"Kak Asa, kok, sendirian di sini? Enggak bareng sama Bang Asun sama Bang Saddam, Kak?"
Sosok gadis dengan ransel merah muda ikut duduk di bangku memanjang samping kiri Asa. Memberi senyum yang langsung Asa balas dengan anggukan kecil. Sedikit menggeser posisi, memberi tempat lebih luas sebab di belakang sang gadis ternyata terdapat beberapa siswa lain.
"Masih ambil motor sama lagi ngumpulin tugas ke guru. Kalian naik len? Satu daerah semua atau tetangga malah?" tanya Asa singkat. Tangan yang semula menyusup di saku celana beralih pada kaitan ransel di depan dada.
"Nggih (Iya), Kak. Kita tetangga. Puput sama Abu dari alumni MTs yang sama. Kalau Rani, tetangga gang dua," jawab gadis bernama Puput tersebut. "Aku suka sama Kak Asa."
Imbuhan kalimat dari Puput berhasil membuat pipi tirus milik Asa diyakini bersemu merah. Tanpa aba-aba, Asa tertawa. Mengabaikan degup jantung tak beraturan yang barusan timbul akibat ucapan si adik kelas. "Ada-ada aja. Ingat! Di MAN ada peraturan enggak boleh pacaran. Islam juga melarang. Dosa! Haram!"
Kernyitan di dahi si tertua mengkerut begitu mendengar tawa kecil dari beberapa siswa yang duduk bersama. Asa sendiri merasa malu, lantas bertanya melalui tampang polosnya. Mengisyaratkan kata 'kenapa' lewat pertemuan kedua alis yang hendak menyatu.
"Kak Asa lucu kalau lagi malu-malu. Maksudnya Puput itu, Puput suka gaya Kak Asa pas lagi tugas OSIM tadi. Berwibawa, solid, sama ramah ke semua orang." Pemuda di sebelah gadis tadi mengulum senyum. "Kak Asa kenapa dipanggil Asa? Kayak anak perempuan aja. Kenapa ndak Juna atau Anta aja. Keren, Kak."
Pertanyaan baru dari si empu di samping Puput berhasil menggelitik hati Asa. Entah mengapa desir angin sore yang berembus berhasil, membuat sensasi menggelikan di tubuh ringkihnya. Untuk sesaat Asa terdiam. Enggan mengeluarkan sepatah kata apa-apa. Tak sengaja netra miliknya menangkap Puput tengah menginjak kaki milik pemuda yang bertanya tadi, sebab ucapannya mungkin sedikit menyinggung perasaan.
Senyum tipis kembali terbit. Netra bening milik Asa menyipit saat menemukan sederet nama terpampang jelas. "Kamu juga. Namanya Dirgantara Al-Bukhori, kenapa dipanggil Abu? Sering gelut, ya? Terus kalah, makanya jadi abu."
Jawaban dari Asa mengundang gelak tawa para siswa yang sama-sama duduk di bangku halte. Taruna 16 tahun tersebut menggaruk tengkuknya tak gatal. Merasa seperti tuan komedian tengah menghibur para anak kecil di taman kanak-kanak. Padahal ihwal tersebut bukan sebuah lelucon.
"Namanya juga anak kecil, kalau ngomong suka pedhal. Dulu endak bisa ngomong 'L', Kak. Makanya jadi Abukhori. Keterusan, enak dipanggil Abu, tapi bukan Abu Jahal, loh, ya," jawab Abu mendetail. Pemuda itu turut tertawa di tempat sembari memegang perut. Namun, tak lama sebab Puput kembali menginjak kakinya untuk yang kedua. "Aku baru tahu kalau Kak Asa suka balikin pertanyaan orang. Kalau Kakak gimana?"
"Asa lebih suka dipanggil Asa dibanding panggilan Juna atau Anta. Karena Asa adalah harapan yang suatu saat nanti pasti akan menemukan bintang yang terang."
Tepuk tangan kecil hadir setelah Asa berkata demikian. "Keren. Jarang-jarang ada anak MAN sekeren Kak Asa," celetuk Puput. Gadis itu terlihat antusias walau hanya cerita kecil saja.
Selama kurang lebih lima menit, Asa habiskan untuk meneruskan perbincangannya dengan para adik kelas baru. Sebelum sebuah len berwarna merah datang.
"Puput, Rani, sama Abu pamit, Kak. Ngapunten ingkang katah (Mohon maaf yang sebesar-besarnya), endak bisa nemenin Kak Asa nunggu temannya," pamit Puput. Gadis itu menyusul langkah kedua temannya yang lebih dulu menuju len. Meninggalkan ia sendiri bersama sepi.
"Balek gak? Asik bener, Sa, ndekem dewe (Pulang gak? Asik bener, Sa, diam sendiri)."
Akan selalu ada yang datang, setelah orang pertama pergi. Akan selalu ada cerita baru, meski yang lama akan usang bersama butiran debu. Tertiup angin, tetapi tak pernah hilang dari ingatan. Tubuh yang telah lelah bersiap untuk pulang. Asa menuju motor matic Saddam dan mendudukkan di jok belakang. Mengabaikan gerutuan kasar dari Asun yang juga duduk di motor.
"Suwun, ya! Tanpa kalian, aku budal muleh mbuh-mbuhan. Lumayan, lah, sanguku. Utuh saitik (Tanpa kalian, aku berangkat pulang gak karuan. Lumayan, lah, uang sakuku utuh dikit)."