- Andrew POV -
Untuk kekasihku yang manis seperti cookies.
Tidak semua hujan itu anugerah, karena bisa juga menjadi musibah. Tidak semua cerah itu anugerah, karena bisa juga menjadi masalah.
Begitu pun kita….
Tidak semua perbedaan membuat kita harus berpisah, karena pada kenyataannya, kita bersama karena kita berbeda. Berbeda jenis kelamin, misalnya.
***
Aku memasuki ruang OSIS, di sana sudah ada tiga orang yang telah duduk manis. Kami akan membahas acara Serah Terima Jabatan kepada pengurus OSIS yang baru. By the way, aku menjabat sebagai wakil ketua OSIS. Di ruangan ini kami akan menentukan rundown acara. Ada aku, Haikal sebagai ketua OSIS, Tiara sebagai sekretaris, dan Luna sebagai bendahara.
“Oke, jadi fix ini bakalan diadakan hari Jumat. Acaranya cuma bentar doang, kan? Bacain sumpah dan serah terima saja, kan?” tanya Haikal pada Tiara.
“Iya, soalnya kita udah mau ujian juga, pasti pada sibuk, jadi kita percepat saja acaranya.”
Aku mengangguk setuju. Akhirnya, sudah diputuskan. Tapi, ada rasa sedih. Kenapa? Karena jadinya tidak bisa pulang bersama Nana.
Rapat selesai. Aku melihat jam tanganku dan waktu istirahat sisa sepuluh menit lagi. Haikal dan Tiara sudah kembali ke kelas. Nana pasti sudah makan siang, jadi aku putuskan untuk di ruang OSIS sebentar. Aku membuka tupperware yang berisi cookies buatan mamanya Nana dan memakannya dengan lahap.
“Jadi, gosip kalo lo sama Marina pacaran itu bener?” tanya Luvia yang tiba-tiba duduk di sampingku dan mengambil cookies tanpa permisi. Aku menaikan satu alis. “Siapa yang nyebarin?” tanyaku. Well, aku dan Nana memang sudah lama dekat, tapi baru kali ini ada gosip kami pacaran. Ya, meskipun itu fakta, bukan gosip. Tapi, aneh saja.
“Lo berdua bolos bareng, kan? Satu sekolah udah tahu, nggak mungkin kalian sakit barengan. Biasanya aja lo yang nganterin surat izinnya Marina, kalo lo yang sakit Andreas pasti sudah ngasih surat izin.”
“Emangnya kenapa kalo bener?” Aku memandang Luvia malas sembari mengunyah cookies.
“Lo tahu kan kalian beda? Gue nggak ngerti apa yang ada dalam pikiran lo sebenernya.”
“Ya, jelas nggak ngertilah, pikiran kita kan beda. Gue punya otak, begitu pun lo, kecuali kalo otak lo nggak kepake, alias kosong,” jawabku santai. Luvia mendengus kemudian tangannya menarik kalung salib dari dalam bajuku dan membuatnya terlihat. Perlakuannya itu membuatku terkejut.
“Lo nggak ngerti juga?” tanyanya lagi. Aku hanya menggeleng. Dia menghela napasnya pelan. “Korintus 6:14-15 ‘Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab, persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau, bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya?’” Aku tertegun seketika saat Luvia membacakan salah satu ayat Alkitab.
“Di situ udah jelas tertulis, dan lo masih nentang juga? Oke, anggaplah kalian masih pacaran, tapi lo nggak mikir ke depannya mau gimana? Kalian akan sama-sama tersakiti, Ndrew.”
Aku tersenyum kecut ke arahnya. “Kolose 3:14 ‘Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempunakan.’ Lo bisa jelasin ini juga?” Luvia terdiam saat mendengar ayat yang baru saja aku lontarkan.
“Andrew, lo.…”
“Gue juga nggak mau masuk dalam situasi kayak gini, Lu.” Aku terdiam, mencoba mengatur emosiku. “Kalo lo berpikir kayak gini, gue juga tahu di agama dia juga sama, bahkan gue tahu kalo di agama dia nggak ada namanya pacaran. Nggak ada.” Aku menggeleng pelan.
“Gue tahu lo peduli sama gue dan Nana. Tapi, please.… Gue hanya mengikuti apa kata hati gue, jadi jangan terlalu memaksa gue untuk melihat sesuatu dari pandangan lo sebagai pengamat. Karena di sini, gue dan Nana yang jadi pemeran utamanya.” Aku menutup tupperware dan berjalan keluar ruang OSIS meninggalkan Luvia yang masih terdiam. Memperdebatkan sesuatu yang dia tidak pernah merasakannya.
Aku berjalan ke arah kelas. Baru selangkah memasuki kelas, mataku langsung tertuju pada Nana yang sedang sibuk dengan sketchbooknya. Wajahnya terlihat serius saat tangannya mulai mengulaskan pensil di atas kertas, namun senyum masih menghiasi bibirnya.
Aku berjalan dan duduk di sampingnya sembari menyodorkan cookies, membuatnya menengok ke arahku.
“Belum habis?”
Aku menggeleng. “Sengaja, aku makan dikit.”
Dia mengerutkan dahinya. “Kenapa?”
“Biar inget sama kamu, kecil, bulet, imut-imut," jawabku yang membuatnya melakukan rolling eyes.
“Kemarin disamain sama koin seribuan, sekarang cookies.”
“Tapi ini beda," ujarku cepat sebelum dia melanjutkan ucapannya.
“Beda apanya?”
“Manis. Yang ini manis, jadi inget senyum kamu," ujarku yang diakhiri dengan senyuman, membuatnya tersenyum seketika.
“Apaan, sih?” ujarnya sembari terkekeh geli.
“Bukannya kata Haikal tadi ada tugas matematika, ya? Kok kamu malah menggambar, sih?” tanyaku menatap apa yang sedang Nana gambar.
Dia menghela napasnya, kemudian menoleh ke arahku. “Iya, emang ada, tapi pas lihat soal matematika bawaannya tuh inget dosa.”
“Loh, kok?”
“Bikin istigfar terus saking susahnya," celetuknya. Aku pun tertawa terbahak-bahak, membuat beberapa orang di sekitar kami menoleh. Tanganku mencubit pipi Nana saking gemasnya. Oh God, tidak tingkahnya, tidak ucapannya, semuanya membuat gemas.
“Aku mau ke toko buku, anterin, ya?” pinta Nana.
“Yah, aku sibuk, Na," jawabku. Saat dia ingin menjawab, seorang guru memasuki kelas.
***
Bel pulang sekolah berbunyi. Anak-anak kelas langsung pada pulang. Aku beranjak dari kursiku, menghampiri Nana.
“Ayo!” ajakku menggandeng tangannya, namun Nana masih tak bergeming, membuatku berbalik menatapnya.
“Kok diem?” tanyaku menaikkan satu alisku.
“Emang kenapa?” Dia tanya balik.
“Katanya mau diantar ke toko buku.” Kini aku sudah sepenuhnya berbalik menghadapnya. Tangan kami masih bertautan.
“Tadi katanya sibuk.” Dia mendongak ke arahku, memanyunkan bibirnya.
“Iya, emang sibuk," jawabku santai. Dia semakin memanyunkan bibirnya. Aku tahu dia lagi menahan kesal, dia lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Tuh kan, yaudah kalo sibuk.”
Aku menarik dagunya untuk kembali menatapku. “Sibuk mikirin kamu.” Nana menahan senyum, membuat aku semakin gemas melihat tingkah malu-malunya.
“Lo berdua alay! Cocok!” celetuk Haikal yang ternyata dari tadi memperhatikan interaksi kami berdua. Dia mulai memetik gitarnya, Ketos kita ini adalah salah satu gengnya kak Andreas.
“Caci maki saja diriku, bila itu bisa membuatmu, kembali bersinar dan berpijar seperti.… Jusuf Kalla....”
“Dulu kala, Haikal!” ujar aku dan Nana kompak, membuat kami kembali saling pandang dan tertawa bersama.
Haikal meringis. “Hehe, bercanda.” Jawaban Haikal semakin membuat kami tertawa, kemudian berjalan menjauhi ketua OSIS yang mulai gila karena akan turun jabatan.
“Yah, hujan," ujar Nana saat kita baru saja keluar gerbang sekolah. Matanya menatap langit mendung, sedangkan tangannya terbuka, menikmati tetesan air hujan. Lagi-lagi, Nana berhasil menciptakan view terbaik yang pernah aku lihat.
“Hujan itu apa?” tanyaku.
“Hmm, hasil hidrology cycle, di mana air jatuh dari langit," jawabnya sembari menengok ke arahku.
“Hujan itu turun, bukan jatuh.” Dia masih memandangiku dengan mata cokelatnya yang indah. “Kalo jatuh itu hati aku ke hatimu.”
“Idih, bikin baper anak orang itu dosa tahu, Ndrew!” ujarnya sembari tersenyum.
“Kalo bikin baper kamu itu dosa, maka ini adalah dosa terindah yang pernah aku lakukan.” Aku mengeratkan pegangan tanganku di jemarinya.
Hujan memang selalu tahu waktu, bagaimana caranya membuat momen paling indah yang akan sulit untuk dilupakan. Namun, seperti hujan yang tak tahu rasanya menjadi payung saat musim kemarau. Orang-orang tak akan tahu, bagaimana membutuhkannya aku akan eksistensi seorang Marina Dwi Prasetya dalam kehidupanku.
***