Katalis

Aisyah A
Chapter #8

Move

- Andrew POV -

Untuk gadis cantik yang terpantul dari kaca spion motorku. Semesta memang terkadang tidak menghadirkan hal indah di beberapa sudutnya. Tapi percayalah, akan ada suatu sudut yang membuat duniamu lebih bahagia. Tak peduli itu sudut siku-siku atau sudut lancip sekali pun, selama kamu bisa tersenyum bahagia, semuanya akan baik-baik saja.

"Sini bentar deh, Na!" ujarku saat menemukan sesuatu yang menarik tak jauh dari posisi kami.

Sebelum menaiki motorku, aku menarik Nana untuk berjalan ke sebuah air mancur tak jauh dari taman dekat minimarket. Kami berdiri tepat di salah satu sisinya.

"Kita ngapain di sini, Ndrew?" tanyanya bingung, kami sama-sama melihat air mancur itu di hadapan kami.

"Ada mitos yang berasal dari Roma," ujarku, membuat Nana menoleh ke arahku.

"Mitos apaan?" tanyanya.

Aku tersenyum. "Katanya, kalo kita melempar satu koin, kita akan kembali ke Roma. Dan itu tidak mungkin karena saat ini kita ada di Jakarta, ibu kota Indonesia." Aku menghela napasku sejenak. "Kalo kita melempar dua koin, katanya kita akan menemukan cinta, jika melempar tiga koin, maka kita akan menikah."

Nana mengerutkan dahi. "Bukannya itu cuma air mancur di Trevi, ya?"

Aku menggaruk tengkukku. "Ternyata kamu tahu."

Nana memutar bola matanya. "Terus, kamu ngapain ajak aku ke sini?" Dia berkacak pinggang menatapku dengan ekspresi garang.

"Jadi, selama ini kita selalu berdoa kepada Tuhan yang berbeda. Aku ingin sekali ini saja memanjatkan doa ataupun harapan sama kamu, meski itu hanya lewat mitos."

Nana menatapku lekat-lekat, terdiam untuk beberapa detik, kemudian tersenyum.

"Nggak ada jaminan bakalan dikabulkan sih, anggap aja kita percaya, kita tutup mata, abis itu kita minta dalam hati apa yang diinginkan. Gimana?" tanyaku.

"Oke," jawabnya.

Aku merogoh uang koin dari dalam tasku, begitu pun Nana.

"Yah, aku nggak punya uang koin," ujar Nana.

Aku kembali merogoh uang koin dari tasku. "Ini kamu abis ngamen di mana?" tanyanya saat melihat satu genggam uang koin seribuan yang aku sodorkan padanya.

Aku terkekeh. "Aku suka ngumpulin uang seribuan koin, Na. Mereka tuh lucu, kecil, bulet, imut-imut kayak kamu."

"Idih, sedih banget aku disamain sama uang koin seribuan," gerutunya.

"Terus, maunya berapa?" tanyaku saat melihatnya mengambil beberapa koin dalam genggamanku, kemudian aku kembali memasukkannya ke dalam tas.

"Seratus ribu gitu, uang yang bakalan tersimpan rapi tanpa lecek sedikit pun."

"Aku maunya kamu kayak seribuan koin, Na."

Dia mendongak ke arahku. "Kenapa?"

"Soalnya aku nggak mau kamu jadi rebutan orang, kalo ada seratus ribu di jalan pasti jadi rebutan orang-orang, beda halnya kalo cuma seribu."

"Lah? Aku nggak laku dong!" celetuknya.

"Laku kok, kan ada aku yang bakalan dengan hati-hati mengambil dan menyimpan uang seribu itu dengan baik."

Nana menggeleng, kemudian mulai melempar uang koin ke arah air mancur. Lalu, aku menyusulnya.

"Yuk, kita berdoa!"

Kami menutup mata masing-masing dan mulai memanjatkan doa. Meski aku tahu, tempat kami meminta itu berbeda.

'Ya Tuhanku, aku menginginkan perempuan di sampingku selalu bahagia, selalu tertawa dan ceria. Tuhan, kumohon beritahu dia untuk tetap di sisiku.'

Aku membuka mata, menoleh ke samping dan melihat Nana masih memejamkan mata dengan air mata yang membasahi pipinya. Aku kembali memejamkan mataku.

'Kalau bisa, berilah jalan untuk cinta kami Ya Tuhan.' Aku membuka mata kembali dan menatap Nana yang berada di sampingku. Matanya masih setia terpejam, entah doa panjang apa yang sedang dia panjatkan saat ini.

Saat dia membuka mata, dia menoleh ke arahku dan tersenyum.

"Kamu lempar berapa koin?" tanyanya sembari mengusap jejak-jejak air matanya.

"Dua," jawabku.

"Segera mendapatkan cinta? Terus aku apa, Ndrew? Kok kamu seolah ingin cari cinta yang lain, sih?" tanyanya, bibirnya mengerucut lucu.

"Bibir kamu nggak bisa balik lagi kalo kayak gitu," ujarku yang membuatnya melengkungkan bibir ke bawah, jadi makin lucu.

"Cinta dari orang tuamu dan cinta Tuhanmu kan belum aku dapatkan," ujarku, kemudian Nana mengalihkan perhatian ke arah lain. Sepertinya dia salah tingkah.

"Kalo kamu berapa?" tanyaku.

Dia tersenyum tertahan. "Lima," ujarnya sembari menunjukkan kelima jari di tangan kirinya. Aku mengangkat satu alisku. "Kok banyak banget?"

"Tiga untuk menikah dan dua untuk cinta," tuturnya penuh semangat.

"Kenapa kayak gitu?" tanyaku butuh penjelasan.

"Aku ingin menikah yang dilandasi oleh cinta, Ndrew. Kalo aku lempar dua, belum tentu yang bikin aku cinta itu bisa sampai menikah. Kalo cuma tiga, bisa saja aku nikah sama orang yang nggak aku cinta. Makanya aku lempar lima, biar bisa menikah dengan orang yang aku cinta," terangnya dengan senyuman lebar.

Rasanya aku ingin meminta kepada Tuhan untuk menghentikan waktu sebentar saja, untuk menikmati irama jantung yang luar biasa berdebar ini. Untuk menikmati senyuman Nana yang lebih indah dari pohon Natal.

"Ya udah, yuk! Udah mendung nih, keburu hujan." Untuk pertama kalinya Nana menggandeng tanganku terlebih dahulu. Dan saat ini, kami sudah duduk di atas motorku dan aku mulai melajukan motorku membelah jalanan ibu kota. Benar kata Nana, mendung. Sudahlah, walau Jakarta lagi mendung, sepertinya perasaanku dan Nana lagi cerah-cerahnya. Langit yang abu-abu berubah jadi biru terang di mata kami. Semoga tidak buta warna, cukup buta karena cinta saja.

Ck. Mendung, angin, gambaran wajah Nana di spion dan pelukan dari Nana adalah perpaduan romantis yang pernah ada. Sempurna.

Beberapa menit setelahnya, kami sampai di sebuah rumah yang cukup besar di daerah Kemang. Seorang penjaga membukakan pintu setelah melihat Nana.

Nana menarik tanganku. Aku tahu Nana memiliki seorang kakak laki-laki, tapi aku belum pernah bertemu dengan kakaknya. Hm, dan ini membuatku jadi sedikit gugup.

Seorang lelaki tampan membuka pintu dan tersenyum cerah ke arah Nana.

"Adek?" sapanya.

Nana memeluk lelaki itu dengan sangat erat. "Abang, kangen," lirih Nana. Aku ikut tersenyum mendengar ucapannya.

"Siapa, Yang?" Seorang wanita cantik ikut keluar, Nana pun beralih memeluk wanita tersebut dengan perutnya yang membuncit.

"Kak Yuni! Wah, ponakan Ina udah mau lahir, ya?" ujarnya dengan wajah semringah mengelus perut perempuan yang Nana panggil 'Kak Yuni' itu.

"Sama siapa dek ke sini?" tanya Kak Yuni.

"Oh iya, Kak, Bang, kenalin ini Andrew."

Lihat selengkapnya