- Andrew POV -
Untuk seseorang yang sedang menungguku berdoa di luar sana.
Aku ingin mengenalkan betapa baiknya kamu kepada Tuhanku, betapa keajaiban begitu menghampiriku dengan adanya kamu. Kebahagiaan yang dianugerahkan Tuhan seolah berkali-kali lipat saat bersamamu.
Aku ingin memamerkan kepada Tuhan, bahwa di dunia ini keajaiban benar-benar ada. Dan, di hidupku, itu adalah kamu.
***
Kami berjalan ke arah parkiran motor tepat saat bel pulang khusus untuk anak kelas dua belas berbunyi. Pelajaran tambahan di sore hari menurutku tak akan pernah seefektif saat pagi hari. Apalagi buat orang-orang seperti Nana, mau jam berapa pun tidak akan pernah efektif, dijamin itu.
Aku mengambil helm dan menyerahkannya ke Nana, dia menerima dan memakai helm itu tanpa mengaitkan pengamannya.
Aku mendengus kemudian menarik tubuhnya mendekat, membuatnya menatapku bingung. Dengan gerakan cepat aku mengaitkan pengamannya hingga berbunyi 'klik'.
"Sayang nyawa, Na. Ingat, cuma punya satu," ujarku. Nana hanya menatapku datar.
"Hmm...," jawabnya.
"Lo harus sayang sama diri lo, kan lo juga punya stok rasa sayang yang banyak dari gue, nggak usah takut abis, ntar gue refill."
Nana mengembuskan napasnya. Aku hanya tersenyum tipis dan mengacak rambutnya. "Yuk, keburu hujan!" ujarku.
Nana naik ke atas motorku, aku menyodorkan jaket untuk dia pakai menutupi bagian pahanya. Dia tidak protes, karena memang biasanya seperti itu. Hm, dia menyebutnya menutup aurat. Entah apa maksudnya, yang aku pahami yaitu ada bagian tubuh yang tidak boleh diekspos kepada orang lain, untuk lebih detailnya tanya saja sama Nana.
"Gue pengen nyulik ko ke suatu tempat, Na," ujarku waktu aku mulai menjalankan motor.
"Hah? Apaan gue nggak denger?"
"Nyulik, lo!"
"Apa? Lo ngatain gue burik? Wah, bener-bener lo, ya!"
Shit!!!
Inilah yang aku tidak suka dari naik motor. Ngomong apa, dengarnya apa dan jawabnya apa. Semuanya berbeda, seperti aku dan Nana. Duh, baper kan jadinya.
"Gue bilang, gue mau nyulik lo, Na. Bukan bilang lo burik."
"Lo ngomong apaan barusan?" Kini aku sadar kalau Nana sudah dekatkan wajahnya di telingaku, bahkan aku bisa merasakan embusan napasnya.
"Gue mau nyulik lo, lo mau, kan?"
"Oh, nyulik, kirain lo ngatain gue burik," jawabnya dan berhasil membuat aku menahan tawa. Oh, God. Meski terkadang komunikasi di atas motor menyebalkan, tapi bisa juga menyenangkan seperti sekarang. Menyenangkan karena bersama Nana.