Katalis

Aisyah A
Chapter #21

Unprocess

- Marina POV -

Banyak yang telah dilewati dua tahun ini, tepat saat aku memasuki semester enam. Tapi, jangan berharap ada banyak perubahan yang terjadi dari sosokku dan juga kehidupanku, karena itu hanyalah harapan kalian semata.

Aku masih sama.

Bagaimana dengan hatiku?

Entahlah. Aku pun tak bisa memastikannya.

Sebuah pesan singkat tertera di layar ponsel dengan wallpaper yang masih sama. Carnation kering pemberian seseorang.

Kak Ryan: Pulang jam berapa? Aku jemput.

Me: Nggak usah kak, Rayhan dapet jatah nganter aku pulang hari ini.

Sosok Arrayan sudah menemaniku selama dua tahun. Namun, hm, sepertinya tak perlu aku jelaskan lagi kalian pasti sudah tahu.

Kak Ryan: Yaudah, hati-hati pulangnya. Jangan sampe malam-malam.

Me: Iya, kak. Makasih.

Aku mengalihkan perhatianku pada Rayhan yang sudah bersiap dengan gitarnya.

“Dapet request lagu apa?” tanya Rayhan.

Aku membuka beberapa kertas kecil di pangkuanku. “Banyak.” Aku membuka satu per satu. “Hm, ini aja dulu deh. Pura-pura lupa," ujarku.

“Itu request punya lo kali, Na," cibir Haikal yang membuatku melempar kertas tersebut ke arahnya.

“Noh, baca sendiri. Ngeselin," gerutuku yang membuat Haikal tertawa. Senang banget memang kalau meledekku.

Aku memegang microphone saat Haikal mulai memainkan bait intro sebuah lagu dari Mahen yang berjudul Pura-pura Lupa. Sebuah lagu yang direquest oleh pengunjung yang sepertinya lagi sakit hati.

Pernah aku jatuh hati

Padamu sepenuh hati

Hidup pun akan kuberi

Apa pun kan kulalui

Tiba-tiba beberapa orang teman-temanku masuk ke dalam kafe dan melambaikan tangan ke arahku. Yang membuatku heran adalah Tiara, Melinda, dan Fardan datang bersama. Bahkan, Luvia juga ada di sana, tidak mungkin mereka tidak sengaja datang bersamaan, kan?

Tapi tak pernah ku bermimpi

Kau tinggalkan aku pergi

Tanpa tahu rasa ini

Ingin rasaku membenci

Pintu kafe kembali terbuka, tepat saat dua sosok laki-laki yang memiliki wajah hampir sama memasuki kafe, disusul dengan Cindy, Rachel dan Airyn di belakangnya.

Sempat terhenti, namun sesaat aku kembali menyanyikan bait berikutnya, dengan degup jantung dan mata yang masih terfokus pada sosok itu. Sosok yang sibuk bersalaman dengan teman-temanku di barisan kursi tak jauh dari tempatku bernyanyi.

Tiba-tiba kamu datang

Saat kau telah dengan dia

Semakin hancur hatiku

Suaraku mungkin terdengar sedikit bergetar saat ini. Dan saat itu juga, Andrew, dia menatap ke arahku dengan sorot mata yang masih sama. Tanpa senyum. Tapi, efeknya sangat luar biasa.

Aku....

Aku merasa tidak baik-baik saja saat hanya dengan melihat tatapan matanya.

Jangan datang lagi cinta

Bagaimana aku bisa lupa

Padahal kau tahu keadaannya

Kau bukanlah untukku

Jangan lagi rindu cinta

Ku tak mau ada yang terluka

Bahagiakan dia aku tak apa

Biar aku yang pura-pura lupa

Air mataku terjatuh begitu saja tepat saat aku menyanyikan lirik terakhir. Para pengunjung bertepuk tangan, mungkin mereka mengira aku terlalu menghayati lagu tersebut, tanpa tahu jika aku menangis karena sosok yang baru saja datang. Ya, benar-benar baru saja datang kembali dalam hidupku. Setelah hampir tiga tahun.

Aku buru-buru mengusap air mataku dan kembali tersenyum.

“Yuk, turun," ajak Haikal sembari menepuk bahuku.

Aku memicingkan mataku curiga kepadanya. “Lo sengaja kan nggak ngomong dan nutupin semua ini dari gue?” tanyaku yang membuat Haikal menghela napasnya. Dia adalah mantan ketua OSIS dan sekaligus teman dekat Andrew. Sangat tidak mungkin kalau dia tidak tahu.

“Demi kebaikan lo, Na," lirihnya. “Udah ayo, turun. Kita duduk di sana.” Haikal merangkulku.

“Ngapain?” Aku melepas rangkulan Haikal.

“Kita semua ada rencana mau ngadain reuni. Dan mereka dateng buat ngomongin masalah ini bareng-bareng.”

Aku menatapnya kecewa. Dia menutupi semuanya dariku, bahkan kepulangan Andrew juga.

“Lo...."

“Lo pasti nggak baca grup, kan? Di situ lagi rame ngomongin hal itu dan gue percaya kalo notif grup lo silent," potong Haikal sebelum aku melanjutkan kalimatku.

Aku tak mengelak, memang aku menghindari grup angkatan karena menurutku mereka sering membicarakan hal yang tidak penting.

“Jangan bilang lo nggak mau ke sana karena ada dia?” Pertanyaan Haikal membuatku menggigit bibir bawahku. Aku yakin Haikal tahu alasannya tanpa harus aku perjelas lagi.

“Bukannya lo udah punya pacar?” tanya Haikal lagi yang membuatku semakin terdiam tak berkutik.

“Terus, apa masalahnya, Na?”

Ya, masalahnya....

Ah, benar. Aku sudah punya kak Ryan. Dan, Andrew terlihat baik. Harusnya pertemuan kami ini tidak akan menjadi masalah karena Andrew hanyalah masa lalu. Tapi, kenapa rasanya begitu menyakitkan melihatnya baik-baik saja? Sedangkan aku di sini mati-matian untuk bertahan tanpa dia.

Aku melirik sekilas ke arahnya yang tak sedikit pun menatap ke arahku. Senyumnya masih sama. Senyum bahagia yang biasa dia tunjukkan di hadapan semua orang.

“Na?” Suara Haikal membuyarkan lamunanku.

“Ayo," ajaknya lagi, kemudian aku mengangguk pasrah.

“Ray, gue ke sana dulu sama Ina, ya?" Pamit Haikal pada Rayhan.

Aku turun dari panggung dan berjalan lirih ke arah mereka.

“Kak Ina!” Airyn memeluk tubuhku erat. Gadis kecil itu sekarang sudah menjadi gadis seutuhnya, bahkan tingginya sudah hampir sama denganku, dan sudah bisa dandan juga. Pasti efek Cindy dia jadi seperti ini. Aku membalas pelukan Airyn tak kalah erat. “Airyn kangen, kak," lirihnya yang membuatku terkekeh seketika.

“Kak Ina juga kangen sama Airyn.”

“Apa kabar, Na?” Andreas, dia berjalan mendekat dan menyalamiku. Aku membalas salaman tangannya.

“Baik. Lo apa kabar?” tanyaku balik, tangan Airyn masih melingkar di pinggangku.

“Baik juga. Lo beneran baik dalam artian yang sebenernya, kan?” tanya Andreas menyelidik yang akhirnya mendapatkan cubitan manis dari Cindy.

Hingga akhirnya, sosok itu mendekat ke arahku dan Airyn, dia menatapku lekat. Dan, entah mengapa, dia terlihat sedikit berbeda.

“Hai," sapanya.

“Hai, Ndrew," ujarku lirih.

“Lo baik?” tanyanya.

Ya, pada akhirnya aku-kamu kembali menjadi gue-lo seperti awal. Meski rasanya sangat menyakitkan.

“Baik, lo?” tanyaku balik.

Dia mengangguk. “Baik.”

“Udah, sini duduk semua. Gue mau mulai," seru Haikal, yang akhirnya memotong percakapan antara kami yang jauh dari kesan.... akrab.

Dan sialnya lagi, aku mendapatkan tempat duduk tepat di samping Andrew, karena hanya kursi itu yang kosong.

Lihat selengkapnya