- Andrew POV -
Untukmu, yang selalu berhasil melengkapiku. If you smile takes all my stress away. Luar biasa, bukan? Hanya dengan sebuah lengkungan di bibirmu, kamu mampu membuat hidupku menjadi lebih indah. Dan, percayalah, kamu satu-satunya.
***
“Yes!” seruku saat berhasil membuat three-point di latihan basket sore ini. Aku sebenarnya sudah tidak aktif lagi di ekskul basket karena mau ujian. Tapi, sesekali aku juga butuh refreshing.
Tidak sengaja mataku menangkap sosok Nana yang berada di kursi tembok bersama beberapa penonton lainnya. Nana melambaikan tangannya dan tentu saja aku membalasnya dengan senyuman manis.
Jelang beberapa menit, akhirnya aku selesai latihan. Aku berlari kecil menghampiri Nana yang duduk sendirian. Saat aku duduk di sampingnya, tangan Nana terulur menyodorkan minuman. Aku menerimanya dengan sebuah senyuman.
“Makasih, Na.” Aku tertegun saat tangan Nana mengelap keringatku dengan handuk kecil berwarna biru. Hatiku menghangat seketika. Mataku tertuju pada bibir tipis Nana yang berkilauan.
Shit! Sadar, Ndrew! Sadar!
“Tumben, Na.”
Nana senyum. “Lagi pengen jadi pacar yang baik," jawabnya. “Pengen lihat kamu melakukan hal yang kamu suka, selama ini kan kamu terus yang merhatiin aku melakukan hal yang aku suka.”
Aku membuka botol minum, dan meminumnya hingga tersisa setengah.
“Sekali lagi, makasih, sayang!”
“Ssstt….” Nana menempelkan jari telunjuknya di bibirku. “Nanti fans kamu denger lagi, ntar aku digibahin lagi.”
Bibirku menyunggingkan senyum. “Sayang!” Aku malah sengaja mengencangkan suara, bukannya kesal Nana malah tertawa.
“Udah selesai mainnya?” tanyanya kemudian.
Aku mengangguk. “Udah, kamu mau ke mana hari ini? Mumpung besok tanggal merah.”
“Aku pengen nonton, makan bareng, main di timezone, nyari buku. Hmm.… Apa lagi, ya?” Nana kelihatannya sedang berpikir.
“Udah nggak sakit emang?” tanyaku.
Dia menggeleng cepat. “Nggak, oh ya, sama ke toko aksesoris.”
“Segitu dulu aja, Na," ujarku, karena aku yakin, gadis itu tak akan cukup energi untuk melakukan semuanya sekaligus. “Hmm, mami minta aku buat nanyain ke kamu, mau ikut ke dufan nggak besok?”
Nana mengangguk cepat, matanya berbinar. “Tapi ada tugas makalah kan, ya?” ujarnya ragu. “Ah, masih minggu depan," lanjutnya dengan nada ceria.
Aku tertawa, lalu mengelus rambut Nana. “Yaudah, aku mandi bentar, kamu mau ikut nggak?” godaku sembari menaik-naikkan alis.
Dia memutar bola matanya. “Nggak, makasih," tolaknya.
“Yaudah, tunggu bentar ya, sayang! Jangan ke mana-mana!”
“Iya.”
Aku bergegas menuju kamar mandi untuk sekadar membersihkan badan. Setidaknya, Nana tidak akan pingsan sewaktu aku memboncengnya.
***
Hari ini kami pulang malam. Aku menghabiskan waktuku bersama Nana. Tertawa bersama, main games dan dapat boneka teddy bear dari mesin pencapit, sebuah kemungkinan yang mungkin terjadi sekali seumur hidup, dan hal yang paling aku sukai adalah Nana terlihat sangat bahagia.
Sepanjang jalan tangan kami saling menggenggam. Entah mengapa setiap harinya aku merasa semakin mencintai gadis ini. Debaran jantung yang semakin tak bisa dikendalikan. Dan, entah kapan gadisku ini terlihat begitu manis, membuatku semakin takut kehilangannya.
“Sampai.”
Motorku berhenti di depan rumah Nana. Nana turun dari motorku dan berdiri di sampingku. Aku menatapnya untuk beberapa saat. Tiba-tiba tangannya mengelus daguku pelan.
“Cukuran, ih!" gerutunya, dan aku hanya terkekeh.
“Keren tahu! Entar jenggotnya bisa dikepang.”
“Ck, kalo nggak dicukur, ntar aku potong pake pisau daging, mau?” ancamnya. Aku tertawa seketika.
"Iya, sayang," jawabku dengan suara lembut.
Dia berdecak, kemudian berbalik, namun aku menahannya.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku membenarkan rambutnya yang berantakan akibat helm yang dia pakai. “Aku sayang kamu, Na.”
Nana tersenyum. “Aku juga sayang kamu.” Jawaban yang terdengar sangat tulus. “Aku masuk dulu. Kamu pulangnya hati-hati.”
“Iyalah, pastinya, kan besok masih mau ketemu kamu.”
“Yaudah, bye, Ndrew," ujarnya sembari membuka gerbang rumahnya.
***
Pagi harinya, aku menjemput Nana sekaligus meminta izin pada mamanya Nana untuk mengajaknya ke Dufan. Mami, Airyn, dan Cindy langsung menyambut kedatangan Nana dengan gembira. Ya, sebelumnya memang Nana sudah sering main ke sini, entah hanya sendiri atau bersama Cindy. Entahlah, aku bahagia melihat interaksi mereka.
Tapi, sialnya pagi ini ketika aku kembali setelah menjemput Nana, Rachel, dia datang. Dan, karena mami tidak enak, akhirnya dia pun diajak. Honestly, aku kesal, hariku yang indah bersama Nana dan keluargaku diganggu oleh kedatangan Rachel.
Nana dan Rachel saling kenal, tapi tidak dekat. Nana tahu jika Rachel adalah temanku sewaktu SMP. Dan sekarang, aku memperkenalkan Nana sebagai kekasihku di hadapan semua orang.
Aku menggenggam tangan Nana, membuatnya menoleh. “Kenapa?” tanyanya.
“Nggak apa-apa, mau pegang masa depan, biar nggak pergi-pergi," jawabku disertai senyuman.
Kak Andreas duduk di kursi kemudi bersama papi di sampingnya. Mami, Airyn, dan Cindy duduk di tengah. Sementara Nana duduk di belakang bersama aku dan Rachel. Serius, ini canggung banget.
“Kamu kenapa jarang ke rumah, Na?” tanya mami yang dibalas dengan senyuman hangat oleh Nana.
“Mau ujian Tante, jadi nggak sering keluar rumah.”
“Nah, kalo Rachel gimana? Rachel juga kelas dua belas, kan? Apa tidak sibuk? Kok sering main ke rumah?”
Rachel menjawabnya dengan kekehan pelan, sedangkan Nana menatapku penuh tanya. Aku menggenggam tangannya, berharap dia tidak berpikir aneh.
“Kan biar ke gereja bareng, Tante," jawab Rachel.
Aku merasakan genggaman tangan Nana mengerat. Aku tahu, Nana terusik karena ucapan Rachel, aku pun demikian. Rachel seolah mempertegas semuanya diantara kami.
“Sekalian makan masakan Tante, masakan Tante Miranda emang paling top!”
Mami tertawa. “Yaudah, kalo Tante lagi nggak di klinik, sering-sering main, Marina juga, ya. Biar bisa makan bareng Andrew."
Nana langsung mengangguk antusias. “Iya, Tante. Kabarin aja mau kapan, biar Ina sekalian minta tanda tangan Tante.” Mami terkekeh mendengar jaawaban Nana.
“Kak Rachel emang nggak punya cowok, kok nyamperin kak Andrew mulu yang jelas-jelas udah punya cewek?” tanya Airyn yang tatapannya masih lurus pada ponsel digenggamannya.
Aku menoleh ke luar jendela agar tak ada yang melihat senyum tipisku.
“Nggak, Ryn. Kakak nggak punya cowok, nggak bisa LDR," jawab Rachel mantap.
“Masa nggak bisa, Kak? Kak Richi sama pacarnya LDR Indonesia-Jerman, tapi awet-awet aja sampai sekarang. Kalo kata Airyn sih tergantung pribadinya," ujar Airyn tanpa rem saat menceritakan Richi, sepupu kami yang sedang mengambil S2 di Jerman. “Kalau menurut Kak Ina gimana?” tanya Airyn pada Nana.
Ah, sepertinya aku harus mentraktir Airyn shusi kesukaannya setelah ini.
“Kakak nggak pernah LDR sih, tapi kalo nanti Andrew mau lanjutin kuliah di luar, kakak nggak masalah kok," jawab Nana yakin.
“Aku yang masalah," ujarku. “Aku yang nggak bisa ninggalin kamu jauh-jauh, Na.”
“Ish, bucin!” celetuk Airyn. “Kak Ina nyaman aja gitu sama sifat bucin kak Andrew? Nggak pengen muntah git, Kak?”
“Bucinan Kak Andreas, ya kan, Cindy?” ujarku yng membuat Cindy melotot ke arahku.
“Nggak ya, kalo kata Kak Andre, bucin itu bukti cinta, bukan budak cinta, iya kan, Kak?” tanya Cindy pada kak Andreas yang justru membuat semuanya tertawa.
Suasana semakin ramai. Papi mulai memutar lagu dan menyanyikannya buat mami, katanya itu lagu kenangan mereka. Setelah itu aku minta Nana menyanyi lagu ‘Perfect’ dari Ed Sheeran. Dia menolak kalau nyanyi sendiri, akhirnya duet dengan aku.
Awalnya dia malu-malu, namun akhirnya suara merdu Nana keluar juga. Ah, yang perfect itu bukan hanya lagunya, tapi yang nyanyi juga.
"Baby, I’m dancing in the dark with you between my arms." Aku menatap Nana lekat-lekat. Genggaman tangan kami semakin mengerat.
"Barefoot on the grass, we’re linstening to our favourite song," sambung Nana dengan senyuman manjanya.
"When you said you looked a mess, I whispered underneath my breath."
"But you heard it, darling, you look perfect tonight." Kami menyanyikan liriknya bersama. Nana mengusap rambutku lembut.
She is funny. She is adorable. She is sweet. She is loving. She is awesome. She is perfect. I didn’t have to say a name, but she popped into your head, didn’t she?
***
- Marina POV -
Untukmu, orang terlucu selama hidupku. Aku harap, perasaan kita tidak akan pernah menjadi mawar yang layu, kering, kesepian dan gugur perlahan. Aku mencintaimu dan itu cukup membuatku mengusir segala kesepian yang terkadang merambat di hatiku. Kamu, aku dan perasaan kita yang saling terbalaskan adalah hal yang mengisi hatiku yang awalnya terasa kosong.
***
Aku baru saja melangkah keluar toilet cewek dan suara tidak asing itu masuk ke telingaku. Aku berjalan lirih ke arah sudut tak jauh dari tempatku berdiri dan menemukan Cindy, bersama Melinda, dan dua teman Melinda, Kiki dan Elma.
Awalnya aku tidak ingin mendengar pembicaraan mereka, tapi karena itu adalah Cindy, aku jadi penasaran.
“Cindy, kakak boleh minjem duit kamu lagi, kan? Uang bulanan kakak dipotong bulan ini," ujar Melinda.
Cindy hanya tersenyum. “Berapa, Kak?”
Astaga, Cindy.… Kamu itu terlalu polos.
“Satu juta ada?” tanya Melinda manis banget. Beda sekali kalau lagi gibahin aku.
Cindy membuka dompetnya dan memberikan uang itu kepada Melinda.
Melinda dan dua temannya itu tersenyum senang. “Wah, makasih ya Cindy, nanti aku nemenin kamu belanja lagi deh, sekalian kembaliin uang kamu," ujar Melinda.
“Sama-sama, Kak Melinda.”
Aku berjalan menjauh dari sana. Setelah masuk ke kelas, aku mengambil ponselku dan menuliskan beberapa pesan kepada Cindy.
Me: Cindy, pulang sekolah nunggu Andreas, kan?
Tidak lama Melinda and the gengs masuk kelas sambil tertawa senang. Iya, senang karena dapat jackpot. Aku yakin ini bukan pertama kalinya, dan aku juga yakin seyakin-yakinnya kalau mereka itu tidak pernah mengembalikan uang itu.
Cindy: Iya Kak, katanya mereka mau latihan bentar, tapi Cindy nggak boleh ikut masuk ke ruang musik.
Aku tersenyum.
Me: Yaudah, bareng kakak aja, kakak juga nunggu Andrew kok, kita ke kafe depan aja sambil ngopi.
Cindy: Oke, Kak Ina sayang.
Tiba-tiba sesuatu yang dingin menempel di pipiku, membuat aku menoleh dan melihat Andrew sudah nyengir ke arahku.
“Serius banget, sih.” Dia menyodorkan susu kotak dingin itu ke hadapanku.
Aku langsung menaruh ponselku di dalam tas. “Kenapa emangnya? Kamu mau minta diseriusin?”
Andrew tertawa sambil mengacak rambutku. “Tiara gue numpang duduk, ya?” serunya pada Tiara yang lagi sibuk di pojokan bersama bukunya.
“Iya, Ndrew, silakan.” Andrew akhirnya duduk di sampingku.
“Semalem aku mimpi.”
“Mimpi buruk sekali.” Ini aku yang menimpali pakai lirik lagu dangdut, tapi tidak tahu judulnya apa.
Lagi-lagi, Andrew tertawa. “Kamu tuh lucu banget sih, Na. Gimana aku nggak kangen terus coba.”
“Apaan, sih? Emangnya kamu mimpi apa?”
“Mimpi diputusin sama kamu.” Aku tertegun sejenak. Setelah itu berganti aku yang mengacak rambutnya.
“Terus?”
“Terus aku bangun, buka HP lihat chat terakhir kamu yang bilang ‘I love you, too’ baru aku sadar kalo itu cuma mimpi.”
Aku tertawa kecil. Ada-ada saja Andrew ini.
“Ndrew, kamu pernah marahan sama Andreas nggak? Kayaknya kalian adem ayem aja gitu.”
Andrew terlihat mengingat-ingat sesuatu. “Pernah waktu SMP.”
Aku menaikkan satu alisku. “Gara-gara apa?”
Dia tertawa tertahan. “Cewek yang kak Andreas suka, sukanya sama aku.”
Aku berdecak. “Ck, sombong! Siapa cewek itu? Cantik, nggak? Aku kenal nggak?”
“Hmm, cantiklah.…” Aku langsung memasang wajah cemberut. “Kan cewek, jadi cantik," lanjutnya membuatku gemas dan mencubit pipinya.
“Aduh, lepasin dong, sayang," pintanya. Setelah itu dia mengusap pipinya yang merah. “Hmm, kenal nggak, ya?”
“Cantikkan mana sama aku?” tanyaku.
Dia menatap tepat di mataku. “Harus aku jawab, nih?”
Aku mendengus ke arahnya. “Nggak harus kamu jawab kok, terserah!”
“Cemburu?”
“Nggaklah, ngapain aku cemburu, emangnya aku anak kecil?” jawabku ketus.
“Really?” Andrew menusuk-nusuk pipiku pakai jari telunjuknya.
“Apaan, sih?” Aku menyingkirkan jarinya.
“Beneran nggak cemburu, nih?”
Aku cemberut. “Kok kamu mancing-mancing, sih?"
“Kan aku cuma tanya.”
Aku mendengus dan memalingkan wajahku menghadap ke arah lain.
Dia terkikik di sampingku. “Ngambek?”
“Iya. Puas?"
Dia menangkup wajahku untuk menengok ke arahnya. "Cantikkan kamu kok, sayang.”
Andrew, kamu harus tanggung jawab karena sudah membuat aku susah bernapas.
***
Pulang sekolah aku sudah menunggu Cindy di kafe depan sekolah, dan aku sudah pesan makanan buat aku dan Cindy.
“DORR!”
Aku tersentak kaget, terus menatap Cindy kesal. Tapi, bocah itu hanya cengengesan.
“Asem bener mukanya, Kak.” Dia tertawa kecil sambil mengeluarkan ponselnya.
Aku terdiam sejenak. Memikirkan bagaimana caranya menyampaikannya ke Cindy. Kalau dikasari, takutnya dia sakit hati, tapi kalau terlalu lembut, yang ada dia melakukannya lagi. Ah, jadi serba salah.
“Hmm.... Cindy, minjem duit boleh?” ujarku memulai, dia yang lagi minum banana milkshake-nya menatap ke arahku.
“Of course, mau berapa, Sista?” jawabnya langsung tanpa beban. Dia langsung mengambil dompetnya di dalam tas dan hal itu membuatku ingin menjitaknya sekarang juga. Bagaimana tidak dimanfaatkan coba?
“Satu juta," jawabku dengan nada datar.
“Yah, di dompet adanya cuma tujuh ratus kak, lima ratus dulu ya, nanti sisanya Cindy transfer.”
Aku mengambil buku menu dan memukul kepala Cindy pelan.
“Aduh! Kakak kenapa sih mukul kepala aku?” ringisnya sembari memegang kepalanya.
Aku menghela napasku. Sumpah, sudah sangat emosi, ditambah lagi PMS, luar biasa, rasanya mau meledak sekarang juga.
“Cindy, kamu terkenal pinter, aku yakin kamu masuk sekolah juga nggak nyogok, tapi kok otaknya nggak dipake?” Ini mungkin kata terkasar yang pertama kali aku ucapkan pada Cindy.