Katalis

Aisyah A
Chapter #3

Long Distance

"Mungkin beberapa jarak diciptakan Tuhan bukan untuk ditempuh, tapi untuk dibiarkan tetap menjauh."

***

- Marina POV -

Shiit!!!

Aku melepaskan earphoneku dengan kasar. Perasaan aku tadi mendengarkan Ted Talks Daily sebuah lagu motivasi dari Tom Rivett-Carnac, tapi tiba-tiba berubah menjadi podcast punya Rintik Sedu yang super galau.

Hujan deras di Jakarta benar-benar membuat aku bingung untuk melakukan apa pun selain belajar di ruang baca perpustakaan, mempersiapkan ujian semester yang sebentar lagi akan tiba. Aku kembali menempelkan earphone ke telingaku. A song by Bruno Mars, it will rain, sepertinya cocok untuk menemani siang hariku yang gelap ini. Ah, sepertinya aku harus menaikkan volumenya karena hujan benar-benar terdengar deras.

Cause there'll be no sunlight if I lose you, baby

There'll be no clear skies if I lose you, baby

Just like the clouds my eyes will do the same

If you walk away, everyday it will rain, rain, rain

Sambil menikmati alunan lagu tersebut, aku menoleh ke sebelah kiri, menatap seorang pemuda yang sedang berkutat dengan tumpukan buku bertuliskan 'Kimia' di sana. Ganteng, tinggi, pintar, jago main basket dan menyenangkan. Mungkin itu beberapa dari segelintir kelebihan yang dia miliki. Dan, satu lagi, kaya. Hmm, cewek mana coba yang nggak suka sama cowok seperti dia?

Ah, let me introduce myself, namaku adalah Marina Dwi Prasetya, cewek sederhana, biasa-biasa saja. Cantik, biasa saja, pintar, biasa saja, tinggi, apalagi. Ya, mungkin satu-satunya kelebihanku adalah adaptasi. Aku mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, teman-temanku bilang, I have positive vibe yang buat mereka nyaman berada di dekatku. Well, entahlah, apakah itu bisa dianggap kelebihan atau tidak.

"Jangan liatin mulu, mendingan bukunya di buka deh, itu iler lo udah jadi pulau Sumatera," ujarnya.

"Hah?" seruku.

Dia menarik salah satu earphone dari telingaku. "Belajar, Nana!" serunya.

"Belajar apaan?" tanyaku sembari nyengir.

Dia menghela napasnya dan menatap ke arahku. "Lo tahu kenapa lemak itu gampang banget numpuk di tubuh?" tanya Andrew tiba-tiba.

"Karena orangnya nggak pernah olahraga, terus makan makanan yang berlemak. Ya, kan?"

"Well, itu nggak salah, tapi lebih tepatnya, sumber energi utama manusia adalah karbohidrat, dilanjutkan protein, dan yang terakhir baru lemak. Nah, otak juga gitu, kalo nggak dipake-pake, ujung-ujungnya karatan, Nana."

Nana, itulah panggilannya untukku.

Aku melengos. "Nggak sinkron," ledekku.

"Lo aja Na yang nggak paham."

Aku mendengus, kemudian berpura-pura membuka modul Fisika yang sedari tadi aku jadikan bantal tidur. Entahlah, entah mau jadi apa nantinya aku di masa depan. Ya Allah, berikan aku hidayah-Mu.

"Kak Ina," bisik seseorang yang membuatku langsung menoleh ke sumber suara.

"Cindy, lo ngapain di sini? Bukannya anak kelas sepuluh harusnya masuk kelas, ya?" tanya Andrew melotot ke arah Cindy, gadis manis yang selalu mengikuti saudara kembar Andrew, yaitu Mike Andreas.

"Ih, orang Cindy mau ngajak Kak Ina buat hunting make up besok," ujarnya sembari menjulurkan lidahnya ke arah Andrew.

Aku menepuk kursi sampingku, membuat gadis itu tersenyum manis dan langsung memeluk lenganku.

"Kak, besok temenin aku beli make up, ya? Aku pengen beli eyes shadow baru, yang kemarin beli ternyata kurang pas sama bajunya."

"Kenapa nggak sama Airyn aja?" celetuk Andrew. Michella Airyn, adik bungsu si kembar Andreas dan Andrew yang masih duduk di bangku kelas Sembilan.

"Tante Miranda ngelarang Airyn jalan-jalan dulu, masa Kak Andrew sebagai kakaknya nggak tahu?"

Andrew hanya mencebik.

"Mau jam berapa? Pagi, gimana?" tanyaku pada Cindy.

"Yah, nggak bisa, Kak."

Aku menaikkan satu alisku. "Kenapa?"

"Kita ke gereja pagi kan Kak Andrew?" tanya Cindy, yang dijawab dengan anggukkan kecil dari Andrew.

Aku tersenyum tipis.

"Yaudah, sore aja kalo gitu," jawabku.

Cindy tersenyum cerah. "Oke, nanti aku kabarin Kak Ina ya kalo udah pulang," ucapnya sembari berdiri dari kursi dan melambaikan tangannya.

Aku mengangguk kemudian membalas lambaian tangannya. Sebuah perasaan gamang tiba-tiba menyelimutiku begitu pekat. Selalu saja. Semua ini terasa begitu abu-abu.

"Na, udah jam setengah satu, salat zuhur dulu gih sana!" ucap Andrew, aku menatapnya sesaat, kemudian mengangguk dan berjalan keluar ruang belajar sembari tersenyum entah karena apa.

***

Selesai mengambil wudu, seseorang menepuk bahuku pelan. Tiara, gadis berambut panjang itu tersenyum manis ke arahku.

"Gimana sama Andrew?" tanyanya, dia adalah sahabat terbaikku.

"Nggak gimana-gimana, Ra. Biasa aja." Aku dan Tiara berjalan masuk ke dalam musala bersama.

"Kalian udah pacaran?" tanyanya.

Aku tersenyum kecil. "Emang boleh?" tanyaku balik padanya.

Tiara memegang tanganku, kemudian tersenyum sendu.

"Kamu tahu kan, Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral hanya dipisahkan oleh jalan Wijaya Kusuma?"

Aku tak mengerti arah pembicaraan Tiara dan hanya mengangguk pelan.

"Bukannya aku membenarkan, tapi aku cuma mau bilang ke kamu kalo nggak ada yang salah dari mencintai seseorang, Na." Dia kembali mengakhiri kalimatnya dengan senyuman lalu memakai mukena dan bersiap untuk salat, meninggalkan aku yang masih mematung.

Benar Ra, jaraknya memang begitu dekat. Namun, bagi aku yang beribadah di Istiqlal dan Andrew yang beribadah di Katedral, jarak itu terasa begitu jauh. Sangat jauh. Tak hanya dipisahkan oleh jalan Wijaya Kusuma, tapi dipisahkan oleh Tuhan kami masing-masing.

Lihat selengkapnya