Katalis

Aisyah A
Chapter #11

Yes, Dear

- Andrew POV -

Untuk seseorang pemilik suara lembut itu. Kamu pakai sihir apa sampai membuat aku seperti ini? Bahkan, hanya karena mendengar suaramu aku dengan mudahnya luluh. Atau, hanya karena senyummu membuatku merasa kembali baik-baik saja meski awalnya aku ingin meledak.

Aku harap kamu bukan penyihir, karena wajahmu lebih cocok menjadi bidadari. Ya, bidadari di hatiku.

***

Sepulang dari gereja, aku dan kak Andreas ke rumah Haikal yang letaknya tidak jauh dari gereja.

Di sinilah kami, terdampar di sebuah kamar bernuansa abu-abu dengan stik PS di tangan dan makanan ringan yang sudah disiapkan oleh mamanya Haikal yang jago membuat snack dan kue.

“Untung lo berdua ke sini nggak bawa gebetan.”

Aku yang sibuk dengan tumpukan komik milik Haikal hanya nyengir, sedangkan kak Andreas sedang serius memencet stik PS di tangannya.

“Kan lo yang ngelarang gue buat bawa Cindy tadi. Lagian Cindy harus jagain adek-adeknya, mamanya kan lagi hamil gede," ujar kak Andreas.

“Yaelah, syukur kalo gitu, masa gue di rumah sendiri jadi obat nyamuk kalian? Ogah gue!” gerutu Haikal, tangannya mengambil keripik kentang dan memasukannya ke dalam mulut, setelah itu mengunyah dengan suara yang kencang, membuatku ingin menjitaknya sekarang juga.

“Gue ngajak Fardan juga ke sini, biar bisa battle, dua versus dua.” Mendengar Haikal menyebutkan nama itu, membuatku langsung menengok ke arahnya.

“Ngapain ajak dia sih, Kal?” seruku, yang kini sudah mengambil posisi duduk yang tadinya rebahan.

Haikal menengok sekilas dan kembali fokus pada layar di depannya. “Emangnya kenapa? Rumahnya deket banget dari sini, sekalian biar rame," jawab Haikal santai.

Aku menutup komik digenggamanku dan beralih pada gitar milik Haikal yang ada di pojokan. Aku tidak jago seperti kak Andreas ataupun Haikal, setidaknya aku masih bisa sedikit memainkannya.

“Ndre, lo udah ngapain aja sama Cindy?” Pertanyaan random Haikal membuatku langsung menoleh ke arah mereka berdua.

“Lo sengaja kan nanya gituan biar gue mati?” keluh kak Andreas tanpa berpaling sedikit pun dari layar. Haikal tertawa kencang.

“Gue penasaran aja, lo sama dia kan udah deket dari lama. Lo penasaran nggak, Ndrew?” Aku terdiam. “Tuh, adek lo juga penasaran.”

“Belum gue jawab, Bambang!” seruku.

“Cepetan jawab! Kalo lo nggak jawab otak gue semakin mikir yang iya-iya," ujar Haikal.

“Shit!” umpat kak Andreas setelah melihat karakter gamenya mati tertembak. Dia menoleh ke arah Haikal dan mendengus. “Kalo gue jujur, takutnya lo ngiri," ujar kak Andreas yang membuat aku dan Haikal terkekeh seketika.

“Sialan lo! Udah, jawab! Pertanyaan ini juga berlaku buat lo," ujar Haikal menunjuk ke arahku.

“Gue?” Aku menunjuk diriku sendiri dan dijawab anggukan oleh Haikal.

“Cium tangan," jawab kak Andreas, aku meletakan gitar di tempat semula dan mulai tertarik untuk bergabung dengan Haikal, menatap kak Andreas serius.

“Terus?” seru Haikal. Kak Andreas mengerutkan dahinya seolah berpikir. “Kening," jawab kak Andreas kemudian.

“Next! Lanjut!” Haikal itu dibalik sikap sok wibawanya sebagai ketua OSIS, sebenarnya dia lebih bobrok dari kami.

“Nggak ada lagi.”

“Bullshit!” umpat Haikal.

“Cupu lo, Kak!” Ini aku yang angkat bicara.

“Serius, Guys," jawab kak Andreas dengan tampang pasrah.

Lihat selengkapnya