- Marina POV -
Bunga carnation berwarna putih dapat diartikan dengan sebuah kalimat yang berbunyi ‘Aku tidak akan pernah melupakanmu’.
Benarkah? Apakah itu benar artinya bahkan setelah delapan bulan ini dia benar-benar pergi, dan tak pernah menghubungiku sama sekali? Apakah setidaknya kita tak bisa berteman? Ah, itu sudah pasti jawabannya. Tidak akan bisa. Karena perasaan kami lebih dari itu. Bagaimana bisa kami menahan perasaan kami dengan kata ‘teman’ di saat rasa yang kami miliki jauh lebih meluap-luap daripada itu.
Sebuket bunga yang sudah mengering hasil potretku, aku jadikan wallpaper di ponselku. Bunga yang dia berikan di hari perpisahan kami. Bunga yang kini sudah mengering, namun tak berbanding lurus dengan perasaanku yang masih terasa segar, masih ingin tumbuh bersamanya.
“Are you okay?” tanya Haikal yang sudah duduk di sampingku.
“Apaan sih, Kal? I’m okay," jawabku sembari tersenyum tipis.
Haikal yang awalnya mau masuk tentara tapi tidak lolos, akhirnya dia kuliah juga di kampus yang sama denganku, tapi beda jurusan. Dia mengambil bisnis dan manajemen, sementara aku mengambil jurusan seni rupa. Ada juga Fardan, Tiara, Melinda dan kawan-kawannya juga kuliah di sini. Dan, kami baru memasuki tahun ajaran baru.
“Lo yakin nggak mau tahu kabarnya?” ujar Haikal yang kini membuatku menoleh ke arahnya.
Aku menggeleng seketika.
Bohong jika aku bilang tidak ingin. Tapi, aku menahannya untuk menanyakan hal itu. Cukup dengan melihat foto terbarunya di media sosial, meski dia jarang update. Atau, cukup dengan membaca kembali chat room kami berdua, sembari mengenang masa-masa indah itu. Ya, aku rasa itu sudah cukup. Aku tak ingin kembali berharap padanya.
“Oke. Gue siap-siap di situ, lo juga siap-siap," ujar Haikal dan aku hanya mengangguk.
Sudah beberapa minggu ini, aku, Haikal dan teman baru kami, Rayhan, kerja sambilan mengisi posisi penyanyi kafe di salah satu kafe dekat kampus. Sebenarnya, lebih ke menghilangkan perasaan sepi yang beberapa bulan ini benar-benar menyiksa. Setidaknya aku tahu kalau aku tidak sendiri. Setidaknya ada orang yang mengajakku berbicara. Meski itu bukan dia.
You got a new message from Kak Mario.
Kak Mario: Mau tidur di luar?
Aku mengerutkan dahiku sembari melihat jam tangan di tangan kiriku yang menunjukkan pukul delapan malam. Aku meringis.
Me: Boleh tuh, kak.
Kak Mario : Cepet pulang, kalo nggak kakak seret pulang.
Aku terkekeh seketika.
Me: Eitss, santai dong, kak.
Kak Mario: Lagi di mana emang?
Lah, aku pikir dia sudah tahu kalau aku di kafe.
Me: Bentar lagi pulang, di kafe sama teman.
Kak Mario: Teman cwk apa cwk?
Aku menaikkan satu alisku, mencoba untuk memahami apa maksud chat kak Mario.
Me: Cwk.
Kak Mario: Itu apa?
Me: Lah, tahu ah, orang kakak pilihannya gitu semua.
Kak Mario: Iya, iya. Ini kamu nggak mau ketemu Alice mumpung lagi di rumah?