Katalis

Aisyah A
Chapter #17

Journey

- Andrew POV -

“Kak Andrew, kamu jadinya mau masuk mana?” tanya mami yang sedang sibuk menyendokkan nasi ke piring papi.

Aku menghela napasku sejenak, kemudian menyendokkan capcai kesukaan kak Andreas ke atas piringku. Kak Andreas terlihat bingung. Ya, ini pertama kalinya dalam hidupku memakan capcai, karena menurutku rasanya campur-campur seperti gado-gado. Jadi, tidak bisa dinikmati satu per satu sayurannya.

“Andrew masih bingung nih," jawabku.

“Kalo Andreas mau ambil di mana jadinya?” tanya papi pada kak Andreas.

“Andreas pengen ambil bisnis dan manajemen di NUS," jawab kak Andreas mantap.

Aku menoleh ke arah kak Andreas. “National University of Singapore?” tanyaku yang membuatnya mengangguk mantap.

“Nggak mau ambil di Stanford atau Cambridge gitu, kak? Kan di sana lebih bagus," ujar mami.

Kak Andreas hanya menggeleng, setelah itu tersenyum. Tidak mengerti kenapa dia senyum-senyum seperti itu.

“Kak Andreas nggak mau jauh-jauh sama kak Cindy, mami. Ayolah, masa mami sama papi nggak paham sih?" celetuk Airyn yang membuatku terkekeh kemudian aku dan Airyn bertos ria, sedangkan kak Andreas melotot ke arahku dan Airyn sehingga matanya sudah seperti mau keluar dari kelopaknya. Adikku yang satu ini memang paling paham situasi, paling peka, dan paling menyebalkan juga.

“Emang kamu beneran suka sama Cindy, Ndre?” Papi bertanya santai, tapi sukses membuat kak Andreas tersedak makanannya dan langsung dikasih minum sama mami.

Aku dan Airyn hanya terkikik geli melihat wajah kak Andreas yang merah padam.

“Kalo kamu beneran suka dalam artian kamu nggak mau nyari yang lain lagi, mami nanti bilang ke tante Felly," ujar mami sambil tersenyum.

“Mami.…” Ini suara papi yang memandang mami dengan tatapan sanksi.

“I know, remaja seumuran mereka emang masih labil. But, for sure, kalo mereka beneran saling suka kenapa nggak, kan? Lumayan dapet besan kayak Felly, bisa diajakin shopping bareng," ujar mami semangat.

“Emangnya perlu besanan dulu buat shopping bareng? Biasanya kan kalian pergi shopping berdua, sampe lupa sama anak dan suami," gerutu papi yang membuat kami bertiga terkekeh seketika.

“Sorry….,” ujar mami sembari mengusap bahu papi.

Well, kalau nanti aku sudah berkeluarga, aku ingin seperti papi dan mami. Mereka lucu, kadang saling sindir tapi akhirnya baikan lagi. Tapi, setiap tatapan mereka satu sama lain, memperlihatkan cinta yang begitu tulus. Dan, aku telah menyadari satu hal. Ketika kita menemukan seseorang, seolah kita menemukan diri kita sendiri, membuat kita nyaman, dan akhirnya membuat kita tanpa ragu memperlihatkan siapa kita sebenarnya.

Aku sudah kembali ke kamarku, perutku begitu kenyang. Ya, bagaimana tidak kenyang? Tadi aku makan bersama Nana, dan di rumah makan lagi.

Aku duduk di meja belajarku, dan menatap fotoku bersama Nana yang sedang tertawa di salah satu pigura kayu.

Nana cantik, manis, itulah kesan pertama saat aku melihatnya. Dia suka senyum, ramah. Meskipun begitu, ada kekosongan yang aku lihat darinya. Dan, entah sejak kapan, aku seolah ditarik untuk mengisi kekosongan itu.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu berhasil mengalihkan perhatianku. Aku kembali meletakkan pigura tersebut di salah satu sudut meja.

“Masuk!”

Mami masuk kamar dengan sebuah nampan di tangannya. Dia berjalan dan meletakkan beberapa buah potong dan cookies di atas meja belajar. Tangannya terulur mengusap rambutku. “Bulan ini udah mulai try out kan, kak?” tanya mami yang kujawab dengan anggukan kecil.

“Mami mau ngobrol bentar sama kak Andrew boleh?” tanya mami lembut.

“Boleh dong, Mi, kayak sama siapa aja Mami pake nanya gituan.” Mami terkekeh. Aku beranjak dari kursiku, membiarkan mami duduk di sana, dan aku mengambil kursi lain di pojokan ruangan.

“Kenapa, Mi?” tanyaku memulai percakapan.

“Umur kak Andrew sekarang berapa?” tanya mami tiba-tiba.

“Mau tujuh belas. Emangnya kenapa, Mi? Jangan bilang kalo Mami lupa umur anak Mami sendiri? Sedih aku jadinya," ujarku yang dibuat-buat, mami malah tertawa.

“Kak Andrew ingin jadi apa?”

Aku tersenyum tipis. “Seperti yang pernah Andrew bilang sebelumnya, Andrew ingin jadi ilmuwan, Mi. Ingin bisa seperti mamanya Cindy, nemuin vaksin, obat, menyelesaikan masalah lingkungan, atau mungkin semacam inovasi untuk kepentingan manusia," ujarku mantap.

“Lalu kenapa kak Andrew masih bingung di saat mimpi kak Andrew sudah terlihat jelas?”

Aku diam tidak langsung menjawab.

“Kayak kakak kamu? Nggak bisa jauh dari Cindy?” tanya mami to the point, dan tebakan mami sangat tepat.

“Kan di Indonesia juga banyak Universitas, kenapa kakak nggak jawab aja tadi salah satu Unversitas yang ada di Indonesia, seolah-olah kalau kakak juga ragu untuk tetap berada di sini?”

Mungkin ini yang dinamakan chemistry seorang ibu, mami bahkan tahu perasaan raguku tanpa harus kuberi tahu.

“Andrew masih bingung.” Aku menghela napasku sejenak.

“Bingung karena kak Andrew pengen kuliah di luar tapi nggak mau ninggalin Nana?” tanya mami.

Aku menggeleng pelan.

“Lantas?”

“Bingung, Andrew nggak masalah mau kuliah di mana aja, tapi masalahnya, keadaan akan lebih rumit saat nanti Andrew sama Nana satu Universitas, dan saat itu kita udah nggak bareng lagi.”

“Kenapa berpikiran begitu? Kak Andrew berniat mutusin Nana? Kak Andrew selingkuh? Atau, Nana selingkuh?” Rentetan pertanyaan mami justru membuatku terkekeh.

Lihat selengkapnya