Ayah sampun salat belum?" Si kecil berbaju koko menatap ayahnya yang bersandar di sofa. Meletakkan kitab suci di atas meja, lantas mendekat ke arah sang ayah. "Asa pijitin Ayah, ya?"
Bukan anggukan seperti yang Asa harapkan. Melainkan sebuah sorot tajam dari pria tersebut, membuat Asa menunduk. Menautkan kedua jemari di bawah perut, takut jika sang ayah emosi dan memarahinya.
"Kemarin Pak Ustaz di pengajian bilang gini, Ayah ... wakhfizd lahumaa janahadz-dzulli minar-rahmati wa qur rabbir-ham-humaa kamaa rabbayaanii shagiiraa. Dan, rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil."" Asa mengerjap polos saat tatapannya bertemu dengan manik milik sang ayah.
"Memang, tapi saya tidak pernah menganggap diri saya menjadi orang tuamu."
"Dicariin juga, malah anteng ndek kene. Ngopo, Sa? (Dicariin juga, malah diam di sini. Kenapa, Sa?)"
Sebuah pertanyaan berhasil membuat kesadaran Asa berserakan. Setengahnya berusaha kembali pada tempat. Lantas sisanya, Asa sendiri tak mengerti. Pemuda enam belas tahun tersebut mengerjap. Menatap sosok yang baru saja datang dengan menenteng almamater beserta air mineral di tangan. Sosok tinggi dengan paras rupawan.
Gelengan kecil Asa berikan, masih menyangga kepala di kursi yang tersedia. Entah sebab apa, bayangan kelam yang tak lagi berumur kembali datang. Di ruang OSIS hanya terdiri ia saja, maka dari itu, Asa sedikit bergidik ngeri. Buru-buru ia menggelengkan kepala serta menepuk dahi perlahan.
"Abis kesurupan apa gimana?" Sosok lain mengisi ruangan yang hampir sunyi. Tengah melepas sepatu hitam dan meletakkan rapi di rak yang tersedia.
Dua pemuda itu sama-sama sahabat Asa. Si tinggi dengan paras rupawan adalah Bintang Asunnah. Asa memanggilnya Sunnah. Walaupun seringkali sang teman tak terima, tetapi Asa abai akan hal itu. Sedangkan si tinggi bermuka datar itu, Saddam Nur Yahya. Sosok pemikir dewasa yang sering menjadi penengah di antara mereka. Mengingat umurnya juga paling tua di antara ketiganya.
Helaan napas panjang luntur dari bibir Asa. Kontras dengan nada lelah, padahal hari belum beranjak siang. "Emang kalian enggak bisa apa tanpa aku?"
"Gak ngunu, Sa. Awakmu, 'kan, wes diincer ket kae (Bukan begitu, Sa. Kamu, kan, udah diincar dari dulu)," jawab Asun setelah menegak sisa air mineral. "Mukamu kusut amat. Kenapa?"
Atensi si muda beralih. Tangan kanan digunakan untuk merapikan almamater yang sengaja tak teratur selama ia sendiri. Tanpa menjawab, Asa bangkit dari tempat duduk. "Kelas mana?"
"Sepuluh agama." Setelah jawaban Saddam Asa dengar. Pemuda itu bergegas mengenakan sepatu. Mengantongi pena ke dalam saku celana, segera enyah dari tempat tersebut, tetapi tak serta merta meninggalkan tempatnya, justru ia menyembulkan kepala ke dalam ruangan lagi. Pandangannya beradu dengan manik milik dua sahabatnya. "Ayo, Nah! Sepuluh agama itu kelompok dua. Bagianmu juga. Masa aku tok?"
"Gak usah manggil Nah-nah gitu. Jijik," sahut Asun tak terima. Pemuda itu turut mengambil sepatu lantas mendorong tubuh Asa untuk bergeser. Timbul dengkusan kasar seirama dengan tawa kecil yang turut mewarna.