Lelah yang kentara dari wajah Asa sirna setelah melalui perjalanan panjang bersama kedua sahabatnya. Tidak perlu menunggu lama, Asa pun membuka pintu rumah. Sepi yang ia dapati membuat pemuda itu mengehela napas. Singkat peristiwa yang terjadi di sekolah tadi, membuat senyum Asa enggan luntur.
Ketika banyak orang menyudutkan dirinya dengan mengatakan bahwa yang dilakukannya sebuah kesalahan, maka mereka tidak. Hampir semua orang di madrasah tempatnya belajar tidak pernah ada yang berkata demikian. Berbeda dengan orang-orang di luar sana. Kata demi kata yang hanya Asa balas dengan senyuman, seakan menjadi momok kehancuran paling kelam. Maka dari itu kini kata-kata buruk mereka berperang dengan banyak sorakan hebat dari teman se-madrasah.
Dihempas tubuhnya di atas kasur, Asa memejamkan mata sebentar. Melepas almamater yang sedari pagi membuat anak itu gerah. Tidak lama kemudian tangannya melepas dasi yang mencekik leher, lalu menarik guling ke dalam pelukan.
"Mumpung pada belum pulang, tidur bentar enggak apa-apa kali, ya? Capek banget juga," gumam Asa lirih. Tak berapa lama kemudian, pejamnya sudah erat. Melupakan sejenak lelah yang mendera.
Di balik senyum yang Asa berikan kepada dunia, justru anak itu sedang memikul beban begitu besar. Tiada pernah orang tahu selain keluarganya sendiri apa yang terjadi. Bahkan kedua sahabatnya—Asun juga Saddam—tidak pernah tahu apa yang terjadi di kehidupan seorang Antara Klausa Rahardjuna. Bagaimana terjalnya jalan Asa ketika ia berlari justru orang-orang di sekitarnya memaksanya berhenti. Memaki dengan sepenuh hati sedangkan hatinya tidak berhenti menangis sendiri.
Belum ada sepuluh menit terpejam, pintu kamar Asa dibuka secara kasar. Membuat sang empu yang baru saja menyelami mimpi terlonjak kaget. Reflek tangan Asa mengelus dadanya, merasakan debaran jantung bertambah cepat.
"A-abang, udah pulang?" tanya Asa gugup.
"Hm. Laper, masak cepet!"
Brak!
Belum sempat menjawab, pintu kamar Asa kembali ditutup tak kalah kasar. Si empu pemilik kamar, kembali mengelus dada yang berdenyut nyeri. "Sabar, ya. Jangan nakal dulu. Asa masih punya banyak rencana dan akan ngalahin kamu," ucap Asa sembari meremat dadanya.
Alih-alih mengganti pakaian, pemuda itu langsung bangun dan merapikan kamarnya sebentar. Lantas berjalan menuju dapur dengan cepat. Tidak butuh waktu lama untuk berpikir keras. Bahan makanan yang berada dalam almari penyimpanan masih cukup untuk menyiapkan makan malam sekaligus.
Jika ditanya apakah keluarga Asa tidak menyewa asisten rumah tangga, jawabannya iya. Mereka menyewa seorang ART wanita yang akan berkerja untuk setengah hari. Karena separuhnya akan diberikan kepada Asa secara paksa.
Asisten rumah tangga yang bekerja aslinya tidak enak hati. Berulang kali Asa mengingatkan untuk tidak melebihi batasannya, sebab ART yang dipekerjakan mereka pun terlampau baik kepada Asa. Bahkan Asa sampai memanggilnya dengan sebutan 'Ibu' secara khusus untuk wanita yang berkerja itu.
Tidak lama juga Asa memasak, hanya butuh waktu kurang lebih empat puluh lima menit untuk membuat lauk pauk seperti tahu tempe goreng dan juga sayur bayam kesukaan sang kakak serta kedua orang tuanya. Selesai memasak, Asa membawa nampan berisi makanannya perlahan menuju ruang makan. Di sana sudah ada wanita paruh baya yang sedang menatap layar ponselnya lekat.
"Mama, udah pulang?" tanya Asa. Tangannya sibuk menata makanan di atas meja. Sedangkan Mama hanya berdehem singkat sebagai jawabannya. Mau tidak mau Asa menelan kembali bulat-bulat pertanyaan yang akan kembali ia lontarkan.
"Panggil Satria cepat! Sebentar lagi Mas Dharma juga pulang. Kamu cepat bersih-bersih sana! Saya tidak mau keadaan akan semakin kacau gara-gara anak pembawa sial seperti kamu," tukas Mama cepat.
Di tempatnya berdiri, Asa meremat apron yang ia gunakan untuk menutupi seragam putih abu-abu yang masih melekat. Air mata yang hendak turun begitu saja ia tahan lagi.
"Tunggu apa lagi? Cepat pergi dari sini!" Pekikan Mama membuat Asa sadar, lantas berjalan menuju dapur dengan cepat.
Tangan mungil Asa dengan cekatan membersihkan dapur. Mencuci peralatan memasaknya dan meletakkan kembali pada tempat semula. Apron yang masih melekat pun ia tanggalkan di tempatnya, lalu melipir ke kamar sang kakak.
Tok tok tok
"Abang, makanannya udah siap. Ditungguin Mama di bawah. Bentar lagi Ayah juga pulang," ucap Asa.
Pintu terbuka menampilkan wajah datar Satria—kakak keduanya, yang terlihat baru saja mandi. Kentara bahwa rambutnya setengah basah kemudian handuk yang masih disampirkan di bahu.
"Berisik."
Hendak menjawab, Satria sudah membungkam mulut Asa dengan sorotan tajam. Lalu pergi tanpa pamit. Raut wajah Asa berganti sendu. Matanya masih tertuju pada sang kakak yang pergi menjauh dari hadapannya.
"It's okay, Sa. Jangan galau kayak orang diputusin sama gebetan, deh. Mending mandi habis itu salat. Semangat aku!"