Katalis

Aisyah A
Chapter #5

Hide and Seek

- Marina POV -

Untuk seseorang yang masih kututupi jati dirinya dari keluargaku. Maaf. Maaf karena belum berani menerima kenyataan bahwa kita berbeda. Aku terlalu takut untuk diminta menjauh darimu. Karena aku tahu, aku tidak bisa, atau mungkin belum. Tapi, aku rasa tidak akan bisa. Karena setiap napas yang aku embuskan seolah mengingatkanku pada sosok dirimu.

Mike Andrew, terima kasih karena telah meminta izin kepada Tuhanmu untuk menyayangiku. Aku yakin, Tuhan tak akan marah hanya karena umat-Nya menyayangi manusia yang sedikit berbeda. Ah, mungkin sangat berbeda. Bukankah seperti itu? Bukankah perbedaan ada untuk saling melengkapi?

***

"Sampai," ujarnya saat menghentikan motornya di depan gerbang rumah minimalis tempat tinggalku. Aku masih enggan beranjak, masih ingin memeluknya, masih ingin menghirup aroma mint yang menguar dari tubuhnya. Aku takut setelah ini dia akan pergi dan tak akan kembali.

"Na....," lirihnya dan justru semakin membuatku mengeratkan pelukanku, dan itu membuatnya terkekeh seketika.

Dia mengelus punggung tanganku yang melingkar di pinggangnya. "Udah sampai, Na. Ntar lo dikira koala yang nempel sama emaknya, atau mau gue samain sama monyet?" ujarnya meledek. Aku melepaskan pelukanku dengan kesal, kemudian turun dari motor. Dia lalu melepaskan helm yang aku pakai, kemudian merapikan rambutku yang berantakan. Setelahnya, kedua jari telunjuknya menarik ujung bibirku ke atas.

"Senyum, Na, lo tetep cantik kalo cemberut, tapi bakalan jadi satu dibagi nol lebih cantik kalo senyum. Serius," ujarnya sungguh-sungguh, padahal kelihatan kalau dia lagi gombal. Ya, satu bagi nol jawabannya itu infinity, alias tak terhingga. Akhirnya aku tersenyum, sedikit terpaksa.

"Siapa, Ina?" Suara mama terdengar nyaring dari teras rumah, aku menengok sebentar ke arah mama. "Andrew, Ma."

"Sini, mampir dulu, Nak Andrew!"

Aku menatap Andrew yang baru saja melakukan gerakan, yang lagi-lagi membuat jantungku berdebar tak karuan.

Dia....

Dia menyembunyikan kalung salibnya ke dalam jaket, kemudian tersenyum ke arahku.

Aku kembali tertegun untuk beberapa saat, dia turun dari motornya dan menggandeng aku masuk ke dalam.

"Wah! Nak Andrew, lama nggak ke rumah," ujar mama dengan ramah, Andrew langsung menyalami mama dengan sopan.

"Biasa, Tante, udah mau UN jadi harus banyak belajar," jawab Andrew tenang.

"Wah, bagus! Jangan kayak Ina, harus Tante dorong-dorong baru dia mau belajar."

Andrew terkekeh, masih belum melepaskan tautan jari-jari kami. Mama melihat jari kami dan tersenyum.

"Mampir dulu yuk, Tante sudah siapin makan malam, loh!"

Andrew menggeleng. "Nggak deh, Tan. Makasih. Nanti Mami saya nyariin. Udah mau malam juga. Kapan-kapan deh saya mampir lagi."

Mama mengangguk kemudian tersenyum. "Yaudah kalo gitu, makasih banyak Nak Andrew sudah mau nganterin Ina."

"Sama-sama, Tante." Andrew kembali menyalami Mama, "Saya pamit ya, Tante?" Dia berbalik, namun langkahnya terhenti karena aku tarik.

"Tangan gue." Keluhku, dia menatap jemari kami yang masih bertautan, kemudian menyengir kuda.

"Kayaknya ada lem, jadinya susah lepas," ujarnya dengan cengiran yang memperlihatkan lesung pipinya yang manis. Iya, Andrew itu manisnya alami layaknya gula jagung anti diabetes.

"Yaudah, Mama masuk dulu deh," ujar mama sembari terkekeh geli melihat kelakuan kami.

Aku mengikuti langkah Andrew ke depan pagar, menatapnya entah dengan tatapan apa.

"Sorry....," ujarku lirih.

"For what?" tanyanya sembari membenarkan letak helmnya.

"To hide your...."

"No problem, Na!" potongnya.

Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa lagi.

"You know, berbeda di atas perbedaan itu menyakitkan, bukan?" ujarnya. Aku hanya terus menatap mata cokelatnya lamat-lamat. Entah apa yang ingin dia sampaikan. Andrew tak melanjutkan kalimatnya, kami hanya saling berpandang, sampai suara azan magrib dari masjid dekat rumahku berkumandang, menginterupsi tatapan kami.

"Yaudah, lo hati-hati di jalan, udah adem ini mah, lo kan suka kalo naik motor udaranya sejuk gini."

Andrew tersenyum menatap ke langit kemudian kembali menatapku. "Tapi gue nggak suka sejuk Na, gue sukanya lo."

Aku tahu ini adalah salah satu jurus gombal miliknya. Namun entah mengapa, cara dia menyampaikannya terlampau manis, lebih bersungguh-sungguh seolah setiap huruf yang baru saja dilontarkannya sudah dia pikirkan jauh sebelumnya.

"Gue boleh ngomong sebelum gue pulang?"

Aku terkekeh. "Dari tadi ngapain kalo bukan ngomong?"

"Berkicau kayak netizen."

Aku tertawa seketika, dia kembali menatapku dengan tatapan sungguh-sungguh, tatapan yang sama seperti saat dia keluar dari gereja tadi.

"Gue suka lihat senyum lo Na, itu adalah salah satu hal yang paling gue tunggu-tunggu tiap harinya. Gue pikir itu yang dinamakan candu. Tapi sekarang gue sadar, lo bukan candu, lo lebih dari itu." Dia mengusap pipiku beberapa saat, sebelum dia menyalakan mesin motornya.

"Gue balik, kalo kangen chat aja, nggak usah nunggu gue chat duluan."

"Hmm...."

"Oh iya, pas salat nanti, tolong tanyakan kepada Tuhanmu juga. Bolehkah aku menyayangi umat-Nya, meski aku bukan umat-Nya?" ujarnya diakhiri senyum tipis.

Aku mematung sejenak, kemudian mengangguk dan melambaikan tangan saat dia bersama motornya menjauh dari pandanganku. Inilah yang kurasakan setiap kami berjauhan, apakah besok masih ada Andrew yang sama lagi seperti sekarang? Ya, bisa dibilang aku takut kehilangannya. Sangat takut kehilangannya.

Lihat selengkapnya