- Marina POV -
Sudah satu bulan ini papa sering ada di rumah. Seharusnya aku bahagia. Seharusnya aku senang. Tapi, yang terjadi adalah sebaliknya.
Tiap papa di rumah, dia dan mama meributkan akan masalah yang sama, entah karena kak Mizwan atau karena aku. Ya, pada akhirnya aku menjadi salah satu alasan perkelahian mereka.
Haruskah aku senang? Paling tidak, aku ada di salah satu sudut otak mereka. Maksudku, setidaknya aku dianggap keberadaannya. Bukankah itu suatu kemajuan?
“Berhenti kamu, Marina!” seru papa saat aku mulai menaiki tangga, aku menghentikan langkahku dan berbalik menatapnya.
“Sudah berapa kali papa bilang, jauhi anak itu! Kamu masih mau melawan papa? Masih berminat jadi kumpulan orang bodoh yang putus sekolah? Yang nggak tahu agama?”
Entah sejak kapan, semuanya berubah. Orang-orang yang paling ingin aku perjuangkan, berubah menjadi orang yang paling membuatku tertekan. Kenapa hal semenyakitkan ini selalu datang setelah aku mendapatkan kebahagiaan?
Terkadang, aku merasa semesta memang tidak suka kalau aku bahagia. Jadi, kenapa semua ini terjadi pada hidupku? Bahkan, tanpa ditanya, mungkin memang jalannya seperti ini.
Aku menatapnya kosong, tak tahu harus berekspresi seperti apa. “Maaf, Ina emang bodoh, Pa! Ina mengakui kalo Ina emang bodoh!” lirihku.
“Kamu jangan bikin papa tambah malu, Marina! Cukup kakakmu saja yang sudah bikin papa malu di hadapan semua orang, papa kayak gini karena papa nggak mau itu terjadi!”
“Papa malu punya anak kayak Ina?” tanyaku bergetar, antara takut dan kecewa. “Papa malu karena udah membuat Ina ada di dunia ini?” Tanganku mengepal seketika.
“Maksud kamu apa malah bertanya kayak gitu sama saya?" Suara papa naik satu oktaf.
Aku tersenyum kecut, menahan air mata yang hampir saja terjatuh, air mata yang tidak pernah kering karena aku menumpahkannya tiap hari akhir-akhir ini.
“Ina nggak pernah malu punya papa yang nggak pernah ada waktu untuk keluarganya, Ina nggak pernah malu punya kak Mizwan meski kini dia berbeda dari Ina, Ina nggak pernah malu karena lahir dari rahim ibu yang sudah bersusah payah membesarkan dua anak yang cuma bisa bikin papa malu. Ina nggak pernah malu! Sekali pun nggak!” Aku mengeratkan genggaman tanganku pada ujung hoodie yang aku pakai.
“MARINA!!!"
“Ina selalu percaya sama papa, papa orang yang baik," potongku cepat. Aku tahu, ini tidak baik dengan memotong perkataan papa, tapi rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya, meski dadaku terasa sesak, namun akan semakin menyesakkan ketika aku menahannya.
“DIMANA SOPAN SANTUNMU?!!"
Tolong! Bisakah seseorang menolongku sekarang? Apa salah jika aku sakit hati karena perkataan orang tuaku sendiri?
Aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan di dunia ini. Sungguh, ini tidak semudah yang kalian bayangkan. Maaf, hanya satu kata itu dan semuanya selesai. Tapi, mengucapkannya tidak semudah bernapas.
“Maaf. Ina mau belajar dulu, besok ada ujian. Maaf karena Ina bikin ribut malem-malem gini. Selamat malam, pa, ma," ujarku. Suara seruan papa masih terdengar, namun rasanya aku sudah ingin menutup telingaku rapat-rapat. Aku lelah dengan segala perasaan sakit dari setiap kata yang keluar dari mulut papa.
Aku menutup pintu dan membuang ranselku ke sembarang arah. Aku meremas rambutku, meringkuk di samping ranjang sembari terus mendengar teriakan yang semakin membuat otakku ingin pecah.
“Diam!” lirihku sembari menutup telingaku rapat-rapat, namun suara itu semakin terdengar keras, entah dari telingaku, atau otakku yang mungkin mulai lelah.
“Ma. Pa. Maaf. Maaf. Ina benci perasaan sesak ini. Benci banget."
Lagi dan lagi.
Jika terus seperti ini, aku pun berakhir dalam kegelapan. Katanya, kalau kita berdoa pada Tuhan akan dikabulkan. Katanya, kalau kita berdoa dengan sungguh-sungguh akan dikabulkan.
Tapi….
Kenapa semuanya jadi lebih rumit?
Terkadang, dunia memang tidak adil. Atau, menghilang dari dunia memang satu-satunya cara untuk bertahan? Tidak! Aku masih memiliki Tuhan. Tuhan tidak tidur. Tuhan pasti mendengarkan permintaanku, bukan?
Tiba-tiba, sebuah kata terlintas dalam otakku.
Melepaskan.
Apakah dengan melepaskan, semuanya akan kembali?
Semuanya benar-benar membuat otakku sakit. Hingga akhirnya, aku memejamkan mata, dan memilih untuk terlelap di dalam mimpiku.
Aku terbangun karena sebuah dering ponsel terdengar dan memenuhi kamarku yang dingin. Tanganku mencari-cari di mana benda kecil itu dan setelah aku menemukannya aku pun mematikan suara dering tersebut.
“Kak Ina!” Suara ceria itu berhasil membuatku membuka mata dan melihat nama siapa yang saat ini tersambung denganku.
“Kenapa Cindy?” tanyaku masih dengan suara serakku.
“Kak, hari ini ujian terakhir, kan?”
“Hmm.…” Aku hanya bergumam.
“Bagus! Pulangnya mampir ke tempat Cindy sama kak Andrew, ya? Cindy udah punya adek baru," ujarnya dengan ceria, dan keceriaan itu tertular padaku, aku ikut tersenyum tipis mendengarnya.
“Cowok atau cewek?” tanyaku.
“Cowok dong.” Dia tertawa di seberang sana. “Cindy bakalan jadi satu-satunya princess di keluarga Cindy. Calvin, Christ, dan Callum cowok semua," ujar Cindy bangga.
“Well, selamat, ya! Jangan ajak adek-adek kamu mainan make up, ntar jadi salah jalur," ujarku yang membuat dia tertawa.
“Nggak dong. Adek-adek Cindy itu mainannya kayak kak Andreas.” Tiba-tiba dia berteriak tidak jelas. “Aaaaa, jadi kangen kak Andreas, padahal baru libur tiga hari udah kangen banget.”