- Marina POV -
Untukmu yang membuat metamorfosis kupu-kupu dalam perutku gagal. Memang saat ini, semuanya terasa sulit. Baik untukku, maupun untuk kamu.
Apakah aku boleh menerimamu? Apakah aku boleh berharap lebih dari batas yang tak seharusnya aku lewati ini? Apakah aku boleh mencobanya sekali saja? Meruntuhkan segala perbedaan ini, dan mencoba berjalan di sampingmu, tanpa harus merasakan ketakutan akan kehilanganmu suatu hari nanti.
Hari Jumat. Orang-orang menyebutnya dengan sebutan 'Jumuah Mubarok'. Apakah ini berkah yang aku dapatkan di Jumat pagiku?
Aku menatap sorot mata serius papa yang sedang mengunyah makanannya. Papa seorang perwira TNI Angkatan Udara, dia sangat jarang di rumah. Maka dari itu, makan bersamanya adalah sesuatu yang sangat jarang terjadi di hidupku. Ya, mungkin ini termasuk ke dalam magic hours yang tidak akan gampang terulang seumur hidupku; makan bersama papa dan mama. Meski tanpa obrolan lepas seperti saat aku bersama mama. Setidaknya, papa ada, dan nyata terlihat. Seperti sekarang.
Apakah aku senang?
Tentu.
Tapi, ada sesak yang entah sejak kapan mulai menyelimutiku.
"Pa?" panggilku setelah menyelesaikan sarapanku.
Papa dan mama mengalihkan perhatiannya ke arahku. "Kenapa Ina?" tanya papa dengan nada tegas.
Aku tersenyum. "Papa bisa ambil rapor Ina bulan depan?" Tanyaku pada papa, tidak ada ekspresi yang berarti tercipta di wajah papa. Aku pun tak bisa menebak arti dari tatapan datar papa.
"Nggak bisa, ya?" ujarku.
"Ina, biar Mama yang ambilin, kan biasanya juga Mama," ujar mama lembut, aku tersenyum ke arah mama.
"Ina lagi nggak pengen yang biasa, Ma. Ina lagi pengen yang luar biasa," jawabku yang membuat Mama tertegun seketika.
Aku kembali menatap papa, seseorang yang sangat aku hormati lebih dari siapa pun. "Kalo papa nggak bisa, Ina boleh minta yang lain?"
"Kamu mau minta apa?" tanya papa.
Aku menghela napasku pelan, mencoba untuk tetap tersenyum. "Ina boleh pinjam uang papa?" Pertanyaanku ini membuat papa dan mama bingung.
"Buat apa Ina?" Itu mama yang tanya, bukan papa, papa cuma diam.
"Boleh, Pa?" tanyaku sekali lagi.
"Memangnya untuk apa kamu sampai mau pinjam uang? Bukannya biaya sekolah dan keperluan kamu sudah tercukupi?" Itulah pertanyaan yang keluar dari mulut papa, sekali lagi aku tersenyum.