Katalis

Aisyah A
Chapter #10

Jealous

- Marina POV -

Untuk seseorang yang katanya sedang cemburu. Kamu lucu. Wajah yang penuh senyum itu tiba-tiba berubah muram. Sikapmu ini semakin membuatku yakin bahwa aku begitu berarti untukmu. Maaf jika membuat hatimu terusik.

Hari ini aku belajar, jika cemburu adalah salah satu bentuk cinta, bukan? Kata Tiara, hanya karena dia cemburu padamu, bukan berarti dia tidak percaya. Dia hanya takut kehilangan. Dan, aku percaya itu.

Terima kasih….

Terima kasih karena sudah menempatkan aku pada posisi yang spesial di hidupmu.

***

“Na, aku ada serah terima jabatan, kamu kalo mau duluan nggak apa-apa," ujar Andrew yang sudah menggendong ranselnya, berdiri di samping tempat dudukku.

Aku menoleh ke luar jendela, dan hujan masih turun dengan deras. Aku kembali mendongak menatapnya. “Aku nungguin kamu aja, Ndrew. Masih hujan deras juga.”

Andrew melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. “Acaranya selesai sekitar jam lima, kamu nggak apa-apa nunggu satu jam?” tanyanya memastikan.

Aku mengangguk dan tersenyum. Dia mengacak rambutku lembut dan menaruh tasnya di kursi Tiara yang sudah kosong. "Yaudah, tunggu di sini.” Dia berjalan keluar kelas dengan langkah lebar. Sedangkan aku kembali menatap hujan deras di jendela. Dari sini, terlihat masih banyak anak-anak yang memilih untuk menunggu hujan reda di teras sekolah.

Tiba-tiba sesuatu yang hangat menempel di pipiku, membuatku langsung berbalik dan mendapati Andrew yang sedang berdiri dan tersenyum menatapku.

“Nih, minum. Sama ada chocopie kesukaan kamu.” Aku menerima cokelat hangat itu segera, menangkupnya, merambatkan suhu hangat di tanganku, kemudian menyeruputnya. Udara hari ini memang sedikit lebih dingin, soalnya hujannya awet sekali, seperti cintaku pada Andrew. Hehe.

“Makasih, Ndrew.”

Dia merogoh saku celananya, kemudian mencolokkan earphone ke ponselnya. “Nih, aku punya playlist lagu buat nemenin kamu nunggu aku. Nggak tahu kamu suka apa nggak, tapi menurutku ini enak banget didenger pas lagi hujan.” Andrew menggantungkan salah satu earphone di telinga kananku, dan aku tersenyum saat mendengar intronya.

“Yaudah, kamu kabarin orang rumah kalo telat pulang, sama kalo ada yang chat atau telpon ke HP aku, balas atau angkat aja nggak apa-apa. Aku ke ruang OSIS dulu, ya.” Aku hanya mengangguk, sementara Andrew berlalu keluar ruangan kelas. Aku meraih ponselku dan mengirimkan pesan singkat ke mama, takut mama khawatir.

Aku meletakkan ponselku dan kembali terfokus pada hujan dengan di temani sebuah lagu dari The Overtunes yang berjudul ‘Sayap Pelindung’.

Kapan pun mimpi terasa jauh

Oh, ingatlah sesuatu

Ku akan selalu

Jadi sayap pelindungmu

Saat duniamu mulai pudar

Dan kau merasa hilang

Ku akan selalu

Jadi sayap pelindungmu

Kalau dengar lagu ini jadi teringat sosok Andrew. Ya, bisa dibilang kalau Andrew itu adalah sayap pelindungku. Entahlah, hanya saja dia selalu mampu membuat semuanya menjadi lebih mudah untuk dilewati.

“Belum pulang lo?” Sebuah suara membuyarkan lamunanku tentang Andrew. Aku menoleh, mencari siapa pemilik suara itu. Dan, aku menemukan Fardan, ketua kelasku itu dengan santainya duduk di hadapanku tanpa permisi.

“Lo nanya hal yang nggak penting banget," gerutuku.

Dia terkekeh, kemudian mengambil sekeping chocopie milikku dan memasukannya ke dalam mulutnya.

“Lo sendiri ngapain masih di sini?” tanyaku balik.

Dia menunjuk ke arah luar dengan dagunya. “Hujannya deres banget kayak rindu, gue jadi nggak kuat kalo harus hujan-hujanan sampe rumah," ujarnya diakhiri dengan helaan napas panjang.

Aku tertawa kecil seketika. “Ciri-ciri orang gagal move on ya kayak gini. Lihat hujan dikit, galau. Lihat foto mantan, galau.” Aku menggeleng seketika dan menyesap cokelat hangatku.

“Makanya Marina, lo bantuin gue move on dari sobat seperbangkuan lo itu.” By the way, Fardan itu mantannya Tiara, teman sebangku sekaligus sahabatku. Mereka baru putus sekitar sebulan yang lalu, alasannya sangat klise, karena mau ujian. Pas Tiara cerita, aku tertawa terbahak-bahak. Sumpah, masih zaman yang seperti itu?”

Aku mengerutkan keningku. “Caranya?”

Dia menegakkan posisi duduknya. “Cowok lo punya adek, kan?” Aku mengangguk pelan. “Nah, ayo dong jadi matchmaker gue, gue denger adeknya Andrew itu galak, tapi pas gue lihat dia di instagramnya, cantik banget, sumpah. Jadi, ya nggak masalah.”

“Dasar cowok! Susah bener ngilangin beauty privilege, asal cantik kayaknya semua lancar gitu hidupnya.” Aku mengunyah chocopie malas, namun Fardan malah tertawa. “Jadi, lo nggak mau bantuin gue nih?” Aku menggeleng kuat-kuat. “Ngapain? Kalo lo mau adeknya, ya bilang aja ke kakaknya! Gampang, kan?” jawabku.

Lihat selengkapnya