Katalis

Aisyah A
Chapter #19

Too Hard to Say Goodbye

- Andrew POV -

“Callum lucu banget sih," ujar Nana sembari mengelus pipi bayi mungil bernama Callum yang sedang terlelap dalam box bayi.

“Lucuan mana kak, Callum sama aku?” tanya Calvin sembari mengedipkan matanya ke arah Ina.

Ctak!

Aku menyentil dahi Calvin kencang. Ini anak, baru saja masuk SMP gayanya sudah seperti playboy cap lele. Menjengkelkan.

Nana hanya terkekeh geli melihat tingkah kami berdua.

“Kok kak Ina mau sih sama cowok galak kayak kak Andrew? Mendingan sama aku aja," ujarnya dengan tingkah over confident-nya.

“Kak Andrew kalo sama kak Ina baik kok," jawab Nana yang langsung aku hadiahi senyuman termanisku.

“Kamu ya, Ndrew, nggak sama Cindy nggak sama Calvin, kerjaannya berantem mulu. Heran tante tuh sama kalian, nggak bosen apa?” ujar tante Felly yang kini sudah duduk di salah satu sofa sembari membawa beberapa gelas jus dan camilan.

“Makasih banyak ya Ina udah mau datang jengukin adeknya Cindy," ujar tante Felly pada Nana.

Ina tersenyum lebar. “Ina yang makasih tante, Ina kan suka banget sama anak kecil soalnya," ujarnya semangat.

“Gampang, Na, ntar bisa bikin sendiri," celetukku.

Ctak!

Kali ini tante Felly yang menjitak kepalaku kencang. “Bikin-bikin, emangnya kue tinggal diadonin abis itu di oven jadi," ujar tante Felly yang membuat Nana dan lainnya tertawa.

Tante Felly itu sudah seperti mamiku sendiri, bahkan dari kecil dia sudah memarahi aku dan kak Andreas seperti anaknya sendiri.

“Sayang, dasi aku yang warna biru di mana?” seru om Allen dari dalam kamar.

“Di laci, kan udah aku siapin," jawab tante Felly.

“I can’t find it, can you help me, Dear?” jawab om Allen lagi yang membuat tante Felly menghela napasnya.

“Apa yang bisa kamu lakuin tanpa aku, sih?” tanya tante Felly sembari beranjak dari sofa.

“Nothing. I can’t life without you.”

Kami terkekeh mendengar jawaban cheesy dari om Allen. Bagiku, sudah tidak mengherankan lagi, terkadang kalau lagi tidak sama anak-anaknya, sepertinya aku juga akan mengira kalau mereka adalah pengantin baru atau semacamnya.

“Kak Ina harap tahan mualnya sama kelakuan papa dan mama Cindy, ya? Cindy sama adek-adek sih udah kebal, kak Andreas sama kak Andrew juga," ujar Cindy seolah penuh penyesalan.

“Ih, malah bikin ngiri Cindy, masih bisa semanis itu saat umur udah nggak muda lagi. It’s amazing!” ujar Nana penuh kekaguman.

Sesaat, aku teringat apa yang Tiara bicarakan padaku pagi ini. Tentang Nana dan keluarganya. Tiara tidak bermaksud untuk membocorkan kejelekan keluarga Nana, tapi dia pikir, saat ini aku adalah salah satu orang penting yang harus tahu tentang kehidupan Nana.

Sepulang dari rumah Cindy, kami makan di sebuah warung nasi goreng yang baru saja direkomendasikan Cindy, tidak terlalu besar, namun rapi dan bersih. Sangat nyaman.

Kami duduk di kursi kayu dekat taman samping yang diisi oleh beberapa tanaman jenis palem dan sebuah kolam ikan berisi ikan koi.

“Pesan apa Mas sama Mbaknya?” tanya pelayan pada kami.

Aku menatap Nana. “Kamu apa, Na?”

“Hmm.…” Dia membuka buku menu. “Nasi goreng spesial yang pake cheese, ya," jawab Nana.

“Kalo Mas pesan apa?”

“Saya nasi goreng biasa aja, soalnya yang spesial udah ada di depan saya," jawabku yang membuat pelayan itu tertawa geli. Dan, berefek pada pipi Nana yang sudah berubah jadi kemerahan.

“Yaudah, minumnya apa?”

“Es jeruk," jawab Nana.

“Samain aja," jawabku saat si pelayan menoleh ke arahku.

“Baik, tunggu sebentar, ya?"

“Gimana tadi tesnya? Aku nggak sempet nanya ke kamu, soalnya kamu sibuk mengagumi Callum, padahal ada aku di samping kamu," ujarku yang membuat Nana hanya menggeleng kecil.

“Lumayan. Hmm, nggak lucu kamu cemburu sama anak bayi," tukasnya.

“Emang aku kurang lucu, kurang imut gitu, sampai kamu perhatiin Callum mulu tadi?”

Nana mengusap rahangku. “Lucu kok, kalo kamu cukuran. Nih, udah pada tumbuh. Kamu tuh harus cukuran paling nggak satu minggu sekali. Subur soalnya rambutmu," omelnya persis seperti emak-emak.

“Baik, ibu negara!” ujarku. Aku memerhatikan Nana dari jarak yang sangat dekat, membuat kami terpaku untuk beberapa saat.

“Na….”

“Hm?” Satu alis Nana terangkat ke atas, entah kenapa dia terlihat gugup sekarang.

“Mama kamu udah tahu ya kalo aku beda?” tanyaku lirih.

Wajah Nana sempat menegang, namun akhirnya dia mengangguk.

“Kenapa nggak bilang sama aku?” tanyaku sungguh-sungguh.

Aku menggeser tubuh Nana agar lurus menghadapku, karena dia masih memilih untuk bungkam.

“Na, aku tahu, mama sama papa kamu pasti marah banget sama aku, yang jelas-jelas beda sama kamu, tapi lancang mengajak kamu menjalin hubungan. Aku udah tahu dari beberapa hari yang lalu karena nggak sengaja aku angkat telfon dari mama kamu. Maaf karena aku juga nggak cerita ke kamu.” Aku mengusap pipinya, matanya mulai memerah. “Na.… Aku sengaja nggak bilang ke kamu, takut kmu kepikiran dan terbebani. Aku sayang banget sama kamu, Na, dan aku nggak mau kehilangan kamu.”

Mata Nana terlihat semakin berair, entah kenapa semuanya terasa semakin sulit untuk kami menghadapinya. Terlebih setelah semua hal yang Nana tutupi telah kuketahui semuanya. Ini sangat berat baginya, dan posisiku di sisinya akan semakin memberatkannya.

“Na.… Dari awal kita sadar kalo kita beda, dan kemungkinan kita bersatu sangatlah kecil. Aku merasa bingung, kacau, aku nggak ngerti harus gimana. Tapi, aku cinta sama kamu.”

“Andrew, apa mungkin ini yang terbaik?” tanyanya gamang, air matanya mulai meluncur. Aku benci melihat dia menangis. Itu tandanya, aku belum bisa menjaganya dengan baik.

“Na, mungkin emang nggak akan pernah adil, jika aku mengikuti kamu, ataupun kamu mengikuti aku. Tapi, kita masih ada pilihan agama yang lain," ungkapku penuh kesungguhan.

Aku mengusap air matanya.

“Kalaupun nggak bisa, atau mungkin, kita memilih untuk menjadi ateis.”

Kedua mata Nana membulat sempurna, kemudian kepalanya menggeleng pelan, membuatku tersenyum tipis.

“Aku tahu, Na, itu tidak mungkin bagi kita.”

Aku mengusap sisa-sisa air matanya, kemudian mengusap kepalanya tepat saat dua piring nasi goreng di hidangkan di hadapan kami.

“Makan yang banyak, Na." Aku menarik tangan Nana untuk menggenggam sendok, karena sedari tadi dia masih sibuk menatapku.

“Jangan lihatin aku mulu, nggak bakalan kenyang.” Aku menuntun tangan Nana untuk menyendokkan nasi goreng ke dalam mulutnya, kemudian mengusap kepalanya. “Pinternya pacar aku," ujarku sambil tersenyum.

Belum. Aku belum siap untuk mengatakan selamat tinggal saat ini. Aku masih ingin melihatnya beberapa saat lagi.

***

“Mi, hari ini acara perpisahan Andrew sama kak Andreas, jangan telat ya datangnya," ujarku sembari memasukkan sebuah amplop ke dalam tasku.

“Iya, mami sama papi datang. Di aula yang satunya, kan?” tanya mami yang masih sibuk merapikan meja makan.

“Iya, yang satunya buat pensi. Nanti ketemu pas abis pensi aja ya, Mi," ujarku yang kini sudah menutup zipper tas ranselku.

“Oh ya, Mi, beli bunganya jangan cuma dua, Andrew nitip satu ya, buat Ina," ujarku.

“Mau bunga apa?” tanya mami yang kini sedang membenarkan rambutku.

Aku tersenyum. “Carnation yang warna putih.” Jawabanku membuat mami menaikan satu alisnya.

“Are you sure?” tanya mami ragu.

“Aku mengangguk kecil dan tersenyum.

“Are you okay?” tanya mami pada akhirnya.

Aku menggeleng pelan. “No, but it’s okay. I’m gonna make it anyway.”

“It’s hurt you, right?” Wajah mami semakin terlihat khawatir.

“Well, I lie if I say no, it’s hurt me,om.” Aku tersenyum, mengingat kembali pesan Nana pagi ini.

Nana : It is weird to think that we are used to meeting but not to parting while we know that both come from one same package of life. (Aneh rasanya memikirkan bahwa kita terbiasa akan pertemuan tapi tidak akan ada perpisahan ketika kita tahu bahwa keduanya datang dari satu paket kehidupan yang sama)

Dan, itu semakin membuatku paham, dan berusaha untuk mempersiapkan apa yang akan terjadi hari ini.

Lihat selengkapnya