Katalis

Aisyah A
Chapter #12

Stay with Me

- Marina POV -

Dear Mike Andrew,

Setiap manusia itu memiliki isi otak yang berbeda-beda. Setelah masuk otak, lalu keluar lewat mulut.

Tapi terkadang, mereka lupa untuk urusan hati. Jadi, kata yang diungkapkan kadang bisa menyakiti hati.

Aku berharap, kedua tanganku ini bisa menutup telingamu dengan nada-nada sumbang tentang kita. Aku bahagia, selama kita saling membahagiakan, dan tak makan dari jerih payah mereka. Apakah kita harus mendengarkannya?

***

Di semua kelas, setiap siswa memiliki keahliannya masing-masing. Ada spesialis gambar, contohnya aku. Tukang tidur. Si pintar yang sering mengerjakan tugas, setelah itu dicontek satu kelas. Tuan putri yang didampingi para babu. Tukang gombal seperti Andrew. Eits, tapi kalau yang ini spesialis ke aku saja.

Ada juga tukang maling pulpen. Ada yang tukang kabur saat piket. Langganan nyontek. Yang main handphone terus sampai mata minus. Tukang gibah. Tukang bolos. Troublemaker. Dan, orang yang jarang ke sekolah sampai kadang aku lupa wajahnya yang seperti apa. Ya, kami adalah sekumpulan manusia yang tidak berpenghasilan.

“Na, aku ke tempat kak Andreas dulu, ya?" ujar Andrew setelah Fardan mengumumkan kalau sekarang jam kosong karena ada rapat dewan guru.

Aku mengalihkan pandangan dari sketchbook di hadapanku, dan memandang Andrew tajam. “Kamu nggak mau bolos lagi, kan?” tanyaku menyelidik.

Dia menggeleng. “Nggak, kok.”

“Nggak apa?”

Dia nyengir. “Nggak salah.”

Aku mengambil ponsel dari dalam tas dan mengetikkan sesuatu. Andrew mengintip dan langsung merebut ponselku dan memasukkannya ke dalam sakunya. Setelah itu dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan menyodorkannya kepadaku. Tiramisu, pasti ini buatan Tante Miranda.

Aku mendengus ke arahnya. “Apa ini?”

Dia menggaruk tengkuknya. “Kamu harus menerima kemurahan hati aku, Na. Jangan bilang apa-apa ke mami, ya? Please!” pintanya.

Aku menggeleng. “Aku nggak terima sogokan," ketusku sembari mendorong cake itu menjauh, padahal dalam hati ini sudah mau ngiler.

Dia menelungkupkan kepalanya di atas meja, menatapku. “Kalo kamu nolak kemurahan hati aku, apa gunanya hati untuk diciptakan?”

“Satu, detoksifikasi darah. Dua, membuang bilirubin. Tiga, menyimpan glikogen dan lain sebagainya.” Wah, hafalanku semalam ternyata berfaedah juga.

“Na.…”

Aku terkekeh melihat wajahnya yang ditekuk. “Kamu tuh udah gede, Ndrew. Udah bukan waktunya lagi buat bolos-bolos gitu, kamu harus bisa mandiri, mempertanggung jawabkan yang udah diamanahkan sama orang tua kamu.” Aku berhenti sejenak, lalu ikut menelungkupkan kepalaku di atas meja. “Ya, aku tahu, kamu bolos aja tetep pintar. Tapi aku nggak mau punya pacar yang berprofesi sebagai tukang bolos.”

Tiba-tiba Andrew tersenyum cerah setelah mendengar kata ‘pacar’ keluar dari mulutku. Dia kembali menyodorkan ponselku.

“Walaupun aku udah gede, aku belum bisa mandiri tahu.” Aku menaikkan satu alisku. “Buktinya aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Na," lanjutnya dengan sebuah senyuman manis. Sangat manis. Aku langsung menyembunyikan wajahku, tidak ingin Andrew melihat wajahku yang memerah.

“Yuk, Ndrew," ajak Haikal. Aku mendongak menatap keduanya. Andrew tersenyum ke arahku. “Aku nggak bolos kok, Na. Mau ada projek sama kak Andreas, sama Haikal juga, kan nggak mungkin mantan ketua OSIS bolos.”

“Kamu yang wakil ketua aja sering bolos," celetukku.

“Yang penting ketuanya nggak," jawabnya santai.

“Yaudah, aku pergi dulu, ya? Jangan kangen," ujarnya sembari mengacak rambutku.

“Lebay lo!” umpat Haikal yang aku jawab dengan kekehan. Kalau perginya dengan kak Andreas, aku patut curiga, tapi kalau dengan Haikal, setidaknya meskipun bobrok, dia masih tahu aturan.

Lihat selengkapnya